Pertama kali Bapak punya niat untuk mengkuliahkan mas Hari adalah sekitar pertengahan tahun delapan puluhan, saat kakak saya yang pertama itu masih duduk di bangku SMP. Ketika itu hampir semua orang di kampung meremehkan. Beberapa bahkan menganggap Bapak kena tenung, bahasa halus untuk menyebut orang yang dianggap sedang bertukar otaknya. Di tengah-tengah lingkungan dimana orang lain bertekun mengumpulkan uang sebagai modal untuk menyewa sawah atau membeli ternak, menginvestasikan tabungan untuk pendidikan tentu dirasa aneh. Apalagi kami bukanlah dari golongan priyayi. Pekerjaan Bapak waktu itu sebagai tukang bangunan, membuat satu-satunya harta yang dimiliki hanyalah sepetak rumah warisan dari Kakek.
KEMBALI KE ARTIKEL