No. Peserta: 363
Oleh: Dewi Ari Ari
Di sebuah desa terpencil, hiduplah seorang Pak Tani yang memiliki kebun dan sawah yang saling berdekatan. Pak Tani adalah orang yang rajin. Hampir setiap hari menghabiskan waktunya untuk bertani. Hingga suatu sore, selepas Pak Tani pulang, sekawanan tanaman mulai bercengkrama.
“Kalian semua tahukan, kalau kita sama-sama ditanam oleh Pak Tani. Tetapi kenapa hanya Padi dan Sayur Bayam yang di perhatikan oleh Pak Tani. Kalian merasa enggak sih, kalau kita itu seperti anak tiri?” suara Bambu memecah kesunyian.
“Iya, padahal kita ini sama-sama milik Pak Tani. Ini sungguh tidak adil.” Sahut Pohon Mahoni.
“Benar kata kalian, lihat aku, aku selalu ditebas sebelum tubuhku membesar. Apa karena aku tidak bisa berbunga dan tak bisa berbuah, atau menghasilkan biji seperti Padi?” kata Ilalang sedih. Pucuknya bergoyang-goyang seakan sedang menangis.
“Kamu salah Ilalang, walaupun aku selalu menghasilkan buah, tetapi aku tidak dimanja seperti Padi dan Sayur Bayam. Aku juga sering bingung. Padahal Pak Tani selalu memetik buahku. Bahkan bersuka cita saat buahku ranum. Tapi... saat semua buahku habis, aku diabaikan begitu saja. Tidak seperti Padi dan Sayur Bayam, selalu diperhatikan mulai dari menanam hingga memanen.” Pohon Durian pun ikut mengungkapkan isi hatinya. Semua daunnya mengatup. Tandanya ia sedang sedih.
“Kenapa kalian iri padaku? Aku sesungguhnya tidak ingin diperlakukan seperti ini. Kalian harus tahu, kalau sebenarnya tubuhku itu ringkih dan lemah. Aku harus ditanam di tanah berlumpur, agar tubuhku tidak kesakitan. Dan aku juga selalu butuh air, agar aku bisa tumbuh dan menghasilkan biji-bijian. Aku selalu butuh obat untuk mempertahankan hidupku. Itulah sebabnya Pak Tani selalu memperhatikan dan menyayangiku.” Ucap Padi yang membuat semua teman-temannya terdiam dan memandang ke arahnya.
Sementara itu, tiba-tiba angin datang dengan sangat kencang. Menerpa segala yang ada, termasuk sekawanan tanaman milik Pak Tani. Mereka menjerit dan kesakitan. Pohon Bambu tubuhnya menjuntai sampai ke tanah. Pohon Mahoni daunnya berguguran dan sebagian rantingnya patah. Pohon Durian mengatupkan daunnya dengan erat, buahnya yang masih kecil berjatuhan satu persatu. Ilalang selamat dari terjangan badai angin karena tubuhnya yang pendek dan tidak tersapu angin.
Sedangkan Sayur Bayam dan Padi tubuhnya roboh. Mereka banyak yang tercabut akarnya dari tanah. Ini merupakan sebuah bencana besar bagi tumbuh-tumbuhan. Badai angin itu berlangsung beberapa jam. Dan karena berlangsung pada malam hari, sehingga mereka tidak bisa melihat satu sama lain. Mereka semua berteriak minta tolong. Namun tidak ada satupun yang bisa menolong mereka. Akhirnya merekapun hanya bisa diam menunggu pagi sambil merasakan sakit di sekujur tubuhnya.
Begitu pagi datang, mereka membuka mata satu persatu. Dan betapa terkejutnya mereka saat melihat semua porak-poranda. Daun-daun dan ranting-ranting berserakan. Padi roboh menimpa yang lainnya. Sayur Bayam tergeletak jauh dari tempatnya semula, karena tercabut bersama akarnya. Pohon Mahoni dan Pohon Bambu hanya saling memandang. Matanya berkaca-kaca saat melihat semua teman-temannya terluka.
Berkat kekuatan dari sinar Matahari, sebagian Padi bisa berdiri tegap. Sedang Sayur Bayam mati mengenaskan.
“Sekarang kalian semua, bisa melihatkan siapa yang paling kuat?” suara Padi terdengar menggema. Dan semua tanaman pun memandang kearahnya dengan perasaan ingin tahu. Dan mereka menanti apa yang akan diucapkan Padi selanjutnya.
“Bambu, lihatlah dirimu. Kau masih utuh. Akarmu begitu kuat dan kokoh. Bahkan kamu tidak terluka sedikitpun saat badai angin menerpamu. Pohon Mahoni, kau juga kuat. Tubuhmu masih tegap berdiri, hanya daunmu yang berguguran dan sebagian rantingmu yang patah. Pohon durianpun hanya buahnya yang jatuh. Ilalangpun selamat walau ia kecil, sedangkan aku….? Lihatlah aku!” suara Padi terputus dan air matanya mulai menetes.
“Tapi tetap saja, walaupun tubuhku kuat, aku tetap tak disayangi sepertimu. Karena aku tidak berguna sepertimu.” Sahut Bambu.
“Kau salah Bambu, lihatlah gubuk milik Pak Tani itu. Dia tidak roboh diterpa angin. Dan gubuk itu juga melindungi Pak Tani dari panas dan hujan. Bukanlah gubuk itu terbuat darimu, Bambu. Dan sekarang apakah kau masih ingin bilang kamu tidak berguna?” jawab Padi sambil menghapus air matanya. Sedangkan Bambu hanya terdiam, memikirkan ucapan Padi yang ada benarnya.
“Lalu menurutmu, apa aku juga berguna?” Tanya Pohon Mahoni dan Ilalang hamper bersamaan.
“Iya benar, bagaimana juga dengan aku?” sahut Pohon Durian yang mulai membuka daunnya kembali. Padi tersenyum melihat teman-temannya.
“Kalian semua sama, kalian juga berguna. Pohon Mahoni masih bias hidup tanpa daun dan ranting. Dan tubuhmu yang besar itu bias untuk membangun rumah, meja kursi dan lain-lain, yang sangat berguna untuk manusia. Sedang kamu Ilalang, tubuhmu memang kecil dan harus ditebas, karena kamu adalah tanaman yang sangat bergizi untuk ternak Pak Tani. Dan tubuhmu cepat tumbuh kembali. Pohon Durian juga begitu. Daunnya tidak mudah lepas dan tubuhnya kuat untuk menyangga ratusan buah Durian yang besar dan tajam. Dan hamir semua orang selalu merindukan buahmu. Sekarang kalian lihat teman kita, Sayur Bayam, ia terlepas dari tanah dan sekarang harus mati karena sinar Matahari. Sebenarnya kalian masih beruntung. Begitu juga dengan diriku, walaupun tubuhku ringkih dan lemah, tapi ada air dan Matahari untuk tetap hidup. Kita harus bersyukur dengan apa yang kita punya. Tidak boleh iri dengan yang lainnya. Karena kita memiliki keistimewaan sendiri-sendiri. Dan itulah sebabnya kita diciptakan dalam bentuk yang berbeda.” Padi menjelaskan secara panjang lebar agar teman-temannya tidak iri lagi kepada dirinya yang selalu dirawat dan disayang Pak Tani.
“Kamu benar Padi, kita seharusnya tidak boleh iri padamu. Sekarang aku tahu kenapa Pak Tani lebih memperhatikan kamu daripada kita semua. Karena kita lebih kuat dari kamu. Sedangkan kamu ringkih dan lemah, tapi Pak Tani juga sangat membutuhkan kamu. Makanya kamu lebih istimewa dari kami. Maafkan aku ya Padi, aku tak akan iri lagi padamu.” Kata Bambu sambil tersenyum.
“Aku juga minta maaf Padi.” Sahut yang lain serempak.
Akhirnya mereka semua mengerti dan menyadari bahwa semua memiliki kelebihan dan kekurangan. Kita tidak boleh iri kepada yang lainnya. Karena sifat iri aan menyebabkan permusuhan dan kita tidak bias mengenali diri kita sendiri.
NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community. http://www.kompasiana.com/androgini
Dan silahkan bergaung dengan grup Fiksiana Community. http://www.facebook.com/groups/175201439229892/