Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Suatu Hari Nanti

16 Desember 2011   16:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:10 301 1
Wirya menatapku lekat-lekat. "Ayolah, Jim. Berangkatlah bersama kami. Kapan lagi?" desaknya pelan

Aku menghela napas. Pikiranku berkecamuk. Hmm.... Safari di Afrika. Pasti seru. Petualangan. Kesukaaanku sejak kecil. Terlintas lagi 5 D ku yang masih tergeletak di lemari kamar. Sama sekali belum kubawa untuk foto hunting. Menyaksikan fajar. Memotretnya. Wah.... hatiku bergejolak

Tetapi sesaat kemudian terlintas wajah Mama. Aku tidak mengerti bagaimana mengutarakannya. Seminggu lebih. Busyet, sehari ke luar kota saja aku dicari dan ditelponin.

"Adikmu kan ada, Jim." katanya lagi. "Kalau dari awal kamu tidak mau pergi, buat apa kamu ikut lomba itu? Gimana sih kamu, Jim"

Aku menghela napas. Kubuang pandanganku jauh-jauh. Dan menggeleng lemah.

Wirya, teman karibku sejak kecil itu  pasti kecewa. Dan aku merasa bersalah. Padahal aku yang menyemangatinya pertama kali. Waktu itu dia sudah bilang, percuma aku ikut lomba foto itu. Kalau menang pun aku tidak mungkin pergi. Tapi aku malah menyemangatinya waktu itu, kalau dia menang, aku menang, pasti kutemanin dia.

Dan sekarang memang kenyataannya aku tidak bisa pergi.

"Sorry Wir. Tiketku aku kasih ke istrimulah. Biar kamu berangkat sama Dina. Sorry ya. Nyokap tidak dalam keadaan yang bisa aku tinggalkan sekarang. Aku jalan dulu. Tadi pagi dia ngeluh maagnya kambuh lagi. Mau aku bawa ke dokter lagi." Kutinggalkan Wirya yang menatapku. Aku tahu pasti dia kesal dan kecewa. Tapi apa boleh buat, aku tidak punya pilihan lain.

Aku membuang napas. Dadaku terasa sesak. Kalau saja aku egois dan tidak mau perduli. Hhhh... Kalau saja aku nekad dan sedikit tega.

Sejenak aku tercenung, dan menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidaklah. Aku tidak setega Hera, adikku. Biarlah aku tidak pergi. Ini yang kedua kalinya aku membatalkan perjalanan eksotik yang menggiurkan. Enam bulan yang lalu aku juga membatalkan ke Eropa Timur. Waktu itu hadiah dari perusahaan atas prestasi penjualan team.

Aku melangkah cepat-cepat ke parkiran  dan menekan alarm dan masuk ke dalam mobil. Ku-starter mesin. Perlahan mesin menyala dan iringan lagu paritta mengalun perlahan.

Alunan paritta itu mendamaikan pikiran dan mengembalikan akal sehatku kembali.

Hmm.... biarlah. Wirya pasti mengerti. Dan istrinya pasti berterima kasih kepadaku, karna dengan ticket itu jadinya suami istri itu bisa berangkat bersama.

Mana mungkin aku tinggalkan Mama yang lagi sakit-sakitan. Tahun lalu, aku memaksakan diri ke Eropa Barat, padahal sudah kudatangkan kakak sulung dari luar kota untuk jaga Mama.

Tapi pulang-pulang Mama diminta dokter opname. Pendarahan maag.

Ya, mama sudah tua. Umur 75. Tapi begitulah orang tua. Kalau menua, menjadi anak kecil. Dan sakit-sakitan. Osteoporosis, asma yang dibawa sejak kecil dan maag. Mungkin mudanya juga tidak banyak minum supplement dan kurang bergerak, sehingga tulangnya keropos di usia sekarang.

Mama sangat dekat dengan aku. Dari kecil. Mungkin aku anak laki tunggal. Dari kecil Mama berjuang sehingga aku bisa bersekolah, les bahasa Inggris dengan baik, dan susah payah menguliahkan aku di salah satu perguruan tinggi terkenal di Jakarta.

Bagaimana mungkin aku meninggalkannya dalam keadaan seperti demikian? Bagaimana aku meninggalkan orang tuaku yang sedang sakit-sakitan sendiri sementara aku menikmati fajar dan mendengar auman singa gurun? Anak apa pula aku ini kalau sampai melakukannya. Kalau adikku tega, aku tidak. Biarlah. Aku yakin suatu hari nanti, kalau umurku panjang, aku masih bisa kemana saja. Yang penting ada rejeki dan usia.

Aku tidak mau aku bersikeras pergi dan pulang-pulang.... Ah, kulenggangkan kepalaku kuat-kuat

Biarlah Wirya mencemoohku  anak mami, anak manja dan seterusnya. Aku selalu ingat Sutra Bakti seorang Anak.

Salah satu bunyinya adalah " Bila ada satu masa yang penuh dengan kesukaran dan kelaparan, memotong sebagian dari daging badannya sendiri untuk memberi makan orang tuanya dan ini diperbuatnya sebanyak debu yang ia lalui dalam perjalanan seratus ribu kalpa, orang itu pun belum membalas kebaikan yang dalam dari orang tuanya."

Ya, biarlah. Biarlah kali ini aku tidak berangkat. Sama seperti yang sebelumnya. Sama halnya seperti teman-teman yang ajak ziarah dan tidak pernah aku hiraukan. Nepal. Istana Potala. Tibet. Kalau karma dan jodohku masih ada, suatu hari nanti aku pasti akan menjejakkan kaki di sana.

Separuh bergumam kualunkan paritta mengikuti rekaman CD  dalam mobilku yang sejuk, sembari  menerobos kekelaman malam.

21.10.2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun