Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Pak SBY, Bang Foke : Banjir ? Jangan Buang Air Ke Laut !!!

28 Februari 2010   23:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:41 988 0
[caption id="attachment_83529" align="alignleft" width="300" caption="Sketsa Tirta Sangga Jaya"][/caption] Pengantar : Ini adalah bagian kedua dari seri wawancara dengan Rektor Universitas Al-Zaytun (UAZ), Syaykh DR. AS.Panji Gumilang, tentang proyek 'mimpi' Tirta Sangga Jaya - mengatasi banjir secara holistik untuk menyelamatkan ibukota negara - dan kota-kota di sekitarnya. Wartawan Berita Indonesia: Ch. Robin Simanullang, Haposan Tampubolon dan Wilson Edward, mencatat 'mimpi'  Ketua Ikatan Alumni UIN (IKALUIN) Syahid Jakarta ini, sedang Dendy Hendrias dan Arif Maulana memindahkan 'mimpi' itu menjadi sketsa TSJ, yang dirangkum bersama Syahbuddin Hamzah dan Henri Maruasas. Cuplikan lirik lagu keroncong Bengawan Solo ciptaan Gesang: “Air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut” menjadi tidak relevan lagi, karena air yang dikelola dan dimanfaatkan dengan baik menjadi sangat berguna bagi kehidupan manusia. Pusat Pendidikan Al-Zaytun membangun waduk Windu Kencana menjadi pusat pertanian terpadu (integrated-farming), terintegrasi dengan sistem pengelolaan air, manajemen air sungai Cibanoang sepanjang 6,5 km. Air ini dimanfaatkan untuk pengairan, perikanan air tawar dan kebutuhan air baku. Agaknya apa yang dilakukan Al-Zaytun bisa menjadi model bagi proyek pengelolaan air yang lebih holistik. Pucuk pimpinan Al-Zaytun, Syaykh Dr. AS Panji Gumilang, punya mimpi spektakuler bagi pengelolaan dan pemanfaatan air liar di Ibukota Negara Jakarta dan di kawasan belakangnya (hinterland). Apa yang disebutnya: Mimpi untuk Jakarta ! Syaykh mengidamkan terwujudnya sebuah proyek monumental, seperti Terusan Suez dan Dam Aswan di Mesir. Yaitu proyek Tirta Sangga Jaya (TSJ) atau Sungai Penyangga Jakarta. Proyek ini, meskipun akan menelan biaya yang cukup besar, bisa memberi multi-manfaat bagi tiga provinsi—DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat. Misalnya, TSJ bisa menjadi sarana pengairan dan pengendalian banjir, pertanian, transportasi air dan darat, rekreasi dan pariwisata . “Menyampaikan misi Ilahiah itu harus sabar. Sebab, tidak semua strata, yang kita anggap sudah harus mampu itu, malah 'belum' mampu. Mereka membatasi diri dengan simbol-simbol, bukan dengan ilmu,” kata Syaykh dalam sebuah dialog dengan tim wartawan Berita Indonesia yang berkunjung ke Al-Zaytun. Syaykh tidak sekadar bermimpi tetapi juga berbuat. Meskipun dalam skala yang lebih kecil. Al-Zaytun sudah membangun waduk Windu Kencana dengan tema ketahanan terpadu. Maksudnya ketahanan yang menyangkut air, tanah serta apa yang dibudidayakan di dalamnya dan di atasnya. Berbicara tentang pangan, ternak, dan tanaman industri hutan, sekaligus berbicara air. Air bukan saja untuk menciptakan pangan, tetapi juga ketahanan, supaya air menjadi manfaat, bukan bencana. Menurut Syaykh, air dan tanaman pangan menjadi manfaat, kalau dikelola dengan baik. Bagaimana agar air tetap ada di musim kemarau dan tidak menjadi bencana di musim hujan. Kedua hal ini menjadi terpadu. [caption id="attachment_83598" align="alignleft" width="300" caption="Stadion Palagan Agung,MAZ,dimalam hari."][/caption] Waduk itu terletak 6,5 kilometer dari Kampus Al-Zaytun. Kampus ini dulunya, kalau musim kering mengalami kekurangan air. Meskipun ada air tanah, tidak dieksploitasi, sebab lebih mengutamakan pemanfaatan air permukaan. Selama masih ada hujan, air permukaan tanah pasti banyak. Air permukaan di musim hujan disimpan di Windu Kencana, manfaatnya bagi kampus serta ke kiri-kanan sungai, jelas. Artinya, air memberi kehidupan. Air juga membawa bencana jika tidak dikelola. Air seperti api, ketika kecil menjadi kawan, tetapi begitu membesar menjadi lawan yang kadang-kadang tak bisa dilawan oleh manusia. Kata Syaykh: “Supaya itu tidak terjadi, harus kita kelola. Karena manusia diberi hak oleh Sang Pencipta untuk mengelola dan menatanya. Kalau mengalir jangan sampai melimpah, kalau musim hujan tidak datang, musim kemarau tiba,  jangan sampai kering.” Dalam dialog panjang tersebut muncullah mimpi Syaykh untuk Jakarta. Ibukota Negara itu dikepung dan dialiri oleh belasan sungai, baik besar maupun kecil. Sesungguhnya sungai tidak ada besar, tidak ada kecil, semuanya pasti dilalui air. Ketika tidak tertata jadi melimpah dan membawa bencana, bukan rezeki. [caption id="attachment_83617" align="alignright" width="300" caption="Waduk Istisqa', di MAZ."][/caption] Dengan titik sentral di kawasan Cibinong, kemudian ditarik garis ke barat, di luar kota Tangerang, sampai di Cikupa sampai Mauk (Tanjung Kait). Di jalur tersebut dibangun kanal, katakan lebarnya 100 meter dan di bantaran kiri-kanan kanal 50-50 meter dibangun jalan yang diapit jalur hijau. Kemudian dari kawasan Cibinong ditarik garis ke timur sampai Tanjung Jaya, Karawang, dibangun kanal dengan ukuran sama. Jika ditarik garis dari titik Jakarta (Monas), ke selatan (Cibinong), panjangnya sekitar 60 kilometer, ke utara 20 kilometer. Kanal huruf U impian Syaykh itu panjangnya 60-60-60-60 kilometer atau seluruhnya 240 kilometer, mengitari ibukota. Kanal huruf U ini sudah pasti mencegat perjalanan 13 sampai 15 sungai besar dan kecil menuju Jakarta. Sungai-sungai besar yang dicegat, di tengah, Sungai Ciliwung, di timur, Sungai Bekasi dan Citarum, dan di barat, Sungai Cisadane. Aliran sungai-sungai tersebut dikendalikan, bukan dihentikan. Kemudian dibangun jalan dua arah 2x240 KM untuk mengatasi kepadatan lalulintas, terutama di Jakarta, karena jalan tersebut melintas di luar ibukota. Juga kanal tersebut bisa menjadi sarana transportasi air. Proyek ini, menurut Syaykh, memberi manfaat yang sangat besar dan menghasilkan uang untuk daerah dan negara. Kemudian di dalam Ibukota Negara, kawasan pemukiman dinormalisir tanpa mengusir penduduk. Menurut Syaykh, penduduk tetap di situ, tetapi perumahannya tidak boleh horizontal, harus mulai vertikal. sehingga di sisi-sisi sungai ada lahan yang luas. Katakan saja di sisi-sisi Ciliwung dekat kawasan Tebet, Jakarta Timur. Pengkolan Ciliwung mencakup beberapa kampung, masih kampung, kelurahan dan kecamatan Tebet. Penduduknya tidak harus digusur, karena sumber budayanya ada di kampung-kampung itu. [caption id="attachment_83597" align="alignleft" width="300" caption="Masjid Rahmatan Lil Alamin, MAZ, dimalam hari"][/caption] Perumahannya dibangun menjulang ke atas, menampung sampai 1.000 KK dalam satu flat. Kalau satu KK mendiami 200 meter per segi, maka sama dengan 200.000 meter per segi. Luasan tersebut dijadikan halaman, tempat sekolah, tempat olahraga, pusat belanja, taman dan tempat rekreasi dengan lingkungan yang hijau dan bersih. Rumah-rumah untuk 1.000 KK menjulang ke atas, penghuninya lebih aman dan terkontrol. Soal pilihan jalan, bisa lewat kiri-kanan Ciliwung. “Kemacetan Jakarta bukan banyaknya kendaraan yang lalu lalang, tetapi karena kurang tertata,” kata Syaykh. Bagaimana dan dari mana biayanya? Kata Syaykh, proyek se-monumental itu, biayanya memang mahal. Namun lebih mahal jiwa yang melayang lantaran terbenam banjir daripada menata seperti itu. Katakan puluhan miliar dolar,  bahkan sekali utang saja, jumlahnya USD 40 miliar. Nah, orang Indonesia itu kaya. Dari jumlah penduduk 250 juta, ambil saja 10 persen atau 25 juta yang punya uang diam. Itu, setidaknya perorang 100 ribu dolar AS uang diam. Jual obligasi kepada mereka, jangan dijual ke luar negeri. Jangan mencetak obligasi yang cincai-cincai, satu-dua dollar. Paling sedikit 1.000 dolar satu surat utang negara atau obligasi. Tentu ada yang mampu membeli 100.000 sampai 1 juta dolar. Mungkin bisa terkumpul 100 miliar dolar. Bisakah dikembalikan ? “Tentu bisa, karena Tirta Sangga Jaya menghasilkan uang,” jawab Syaykh penuh optimistis. ( Rukyal Basri, Berita Indonesia-Biro Amerika Serikat)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun