Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Airin dalam Cengkraman Sengkuni

13 Desember 2013   14:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:58 343 2

(Dalam cerita wayang, sengkuni digambarkan sebagai tokoh penghasut dan pengkhianat. Lalu, bagaimana dengan Airin?? apakah lingkaran Airin juga serius untuk menyelamatkan Airin dari prahara korupsi yang dihadapinya, atau sebaliknya, para sengkuni dengan bebas nya mengangkangi Airin dan mengambil keuntungan karena sudah wataknya sengkuni yang oportunis)

Kegalauaan politik nampak menyelimuti Bupati Karanganyar, Rina Iriani, pasca dirinya ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah dalam kasus perumahan bersubsidi Griya Lawu Ari (GLA) pada November 2013 lalu.

Rina, dituding menyalahgunakan jabatan dan dianggap merugikan negara milyaran rupiah. Tanpa "merasa" berdosa, Rina pun tetap bersahaja walau statusnya sudah tersangka.

Sebagai Bupati Karanganyar, Rina masih memimpin beberapa tugas pemerintahan, terutama ketika hari jadi Kabupaten Karanganyar ke-96, 18 November lalu-- selang beberapa waktu dirinya jadi tersangka.

Yang menarik dari cerita Rina ialah-- kepercayaan dirinya yang tidak luntur sebagai pemimpin. Padahal, Kejaksaan sudah menetapkan dia sebagai tersangka.

Apa yang dilakukan Rina memang bukanlah hal yang bertentangan dengan UU. Bagi Rina, statusnya sebagai tersangka bukan jadi alasan untuk dirinya mundur sebagai kepala daerah Karanganyar, Jawa Tengah.

Apalagi, vonis pengadilan belum lagi ia terima. Jadi, tak ada keharusan yang mewajibkan dirinya mundur.

Dilihat dari aspek UU, seseorang belum bisa dinyatakan bersalah apabila belum ada keputusan yang sah dan mengikat.

Ikhwal hal tersebut, Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengungkapkan jika seorang kepala daerah telah divonis, maka menurut UU, Kepala Daerah itu dicopot dari jabatan publik.

Selama belum ada keputusan yang sah dan mengikat, seseorang masih "aman" dan jabatan itu sah diembannya.

"Pejabat publik lebih suka diturunkan secara konstitusi. Pengunduran diri itu sifatnya pribadi, tapi bisa dimundurkan apabila terbukti melanggar pidana, termasuk tindak pidana korupsi," kata Refly, seperti dikutip media (23/10/2013).

Refly menambahkan persoalan mundur atau tidaknya seorang kepala daerah, lebih pada moralitas pejabat tersebut.

Masih jarang pejabat yang punya jiwa ksatria mengundurkan diri saat dirinya terlibat korupsi, tambahnya.

"Dalam konteks pemerintahan, memang budaya kepala daerah dan pejabat publik ksatria masih sulit diharap. Pejabat itu merasa bersalah apabila mundur lebih dulu sebelum terbukti bersalah," kata Refly.

Masalahnya, kepercayaan publik kepada kepala daerah yang terindikasi korupsi kepalang berkurang.

Alhasil, berbagai kebijakan serta opini kepala daerah itu dianggap sebagai "pembelaan koruptor".

Begitulah yang dialami Rina, Bupati Karanganyar. Walaupun hingga kini (13/12) kasus Rina belum disidangkan, masyarakat Karanganyar sudah memvonis dirinya sebagai koruptor.

Rina lebih dulu mendapat vonis bersalah pada pengadilan opini publik akibat dari statusnya sebagai tersangka.
Ditambah mantan orang terdekatnya ditengarai merupakan dalang korupsi tersebut, makin klop dan meyakinkan.

Berbeda halnya dengan Airin Rachmi Diany, Walikota Tangerang Selatan (Tangsel).

Hingga tulisan ini dimuat, status Airin masih menjadi saksi pada kasus yang melibatkan suaminya, yaitu suap ketua MK, Akil Mochtar.

Saat datang ke KPK setelah sebelumnya Airin mangkir, status Airin masih jadi saksi untuk suaminya.

Itupun baru pada kasus suap ketua MK, Akil Mochtar.

"Hari ini saya memenuhi panggilan kedua dalam kapasitas saya sebagai saksi Suap Pilkada Lebak," kata Airin, di KPK, seperti dikutip Bacaberita.com, Selasa, (10/12),

Publik masih menunggu panggilan Airin sebagai saksi kasus Alkes di kota yang dipimpinnya, Tangerang Selatan.

Sebab, selain suami Airin, TB Chaeri Wardhana alias Wawan, KPK juga sudah menetapkan dua orang tersangka kasus pengadaan Alkes Kota Tangsel yaitu Mamak, sebagai pejabat pembuat komitmen di Dinas Kesehatan Tangsel dan satu lagi seorang dari pihak swasta.

Konon, karena tidak terima anak buahnya jadi tersangka, salah seorang petinggi Dinkes geram.

Pejabat itu tidak terima karena anak buahnya yang justru dinilainya tidak tahu apa-apa, jadi korban "pimpinan".

Bahkan, seorang sumber itu menyebutkan akibat dari penetapan itulah yang kemudian jadi alasan beberapa saksi kasus Alkes Tangsel dan Banten kompak dan berani "buka-bukaan" sehingga membuat Airin bahkan Atut jadi kalang kabut.

Konflik dan keretakan anak buah Airin itu membuat penyidik KPK yakin adanya keterlibatan pimpinan. Pasalnya, aksi tutup mulut yang dilakukan oleh "anak buah" Airin sebelumnya membuat penyidik kesulitan untuk mencari bukti keterlibatan Airin.

Dari aksi itulah kemudian muncul dugaan kuat jika birokrasi di Tangsel mengalami keretakan dan pembelahan antara yang "Pro" KPK dan pimpinan (istilah mereka).

Bahkan, tersiar kabar jika ancaman dan teror yang ditujukan untuk membuat ketakutan saksi-saksi kunci itu--sudah dilakukan oleh oknum tertentu.

Kuat dugaan jika aksi itu merupakan sebuah tindakan paniknya orang-orang yang ingin menutupi keterlibatan "pimpinan" dalam kasus Alkes tersebut.

Maka, salah satu cara yang digunakan ialah: teror. Pada kondisi ini tentu saja teror adalah alat yang ampuh untuk memukul psikologis musuh-musuh yang mengancam.

Bahkan, pada tingkat terekstrim tindakan menghabisi lawan atau membunuh dapat saja dilakukan oleh orang-orang suruhan pihak tertentu.

Yang jelas, nasib Airin pasca aksi "buka-bukaan" bawahannya memberikan angin segar tidak saja bagi KPK-- tapi juga masyarakat Tangsel yang penasaran akhir jalan cerita yang menyeret keluarga Atut ini.

Melihat fakta dan rumors yang berhembus kencang di lapangan tersebut, maka perlu dilihat beberapa aspek dan tentu saja pembelajaran khususnya dari Kabupaten Karanganyar yang Bupati-nya sudah terang berderang dijadikan tersangka korupsi tapi tetap menjabat hingga akhir jabatannya nanti 20 Desember 2013.

Dari konteks pengunduran diri itulah masyarakat mesti melihat-- jika suatu ketika Airin ditetapkan tersangka, maka haruskah Airin mundur sebagai Walikota Tangsel atau justru sebaliknya, sambil menunggu proses pengadilan, Airin masih tetap menjadi Walikota yang sah dan legitimate??

Pertanyaan ini tidak bisa dijawab melalui UU yang mengatur posisi dan kedudukan seorang kepala daerah.

Sebab, sebagaimana yang terjadi pada Bupati Karanganyar, Rina Iriani, walau dirinya sudah tersangka-- Rina masih tetap menjalankan tugasnya sebagai kepala daerah.

Artinya dari sini ada sebuah celah yang membuat Airin jikalau suatu saat KPK merubah statusnya jadi tersangka-- tidak bisa dimundurkan sebagai walikota.

Tinggal bagaimana etika kepemimpinan seorang Airin dipraktikkan serta kedewasaan berpolitik yang dimilikinya dipertaruhkan.

Jika memang Airin tetap "ngotot" duduk di kursi Walikota padahal dirinya sudah jadi tersangka maka publik makin tidak simpatik pada mantan Puteri Pariwisata tersebut.

Akibatnya, kegeraman publik pada sikap Airin akan melemahkan dirinya sehingga membuat citra Airin semakin memburuk. Bahkan, kepercayaan publik yang rendah akan berimbas pada kepercayaan pada pemerintahan Tangsel.

Alangkah tepatnya apabila tanpa diminta, ketika memang Airin tersangka, dirinya "legowo lengser keprabon" sebagaimana harapan dari suara-suara masyarakat Tangsel dan Banten selama ini. Ada etika politik.

Berbagai desakan agar Airin dijadikan tersangka memang cukup besar akhir-akhir ini. Sebab tanpa dibuat-buat, gelombang perlawanan pada Airin dan Atut di sisi lain bukannya malah makin lemah, tapi menguat dan meluas.

Bahkan, konon kabarnya, orang-orang yang dulu mendukung Airin sebagai Walikota-pun "meyakini" jika KPK akan menetapkan Walikota yang berpasangan dengan Benyamin Davnie sebagai tersangka korupsi Alkes Tangsel.

"Tinggal tunggu waktu", kata sumber itu.

Keyakinan "orang-orang Airin" itu tentu saja bukan isapan jempol belaka. Sebab, merekalah yang paling tahu sejauh apa manuver Wawan sebagai suami selama ini bersama istrinya sebelum akhirnya tertangkap.

Oleh karena itu, wacana pergulatan politik Tangsel sudah harus digeser lebih maju dan jauh-- bukan karena ada tendensi politis tertentu-- melainkan untuk "menyelamatkan" Kota yang baru saja mekar dari Kabupaten Tangerang ini.

Amat disayangkan diumurnya yang kelima pada tahun ini (2008-2013), kado untuk kota yang berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta justru dihadiahi skandal korupsi yang dilakukan dan diamini oleh pemimpin tertinggi Kota Tangsel.

Betapa hal ini membuat luka dan kecewa 1 juta lebih penduduk Tangsel, termasuk penulis.

Maka dari itu, belajar dari Rina, Bupati Karanganyar. Airin mesti dikuatkan dengan opini yang jernih. Bukan malah dibisikkan dengan pandangan yang menyesatkan orang sekitarnya.

Airin mesti jernih dan jangan sampai termakan bujukkan "sengkuni" yang mengelilinginya sebagai pemasok informasi utama dan analisis politiknya.

Sebab, salah satu kegagalan seorang pemimpin di masa-masa akhir kejatuhannya tak lain dan tak bukan dikarenakan pemimpin itu "gagal paham" menyaring info, menganalisa masukkan dan membaca tanda-tanda alam sehingga kebijakan dan tindakannya, terkadang malah membuat "blunder dirinya sendiri" akibat masukkan para "sengkuni alias brutus dalam lingkaran kekuasaanya" yang kadangkala sudah disusupi "Agenda" tertentu dengan wataknya yang oprtunis....

Mudah-mudahan kisah drama Tangsel dan Banten akhirnya berakhir HAPPY ENDING...Amin...

@Rudygani

Aktivis HMI, tinggal di Tangsel

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun