Lebih jauh Wiranto tidak menjelaskan siapakah gerangan kelompok Islam radikal tersebut, kelompok ini seolah-olah dimunculkan sebagai upaya pembenaran bagi aparat keamanan untuk berbuat lebih 'represif' kepada pihak demonstran yang dianggap telah membahayakan stabilitas negara.
Tidak adanya definisi yang jelas apa dan siapa sesungguhnya aktor dibalik Islam radikal yang dituduhkan oleh sang menteri, seakan-akan memberikan otoritas bagi siapa saja untuk bebas menafsirkan apa dan siapa saja kelompok yang dikategorikan sebagai Islam radikal.
Minimnya informasi tambahan terkait apa dan siapakah sesungguhnya aktor yang digambarkan sebagai Islam radikal ini kemudian mendefinisikan dengan instan bahwa yang dimaksud dengan Islam radikal adalah semua kelompok yang beroposisi dengan pemerintahan saat ini.
Penulis sendiri sesungguhnya tidak setuju terminologi Islam radikal digunakan, begitu pula terminologi-terminologi lain yang mengelompokkan Islam dengan kata sifat, yang kemudian menghilangkan sifat utama dari Islam itu sendiri yaitu rahmatan lil alamin. Seperti "Islam Liberal" misalnya ataupun "Islam Kiri", "Islam Kanan" dll. Yang akhirnya terminologi ini justru mengaburkan makna Islam sendiri.
Islam yang secara bahasa bermakna damai, harus ter-gradasi jika disandingkan dengan kata "radikal". Dua hal yang bertentangan secara terminologi ataupun epistemologi.
Sayangnya, terminologi yang keliru ini terus menerus diulang sehingga untuk kemudian dianggap lumrah, wajar bahkan benar.
Penggunaan istilah "radikal" mirip dengan terminologi "teroris" yang digunakan Amerika dalam menggambarkan musuh 'fiktif' mereka pasca tragedi 9/11. Persamaannya terletak dari ambiguitas definisi, yang kemudian ditafsirkan multi arti sesuai kepentingan mereka sendiri.
Permasalahannya kemudian, politik 'sentimen' agama yang digunakan pemerintahan Amerika di era George Walker Bush tidak sesuai dengan geopolitik Indonesia.