Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Jakarta, The Big City

10 April 2012   21:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:47 414 0


Jakarta The Big City

Oleh : Rudy Gani, Ketua Umum Badko HMI Jabotabeka-Banten

Jakarta seolah direduksi dengan kemacetan, banjir, kesumpekan dan Kota tak bertuan. Padahal, sebagai Ibu Kota Indonesia, Jakarta mampu menjadi kota metropolitan di dunia yang bisa disandingkan dengan New York, Paris, Kuala Lumpur dan Bangkok.

Sayangnya, kemauan untuk itu hanya dimiliki oleh segelintir elit yang kalah karena kerakusan beberapa pihak untuk merampas hak Jakarta sebagai kota yang maju, modern dengan segala atribut di dalamnya. Fenomena ini mengerucut pada pertanyaan besar bagi warga Jakarta. Ditengah derasnya himpitan persoalan ekonomi dan politik nasional, pembangunan kota Jakarta seolah luput dimakan pemberitaan dan agenda nasional yang selama ini penuh sesak di Jakarta.

Ruang publik yang selama ini menjadi masalah besar, mulai dari transportasi publik, pelayanan publik, hak-hak individu publik-seolah tenggelam bersama ombak kencang isu nasional. Jakarta seolah tak menjadi subjek dari pembangunan nasional. Jakarta seolah menjadi Jakarta yang ramai dibicarakan menjelang Pilkada maupun mega korupsinya.

Lalu, dimanakah posisi Jakarta dalam konteks pembangunan nasional? tanda jika Jakarta masih mandeg dalam hal visi pembangunan kota yang modern ialah tidak seriusnya para elit mengurus Jakarta. Keringnya visi pembangunan Jakarta menjadi indikator jika Jakarta tak ingin merubah statusnya dari kota biasa menjadi kota metropolitan modern dan besar di dunia. Konteks modern disini tidak sekedar kecanggihan semata yang bertumpu pada high tech.

Melalui alat teknologi atau persoalan transportasinya. Namun, modern dalam konteks ini ialah bagaimana warga Jakarta, baik yang tinggal/menetap atau menjadi pekerja bersama sepakat menjadikan Jakarta sebagai kota besar yang sejajar dengan kota-kota lain di dunia. Kualitas kesehatan lingkungannya dapat terukur, tidak membahayakan bagi masyarakatnya, ketertiban di dalam ruang publik, di jalan raya, keamanan dan kenyamanan bagi perempuan ketika bepergian-adalah sebagian indikator Jakarta sebagai kota Modern yang sejajar dengan kota lain di dunia.

Untuk menjemput itu semua, tentu saja dibutuhkan kemauan yang kuat terutama dari warga Jakarta itu sendiri. Pemerintah, dalam hal ini Pemda Jakarta hanya memfasilitasi pembangunan yang dianggap dibutuhkan masyarakatnya.

Maka dari itu, secara teoritis, dalam tata kota masyarakat yang tinggal di daerah tersebut harus berpartisipasi aktif menyuarakan berbagai hal yang menjadi kendala yang menghambat pelayanan pemerintah terutamanya pada ruang publik di daerah masing-masing.

Selain menjadi objek, masyarakat juga menjadi subjek untuk dilibatkan sebagai agen pembangunan. Pelibatan ini juga mesti konstitusional. Tidak bisa tambal sulam apalagi hanya sekedar bagi-bagi proyek. Warga Jakarta yang modern dituntut untuk melibatkan diri secara aktif. Artinya, konsep pembangunan yang bottom up dapat dipraktikkan tidak hanya menjadi slogan semata.

Dilihat dari konteks subjek pun maka warga Jakarta mendapat posisi yang strategis. Karena pelibatan warga dalam membangun daerahnya terlihat secara nyata. Tidak sekedar diundang ketika mau melakukan pembangunan, tapi mulai dati tahap pertama hingga terakhir. Disinilah letak modernitas sebuah kota dipuji.

Warga Jakarta tentu tak ingin daerah yang dibanggakannya mengalami kemunduran akibat kepemimpinan yang lemah dan kurang tegas. Melihat kondisi historis dan sosiologis kota Jakarta, warga berharap kepemimpinan Gubernur terpilih nantinya merupakan orang tepat dan mampu menyelesaikan persoalan yang terjadi di Ibukota yang berusia 426 tahun bulan Juni nanti. Melihat kecendrungan ini, maka siapapun yang terpilih nantinya, didesak untuk melakukan perubahan mendasar.

Tidak saja soal pembangunan fisik, namun juga dituntut untuk membangun paradigma baru penghuni Jakarta selama lima tahun mendatang. Mengapa agenda ini begitu mendesak? Lihat saja, beragam persoalan Jakarta tak kunjung selesai. Seolah Jakarta tidak diurus selama lima tahun ini. Apa yang menjadi sebab. Mari kita lihat secara obyektif.

