Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Perempuan bolehkah Melawan?

24 November 2013   14:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:44 47 0


Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia menulis Indonesia Menggugat dengan penuh kemarahan. Marahnya Bung Karno, panggilannya, dia tujukan pada Belanda.

Karena perlawanan itulah Bung Karno dipenjara, di Sukamiskin, Jawa Barat. Saat dipenjara Bung Karno menuliskan amarahnya kepada Belanda yang menjajah Indonesia dan menghisap darah rakyatnya. Tulisan Bung Karno itu lalu dibuat sebagai pledoi dirinya.

Sontak, tulisan pria muda yang saat itu menjadi lokomotif gerakan kemerdekaan Indonesia--memanaskan kuping hakim Belanda sekaligus membakar semangat rakyat Indonesia yang menyaksikan sidang tersebut, ketika itu.

Pada tulisannya Bung Karno menggugat ketidakadilan yang terjadi dan dilakukan penjajah. Biar bagaimanapun penindasan adalah musuh kemanusiaan yang mesti dihapuskan.

Sama halnya dengan perbudakan. Menurut Soekarno, apapun bentuk perlakuan penjajah, mereka tetap penjajah. Tidak ada kemerdekaan yang diberikan mereka yang bermental menjajah sekalipun kiamat terjadi hari ini, tulis Bung Karno.

Lalu bagaimana dengan wajah penindasan yang terjadi dewasa ini di Indonesia. Apakah penindasan itu sudah berakhir seiring kemerdekaan dan kebebasan informasi seperti sekarang??? Atau yang terjadi justru sebaliknya. Penindasan tetap merajalela hingga terjadi misalnya pada diri kaum perempuan???

Catatan menarik soal penindasan yang terjadi dan menimpa kaum perempuan dapat dibaca melalui berbagai literatur para aktivis perempuan, seperti Musdah Mulia, Lies Marcus Natsir, Wardah Hafidz dan Aminah Wadud--sebagai contoh beberapa aktivis feminis.

Menurut pikiran mereka, identitas dunia perempuan masih dianggap sepele oleh dunia luar akibat kuasa laki-laki yang masih mendominasi secara kuat.

Akibatnya, di tengah arus globalisasi seperti sekarang ini--yang ditandai dengan pesatnya informasi--nyatanya perempuan gagal berpartisipasi menunjukkan eksistensinya pada ruang publik.

Dominasi alam pikiran lelaki membuat kehadiran nalar perempuan terpaksa meredam serta tenggelam. Berbagai potensi yang dimiliki perempuan serta kesempatan yang ada di depan mata--sirna karena kekuasaan laki-laki yang begitu mengekang tanpa bisa ditawar.

Akibatnya, perempuan 'terpaksa' menerima hegemoni tersebut sebagai takdir yang telah Tuhan gariskan untuknya.

Tidak ada perlawanan yang dilakukan perempuan menjadi hal yang sangat diwajarkan. Mengapa demikian??? Karena di dalam diri perempuan tersebut tumbuh subur doktrin yang menegaskan jika perempuan "harus begini, harus begitu", yang berakar dari tradisi dan tekstualisasi kitab agama yang tafsirannya pro maskulinitas.

Misalnya saja soal perempuan yang harus taat perintah suaminya. Di dalam tradisi dan ayat-ayat Quran memang sangat tegas perintah ini diturunkan. Namun, apabila konteks "ketaatan" ini bertentangan dengan apa yang menjadi keyakinan dan hati nurani sang istri, bolehkah perintah suami itu ditentang???? Boleh saja. Mengapa???

Ketundukkan istri pada suami tak lantas membuat akal logika serta prinsip yang dimiliki menjadi buta. Pada konteks ini, seorang perempuan mesti bersikap kritis meskipun dirinya harus tetap berkata lembut pada sang suami. Terutama ketika apa yang menjadi keinginan di dalam dirinya bertentangan dengan kehendak si suami.

Prinsip keadilan dalam bentuk persamaan hak dan tanggung jawablah yang membebaskan dunia perempuan dari hegemoni pemikiran yang kadung diwariskan dari generasi ke generasi.

Hal itulah yang dilakukan Aisyah, istri Firaun, raja mesir yang mengaku Tuhan. Aisyah merupakan istri Firaun yang sangat cantik. Selain cantik, Firaun sangat menyayangi istrinya. Hingga kemudian kecantikan Aisyah makin muncul tidak saja secara fisik, tapi dalam keyakinannya pada Tuhan.

Ketika Firaun memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan, dia meminta seluruh masyarakat menyembahnya, termasuk sang istri. Aisyah dipaksa mengakui ketuhanan sang suami secara sadar dan patuh. Namun bukanlah Aisyah jika menerima begitu saja perintah sang suami.

Aisyah bersikeras untuk tidak patuh dan tunduk. Baginya, perintah itu tak mungkin dilakukan dirinya. Sebab, Aisyah sudah meyakini Tuhan yang esa, Tuhan yang didakwahkan Musa, anak angkatnya saat itu.

Firaun pun gelap mata. Dia menganggap Aisyah tidak menurut pada suaminya. Sesuatu yang sangat janggal dilakukan seorang istri di masa itu. Diperintahkannya pengawal untuk menyiksa Aisyah hingga dirinya mau menerima Firaun sebagai Tuhan. Berbagai siksaan dia rasakan. Hingga kemudian Aisyah memperoleh hidayah.

Allah lebih dulu mencabut nyawa istri yang mulia itu menghadapnya. Sebelum sebuah batu menimpa jasadnya, Allah sudah lebih dulu perintahkan Jibril mencabut nyawa istri yang teguh dan sabar itu.

Aisyah pun mati dalam keadaan Tauhid, berislam walaupun agama yang dibawa Muhammad belum lahir pada masanya. Bahkan, sebelum dipanggil Tuhan, Aisyah berdoa; Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda, bahwa Aisyah istri Firaun berdoa saat dirinya hendak disiksa;

"Ya Rabbku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisiMu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim".
(At-Tahrim:11). (HR. Abu Ya’la)

Nabi sendiri menyerukan kepada umat perempuannya untuk banyak belajar kepada wanita yang satu ini. Malah Nabi menyatakan dengan tegas bahwa siapapun yang bisa menjalani hidup dengan sikap penuh ketundukkan pada Allah akan diganjar surga.

Jadi bukan soal tunduk pada suami atau doktrin yang berakar kuat dari tradisi yang mengekang. Sebaliknya. Ketaatan itu mesti dipraktikkan secara kritis dan terukur. Meskipun resiko yang dihadapi berupa kematian sekalipun.

Kembali kedalam konteks gugatan yang dilakukan oleh Soekarno. Jika Bung Karno saja berani melawan penjajah yang berbeda kulit, muka dan badan-- mengapa generasi penerusnya tidak???

Setidaknya, menghapuskan ketidakadilan, penjajahan serta penindasan bisa dilakukan dalam lingkup terkecil sekalipun yaitu keluarga.

Jika kaum perempuannya mampu menbebaskan diri dari belenggu penjara rumah tangga tersebut, niscaya perempuan itu turut menyumbang kemerdekaan bagi sebuah generasi selanjutnya.

Mengapa demikian??? Karena ditangan perempuan itu seorang anak mendapat pelajaran hidup yang paling pertama terutama soal keadilan serta kesetaraan sesama mahluk Tuhan.

Rudygani



Manusia biasa yang mencoba luar biasa...





KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun