Setelah sukses mengatasi keengganan, sedikit takut, dan aneka emosi negatif lain; akhirnya para homeschoolers HSKS Jatibening pun tiba di Kampung Naga (*). Usai pengarahan singkat di lapang desa, mereka pun bergerak secara beregu dipandu tuan/nyonya rumah masing-masing menuju pondok-pondok yang telah disiapkan sebagai tempat bermalam. Ada 110 rumah penduduk di Kampung Naga dengan desain arsitektur yang relatif seragam, termasuk bahan bangunannya yang didominasi kayu dan bambu dengan atap ijuk berlapis daun tiwus. Luas pondok rata-rata 30 meter persegi,”Sesuai dengan warisan para leluhur, luasnya tak boleh diubah.”Papar Pak Ijad, pemandu rombongan.
Lantas bagaimana jika jumlah anggota keluarga bertambah karena pastilah masih akan banyak bayi yang lahir di kampung adat yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Selawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat ini ? Musyawarah keluargalah yang nantinya akan menetapkan siapa yang harus pindah dan membangun tempat tinggal di luar kawasan Kampung Naga,”Warga yang tinggal di luar itu diistilahkan Sanaga “ Tutur Pak Ijad.
Kesederhanaan yang terpancar dari penampilan penduduk dan suasana perkampungan ternyata sukses meredam kemeriahan para homeschoolers. Mereka melangkah tenang menapaki jalanan tanah yang di kanan-kiri sisinya dipadatkan dengan batu-batuan sungai berbentuk bulat dalam ukuran bervariasi. Ayam-ayam berkeliaran di kolong-kolong bangunan semi rumah panggung. Menjelang sore itu, beberapa warga duduk-duduk di semacam teras kecil yang terbuat dari bangku kayu/bambu panjang di depan pondok-pondok mereka. Suasana sejuk dihantar oleh keberadaan aneka jenis pepohonan dan vegetasi yang tumbuh subur di lingkungan itu. Para homeschoolers melintasi lorong-lorong penghubung antar kumpulan pondok yang terlihat nyaris seragam ukurannya. Posisi pondok berhadap-hadapan satu sama lain dengan interval seukuran kira-kira dua meteran. Sangat dekat mencerminkan tingginya tingkat perhatian antar mereka ...
Saat memasuki ruang depan pondok yang tak seberapa luas, mereka mendapati teko-teko berisi air putih dan teh panas telah tersedia di atas karpet menemani setoples besar camilanrenyah gurih rangginang serta kue manis wajit. Kedua penganan tradisional itu berbahan dasar beras ketan. Belakangan ada cewek manis homeschooler yang bilang kalau dia baru pertama kali mencicip makanan itu seumur hidupnya dan....yesss, dia nyaris tak bisa berhenti mengunyah. Maknyusnya nyampe ke hati, booo...
Begitulah tanpa banyak protes, mereka meletakkan ransel-ransel, dan mengamati sekeliling dengan lebih seksama. Ada yang nangkring di depan pondok sambil mulai ngerumpi, ada yang memutuskan untuk ngopi-ngopi saja, ada pula yang mulai menjelajah. Para kakak guru takjub mendapati betapa tenang dan kalemnya anak-anak didik mereka berinteraksi. Padahal biasanya,kan, tahu sendiri ....heboh is their middle name !
Jika di perkotaan sedang mewabah trend interior rumah minimalis, maka pondok warga Kampung Naga bisa dibilang contoh aslinya. Gaya hidup lesehan , tak ada mebel yang menyesaki rumah, semua peralatan dibuat lebih berdasarkan fungsi pokoknya, dan keindahannya justru memancar dari anyaman, belitan tali-tali bambu, penyusunan bilah-bilah kayu yang mengesankan rasa percaya diri yang sangat kuat. By the way, jangan bermimpi tentang kamar mandi atau toilet mewah di dalam rumah,ya? Urusan ‘panggilan alam’ ini harus dipenuhi dengan melangkah beberapa ratus meter ke area peruntukan terpadu yang memang dikhususkan untuk jamban-jamban umum plus tempat penumpukan kayu bakar dan kandang ternak. Sedikit spooky juga, khususnya buat para cewek, karena dinding-dinding jamban ini terbuat dari anyaman bambu bilik yang tak 100 persen rapat plus ada juga jamban dengan atap terbuka ...pokoknya rawan intip,deh! Begitulah jadinya mereka pasti menyeret teman untuk difungsikan jadi bodyguard saat mereka mandi atau buang hajat. Ah, persahabatan memang bagai kepompong dan kandang-kandang kambing yang terletak di area yang sama juga meriah dengan sambutan para penghuninya. Mbeeeeek....