Mereduksi isu pembangunan Jakarta menjadi sekedar macet dan banjir justru akan membuat lemah visi pembangunan Jakarta sebagai kota yang sejajar dengan kota-kota lain di dunia. Dimanapun dan kapanpun, banjir dan macet selalu menghantui daerah-daerah yang ada di Indonesia. Ditambah, rendahnya posisi tanah dari permukaan laut di Jakarta, berimbas pada banjir di beberapa daerah tertentu. Langkah solutifnya adalah mempercepat BKT yang mestinya sudah rampung tahun ini.

Tapi, memperdebatkan dan menyalahkan kepada pihak Pemda atas beragam persoalan banjir yang kerap datang justru tidaklah terlalu adil. Apalagi sampai membawa isu banjir sebagai sarapan menjelang pilkada. Soal banjir dan macet-terletak bagaimana kita melihatnya secara obyektif. Setiap pembangunan dan kemajuan sebuah daerah pasti memiliki dampak yang secara bertahap dirasakan oleh warga tersebut.

Jadi, menganggap banjir dan macet diakibatkan salah urus kota Jakarta, menurut hemat penulis terlalu naif. Lebih baik mewacanakan Jakarta sebagai kota metropolitan besar di dunia ketimbang menjadikan macet dan banjir sebagai isu sampingan yang tidak mencerahkan. Jika konsekuensi ini dijalankan maka dampak yang dirasakan ialah, siapapun gubernur terpilih akan menjalankan visi Jakarta sebagai kota besar dunia dengan cara menyelesaikan persoalan dasar warga Jakarta, yaitu ketertiban.

Persoalan Jakarta ialah tidak adanya ketertiban dan kesadaran bersama. Kontrak politik warga Jakarta dengan dirinya sendiri diragukan. Rasa memiliki, menjaga dan merawat Jakarta itulah yang kurang dimiliki warga Jakarta. Akibatnya, sikap ugal-ugalan ditambah ketidakpeduliaan pada Jakarta semakin memuncak dan menimbulkan sikap apatis di mata mereka.

Pilkada Jakarta

Maka, agar cita-cita besar untuk menjadikan Jakarta sebagai kota besar dunia dapat menjadi kenyataan. Dibutuhkan setidaknya dua hal yang harus dikerjakan. Pertama, mengekplorasi gagasan besar ini untuk kemudian dijadikan semacam konsensus besar warga Jakarta kepada calon Gubernur yang lolos verifikasi KPUD. Konsensus antara rakyat dan calon gubernurnya memang jarang terjadi. Kalaupun ada hal itu hanya sebatas jargon dan slogan untuk merebut simpati rakyat.

Karena itu, konsensus tersebut harus lebih mengikat dengan adanya jeratan ancaman hukuman apabila tidak dilaksanakan. Kedua, tidak mesti golput dan apatis menghadapi Pilkada Jakarta yang akan dilaksanakan.

Karena, salah satu bentuk dan keseriusan bersama untuk menjadikan Jakarta sebagai kota besar dunia, warga Jakarta dituntut untuk berperan aktif. Salah satunya dengan mengikuti pilkada. Masyarakat tidak perlu cemas menghadapi sosok pemimpin Jakarta yang itu-itu saja.

Sebab, yang kita pilih bukanlah sosoknya melainkan ide besarnya membangun Jakarta untuk ke arah yang lebih baik dan sejahtera. Bukan sekedar berapa logistik yang siap dikeluarkan untuk memenangkan pertarungan, tapi langkah strategis kepemimpinannya untuk menjadikan Jakarta sebuah Ibu Kota Indonesia yang sejajar dengan Ibu Kota dunia lainnya.

Dimana rakyat secara tertib berjalan dan beraktivitas. Ruang publik yang aman dan nyaman karena segalanya tertib dan tersedia. Para pekerja mendapatkan waktu yang produktif karena kemacetan berkurang dan peraturan yang dibuat dijalankan bukan saja kepada warganya tapi birokrasi daerah Jakarta.

Jadi, walaupun kucing itu garong sekalipun tapi dia bisa menangkap dan menjaga rumah kita dari tikus-tikus yang menganggu, maka tidak ada salahnya untuk saat ini berdamai dengan kucing sampai suatu saat kita menemukan formula untuk melenyapkan tikus dari rumah kita selama-lamanya.

Selama kucing garong itu membuat nyaman dan aman pemilik rumah kenapa tidak dicoba ketimbang menyerahkan dan membiarkan kucing garong tersebut berpesta pora di dalam rumah yang seharusnya diisi dengan kemajuan dan kesejahteraan bagi penghuninya akibat sang pemilik acuh untuk memberdayakan kucing garong tersebut.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun