Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Obor Yang Padam, Sebuah Ekspedisi di Kampung Naga

13 Oktober 2013   20:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:35 201 0

Akhirnya malam rebah sempurna di Kampung Naga, saat petromaks dan lampu berbahan bakar minyak tanah dinyalakan, maklum mereka menolak tawaran pengaliran listrik ke wilayah adat mereka meski gratis sekalipun,”Rumah-rumah kami dibangun dengan bahan-bahan yang mudah tersulut api, kalau ada kortsluiting rawan kebakaran.” Tutur Pak Sujad, pemandu rombongan Homeschooling Kak Seto (HSKS) Jatibening, memaparkan pertimbangan sederhana penolakan warga desa. Padahal bukan hanya PLN, sebuah institusi dari Belanda pun sudah menyatakan siap menghadiahkan turbin pembangkit listrik plus pemasangan-perawatannya secara cuma-cuma. Alasan serupa juga dikemukakan saat mereka menolak kehadiran kompor gas.

Senter-senter disiapkan oleh para homeschoolers karena agenda malam ini adalah berkumpul di Bale Kampung untuk menyimak penuturan sesepuh kampung tentang seluk beluk komunitas yang terkenal dengan potensi kearifan lokalnya yang tinggi ini. Maka berombongan mereka keluar dari pondok masing-masing, menyusuri lorong-lorong sempit jalan tanah-batu menuju ke pusat kampung. Sebagian menunaikan shalat dulu di mesjid yang khas desainnya di sebelah Bale sebelum akhirnya semua bergabung lesehan dalam ruang Bale yang terhampar tanpa sekat. Sebuah senter yang nyalanya ekstra terang diletakkan di depan untuk sedikit mengatasi kegelapan. Suara canda terdengar di sana-sini meski tak senyaring biasanya. Lalu reda saat Pak Sujad datang mengiringkan seorang kakek yang berpakaian pangsi dan mengenakan ikat kepala khas Kampung Naga.

Kakek tersebut bernama Suharyo (75) dan merupakan salah seorang Kepala Dusun (Kadus) di kawasan Kampung Naga. Dia memaparkan struktur pemerintahan di wilayah adat itu terdiri atas struktur formal sesuai ketentuan pemerintah Indonesia dan struktur adat. Ada tiga jabatan utama dalam struktur pemerintahan adat Kampung Naga, yakni Kuncen, Lebe, dan Punduh. Kuncen menempati posisi tertinggi dan wewenangnya adalah memimpin semua prosesi adat utama, termasuk jarah makam (ziarah makam leluhur, -pen.) yang dilaksanakan sebanyak enam kali dalam setahun di area yang dikeramatkan, jabatan ini sifatnya turun temurun, dan sekarang dijabat oleh Ade Suhendar. Sementara Lebe, yang kini diduduki oleh Ateng Jaelani,  memiliki tugas yang berhubungan dengan prosesi keagamaan, termasuk pengurusan jenazah sampai tuntas dimakamkan. Hal-hal yang melibatkan interaksi sosial antar warga ditangani oleh Punduh, saat ini dijabat oleh Ma’un, yang diistilahkan nguntun laku, meres gawe (pengayoman terhadap warga, -pen.). Semua posisi itu memiliki masa pengabdian seumur hidup selama yang bersangkutan masih mampu.

Saat memasuki paparan tentang sejarah asal muasal terbentuknya Kampung Naga, Kadus Suharyo melontarkan ungkapan Sunda pareumeun obor yang makna harafiahnya ‘padamnya nyala obor’ dan intinya mereka kehilangan jejak akibat musibah pembakaran kampung mereka pada tahun 1956 yang konon terjadi saat meletupnya pemberontakan DI/TII di masa itu. Semua catatan sejarah lenyap dan tersisa adalah monumen pangsolatan berupa beberapa batu sungai yang disusun di tanah menjadi alas sholat nenek moyang mereka.

Kampung Naga tak mengenal istilah ‘bencana alam’ karena, dalam pandangan mereka, semua musibah yang melibatkan alam pada dasarnya terjadi karena ulah manusia yang tak bersahabat dengan alam. Itulah sebabnya mereka sangat patuh dalam urusan menaati segala pamali (= tabu,-pen. ) yang diwejangkan oleh para karuhun (leluhur). Hutan keramat yang diharamkan untuk diinjak warga setempat maupun pendatang tetap menjadi area yang tak terjamah selama puluhan tahun berselang dan saat ditanyakan tentang sanksi, “Wah, tidak tahu, soalnya belum pernah ada yang melanggar...” Tutur polos seorang warga saat kami berbincang. Ketaatan ini berbuah manis pada udara, air, dan tanah yang relatif bebas polusi. Jadi jangan kaget kalau di Amrik sono ada air keran langsung minum hasil teknologi sterilisasi, di Kampung Naga ada air semacam itu produk alami langsung dari mataair pegunungan yang berdasarkan hasil penelitian laboratorium ITB maupun Belanda dijamin tidak bakalan bikin sakit perut!

Satu lagi, wilayah pemukiman adat ini berada di area lembah yang dalam bahasa Sunda disebut na gawir, hingga dikenal dengan sebutan kampung na gawir. Namun seiring perjalanan waktu dan aspek kepraktisan dalam pengucapannya, sukukata wir lenyap, yang tersisa tinggal Kampung Naga ...ternyata tak ada hubungannya dengan liong atau dragon, ya?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun