Masih tentang perjalanan. Dan makanan. SELALU ada banyak cerita tentang makanan jika kita sedang bepergian ke tempat yang jauh. Selain urusan
ngidam bakso yang tadinya tak pernah kuperkirakan akan terjadi, aku memiliki pengalaman serupa yang terjadi selang sekian tahun yang lalu. Saat itu, hari ke sekian aku berada di Atlanta untuk menghadiri suatu acara, dan aku tersenyum geli saat berada di tempat dimana makan siang dihidangkan. Seorang kawan asal Slovenia -- sebuah negara di Eropa yang berbatasan dengan Austria – tiba- tiba ‘mengomel’ tentang makanan Amerika. Dia membuka pembicaraan dengan pertanyaan ini padaku, “ Suka nggak buah- buahan Amerika yg dihidangkan ini? “ Terus terang aku sendiri tak terlalu mengerti, ‘buah- buahan Amerika’ yang mana yang dia maksudkan, karena sejak sarapan pagi sampai siang buah- buahan yang terhidang adalah buah yang sering dan mudah sekali kita juga dapati di Indonesia. Buah- buah semacam melon (hijau), rock melon yang orange, nanas, pepaya serta semangka. Tidak ada apapun yang aneh atau istimewa menurutku dengan buah- buah yang dihidangkan itu. Jadi aku tanyakan, apa persisnya yang dia maksudkan. Nah, pertanyaanku itulah yang membuat dia akhirnya mengomel sembari ‘ceramah’ panjang lebar.. Dia katakan bahwa makanan di Amerika ini terlalu banyak bumbu. Akibatnya rasanya tidak natural, dan kualitasnya tidak lagi bagus. Aku menelan senyumku dan berusaha berempati pada sudut pandangnya dengan bertanya, apa contohnya? Kawan dari Slovenia ini melirik meja makan dengan pandangan agak ‘merendahkan’ dan berkata, “ Kami biasanya makan dengan makanan berkualitas bagus. Misalnya, sayur- sayuran hanya kami beri bumbu minyak zaitun saja, sehingga rasa aslinya masih keluar, dan juga sehat. Disini, begitu banyak campuran bumbunya, rasa makanannya jadi ‘artifisial’. Aku menelan senyumku lagi. Bukan hanya sayur tapi dia juga mencela roti yang dihidangkan yang menurutnya juga ‘roti apa itu, sama sekali bukan roti dari kualitas terbaik.’ Senyumku pada akhirnya tak lagi dapat ditahan ketika kawan ini meneruskan ‘omelannya’ dengan ‘Bayangkan, di sini ini, strawberry saja rasanya seperti melon. Di tempat kami, strawberry terasa strawberry ketika dimakan. Dan oh ya, kami juga memiliki beragam jenis berry lain yang bisa dipetik langsung di hutan… “ ( Strawberry rasa melon? Jangan- jangan dia merasa menyuapkan strawberry tapi sebenarnya yang dimasukkan ke mulutnya itu adalah melon? He he he ... ) Semua ‘celaan’ yang dikatakan kawan dari Slovenia itu masih diakhiri dengan keluhan mengenai rasa air minum di Amerika yang menurutnya juga tak enak karena mengandung terlalu banyak chlor sehingga terasa tak karuan di lidah. “ Air berlimpah di negara kami, “ katanya, “ Kami tidak terbiasa minum dari air yang dikemas dalam botol. Kami minum air dari alam, dan rasanya segar…"
KEMBALI KE ARTIKEL