Desakan publik agar KPK menuntaskan kasus korupsi di Banten kian berhembus kencang.
Pasalnya, kasus korupsi yang melibatkan jaringan keluarga ini sangat menarik untuk dikaji.
Tidak saja dalam konteks politik praktis: namun juga menarik sebagai kajian dari perspektif psikologi politik. Mengapa??
Pertama, membaca kasus Atut-Airin artinya membaca kompleksitas psikologi kedua manusia tersebut.
Ditambah, keduanya merupakan seorang mahluk hidup yang sama dengan kebanyakan orang. Secara naluri, meminjam istilah Sigmund Freud, keduanya sama-sama memiliki id, ego dan super ego.
Naluri itulah yang kemudian bisa dibaca kepada dua orang penguasa yang juga kakak dan adik ipar tersebut.
Kedua, membaca Atut-Airin artinya membaca motivasi mereka berdua-- jika benar dugaan KPK bahwa Atut-Airin korupsi--maka bisa dianalisa motivasi keduanya melakukan kejahatan tersebut.
Yang jelas, masing-masing motif dan situasi yang terjadi berbeda. Walaupun tindakannya sama "mengemplang uang rakyat" untuk kekayaan pribadi dan kelompoknya-- dalam konteks psikologi, situasi dan faktor yang mendorong tindakan korupsi itu dapat dianlisa secara sederhana.
Nah, dari situlah kemudian kita bisa menganalisa motif korupsi sesuai situasi dan kondisi yang melatar belakangi Atut-Airin mengemplang uang.
Menurut Freud, manusia memiliki tiga struktur kepribadian yang terdiri dari, Id (aspek bilogis), ego (psikologis) dan super ego (sosiologis).
Freud menggambarkan, pada tahap pertama, Id dibawa sejak manusia lahir. Id tidak terpengaruh dengan dunia obyektif.
Tahap ini lebih menekankan pada aspek subyektif atau dunia kebatinan manusia. Contohnya, ketika orang merasa lapar maka ia segera membayangkan makanan. Namun, bayangan ini sifatnya tidak nyata. Maka masuklah ke tahap selanjutnya.
Ego, pada tahap ini Freud mengatakan jika kebutuhan akan rasa lapar itu membuat manusia memiliki keinginan (insting) untuk meredakan ketegangan di dalam dirinya melalui makanan.
Pada tahap ini, ego mampu membedakan antara keinginan dari dalam diri dengan dunia realitasnya.
Melalui tahap ini juga, seseorang yang lapar lalu merencanakan untuk makan apa, dengan apa dan kapan untuk makan. Singkatnya, tahap ini kata Freud, adalah tahap dimana seorang manusia mulai berfikir secara realistis.
Super Ego, pada tahap ini, prilaku kepribadiaan seseorang dipengaruhi oleh nilai-nilai moral dan aturan.
Aspek ini merupakan kesempurnaan dari kesenangan, kata Freud.
Fungsi pokoknya ialah menentukan apakah sesuatu itu benar atau salah. Pantas atau tidak.
Singkatnya, seorang pribadi bertindak sesuai dengan moral yang ada dan diyakini masyarakat.
Dalam konteks Atut-Airin, apakah tindakan korupsi itu benar atau salah, tergantung dari persepsi kedua orang tersebut. Bisa jadi menurut Atut tindakannya benar, bisa juga salah. Singkatnya, aspek moralitas ini memiliki konotasi yang menggantung dari pemahaman si individu atas tindakan yang dikerjakan olehnya.
Dari babakan kepribadiaan itulah, pembacaan terhadap Atut-Airin mesti ditelaah. Sebab, fungsi penelaahan sendiri memang kadang terkait dengan unsur subyektif di dalamnya.
Namun, terlepas dari itu semua-- secara sederhana, alur dari latar dugaan korupsi Atut-Airin dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, motivasi Atut melakukan tindakan korupsi, terutama ketika tahun 2012 saat dirinya maju sebagai incumbent adalah semata-mata untuk mempertahankan kekuasaanya.
Atut merupakan incumbent yang maju dari Partai Golkar bersama Rano Karno yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Bupati Tangerang. Atut berhasil mengalahkan kandidat lain dan menang pilkada.
Untuk memenangkan pilkada Banten, tentu Atut harus mengeluarkan "cost politik" untuk mempertahankan kursi gubernurnya.
Dari sinilah, Id (Biologis) Atut muncul. Perasaan yang nyaman, enak dan serba mudah sebagai pejabat daerah tentu menjadi dambaan bagi setiap manusia, termasuk Atut.
Aspek lahiriah, sebagaimana kata Freud, pada diri manusia adalah sebuah kenyamanan dan kenikmatan.
Atut tentu sudah merasa nyaman dengan posisinya sebagai gubernur Banten.
Maka dipastikan secara biologis Atut merasakan kenikmatan (ekstase) kekuasaan yang begitu membahagiakan. Aspek lahiriah Atut sudah cukup terpenuhi.
Namun, secara psikologis Atut terancam. Pasalnya, melalui pilkada, kenyamanan Atut diganggu oleh "orang luar" (self defense).
Ketidaknyamanan itu lalu membuat Atut secara naluri kemanusiaan-- masuk ketahap Ego yang dijelaskan Freud, bertindak (terangsang).
Pada tahap inilah Atut bersama-sama dengan "kelompok" termasuk jaringan keluarga-nya yang sudah merasa nyaman dan mapan sekuat tenaga menggunakan segala cara mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya.
Secara sadar, mereka berkehendak agar kenyamanan dan segala fasilitas yang diperoleh sebagai pejabat daerah tak boleh hilang atau dirampas dari diri mereka.
Salah satu cara, dari ribuan cara yang dilakukan Atut ialah dengan menggunakan kewenangannya sebagai Gubernur.
Salah satu kewenangan yang coba ia gunakan ialah pemberiaan dana Bansos tahun 2012 bagi Ormas, LSM, OKP, lembaga dan yayasan yang terindikasi digunakan untuk memenangkan Atut pada Pilkada. Tidak tanggung-tanggung, Atut diduga menggelontorkan dana ratusan milyar untuk menyiram ladang pendukungnya.
Dasar laporan itulah yang kemudian menjadikan Atut sebagai sasaran operasi KPK untuk mengusut kebenaran penyalahgunaan dana Hibah Banten untuk memenangkannya.
Walaupun kemudian dalam perkembangannya Atut masih dijadikan saksi atas dugaan suap kepada Akil Mochtar (Ketua MK, non aktif), aroma penyimpagan Atut terkait dana Hibah memang kian tercium.
Dari sinilah kemudian secara psikologis, Atut diduga memiliki kesadaran untuk melakukan hal tersebut.
Lalu, bagaimana dengan Airin?
Yang menarik dari Airin Rachmi Diany ialah: Dalang yang memainkan Airin sebagai wayang dalam panggung sandiwara Tangsel diduga adalah suaminya sendiri.
Walaupun Airin "Walikota Siang", sang suami, TB Chaeri Wardana alias Wawan, merupakan "Walikota Malam", istilah beberapa media.
Frasa ini mengistilahkan jika Airin hanyalah pemimpin boneka yang diatur oleh Wawan sebagai dalang berbagai proyek di kota yang dipimpin istrinya.
Wawanlah yang turut andil dalam menentukan berbagai posisi dan "jatah proyek" kepada orang-orang yang berjasa memenangkan Airin di Kota Tangerang Selatan.
Secara psikologis, Airin tentu tidak bisa melawan kehendak suaminya sendiri-- sebab, jika benar Wawan sangat mendominasi peranan untuk mengatur kinerja sang istri-- Airin sudah pasti tidak bisa melakukan perlawanan terlebih posisinya sebagai seorang perempuan.
Dalam konteks gender misalnya. Posisi istri ditengah dominasi "laki-laki" terlebih di Indonesia--masih sangat berperan besar khusunya pada ruang publik apalagi pemerintahan. Dapat dipastikan jika nuansa kebatinan Airin sudah lama tersandera kerakusan kuasa dan harta sang suami.
Airin dijamin tak mampu berbuat apa-apa selama dirinya menjabat Walikota Tangsel. Kehendak sang suami begitu mendominasi sehingga berbagai kebijakan yang dibuatnya-- apabila bertentangan dengan kepentingan Wawan-- pasti mental.
Puncaknya, ketika Wawan dijadikan tersangka oleh KPK dalam proyek Alkes RSUD Kota Tangerang Selatan, awal Oktober lalu.
Alhasil, dugaan ini memang menjadi kebenaran yang sahih yang mendapat justifikasinya dari KPK.
Wawanlah yang kemudian diduga sebagai "Dalang" yang merusak-- tidak hanya Kota Tangsel-- bahkan Wawan rela mengorbankan ISTRI-nya yang juga Walikota Tangsel yang kini nasibnya diujung tanduk sebagai calon tersangka di KPK.
Dalam konteks psikologi politik, Airin merupakan korban yang dijadikan "tumbal kerakusan" akibat "nafsu bilogis" dan ego Wawan yang menggurita hingga tidak memikirkan dampak hingga kepada keluarganya.
Nafsu kekanak-kanakan yang diistilahkan Freud, mendominasi alam sadar Wawan dan Airin hingga kemudian membuat mereka menjadi bulan-bulanan media dan masyarakat sebagai "pesakitan".
Kondisi inilah yang menurut tokoh psikoanalisis kepribadiaan itu, sebagai puncak dari gunung es ketidaksadaran manusia dalam melakukan tindakan yang terlanjur merugikan Wawan dan Airin.
Sikap yang penuh dengan "kebanalan" dan kontradiksi membuat Airin "diperkosa" hingga tak mampu berbuat sesuatu sesuai dengan tujuan dan tugasnya sebagai pemimpin Tangerang Selatan.
Bahkan tersiar kabar jika Atut-Airin panik hingga melakukan "bersih-bersih" dari para pengkhianat dan lawan-lawan politik yang ingin menyingkirkannya. Diduga, Airin dan Atut akan (sudah) melakukan pembersihan dari kelompok birokrat yang coba membangkang.
Biar bagaimanapun dibersihkan, pada akhirnya, nafsu kebinatangan yang dimiliki oleh Wawan beserta Airin sebagai wayangnya kini harus berhenti.
Panggung pertunjukkan segera ditutup. Latar dan lampu-lampu walaupun masih terang menyorot kinerja Atut-Airin sudah terasa hambar dan memudar.
Masyarakat kepalang tak percaya dan kecewa dengan Atut dan Airin yang dituduh mengkhianati rakyat yang memilihnya.
Dan kini, tinggal kita tunggu apakah KPK mampu menjerat kedua orang bersaudara tersebut sebagai pesakitan selanjutnya-- atau malah sebaliknya.
Berbagai tuduhan dan aksi yang dilakukan oleh kawan-kawan mahasiswa, pengamat dan akademisi, baik di Banten dan Tangsel--merupakan fitnah yang lantas membuat nama Atut-Airin mesti diharumkan kembali.
jika itu yang terjadi, maka kita mesti mengurut dada sambil mengelus kepala bahwa HUKUM di NEGARA kita MEMANG SUDAH LAMA KOMA dan MENUNGGU AJAL KEMATIANNYA...
Benarkah demikian? mari kita saksikan sambil menyantap kue kesabaran di depan layar pemberitaan......
Aktivis HMI tinggal di Tangsel