Kasus ini menjadi kompleks karena melibatkan dua kepentingan politik yang saling berseberangan, di mana Yoyok Sukawi adalah calon Wali Kota yang diusung oleh Koalisi Semarang Maju Bermartabat (Partai Demokrat, Partai Gerindra, PKS, PKB, PAN, PPP, PSI, dan Nasdem), sementara Wareng selain sebagi pelaksana tugas ketua kelompok suporter PSIS, juga merupakan bagian dari relawan pemenangan rival politik Yoyok Sukawi, yaitu Agustina Wilujeng dan Iswar Aminuddin (Jaguar) yang diusung PDIP.
Wareng adalah bagian dari relawan Pasoekan Pendukung Pak Antok Sejati (Pasopati), yang baru saja melaksanakan Deklarasi Akbar Relawan Jaguar di Posko Pemenangan Jaguar, Jalan Pandanaran, Semarang, pada Minggu (27/10/2024).
Memang, dalam pernyataan di media Wareng selalu menegaskan bahwa apa yang dilakukannya adalah bentuk kritik sebagai bagian dari kelompok suporter PSIS, kepada CEO PSIS akan prestasi tim yang buruk.
Namun dalam konteks ini, konflik antara Wareng dan Yoyok Sukawi menciptakan ambiguitas dalam penilaian terhadap tindakan Wareng. Apakah kritik yang dilayangkan oleh Wareng terhadap Yoyok Sukawi merupakan bentuk kritik yang konstruktif, ataukah sudah melewati batas menjadi ujaran kebencian? Diskusi mengenai perbedaan antara kritik dan ujaran kebencian semakin relevan dalam situasi ini, mengingat banyaknya pendapat dan reaksi publik yang memengaruhi persepsi akhir terhadap peristiwa tersebut.
Beda Kritik dan Ujaran Kebencian
Kritik, dalam kamus besar Bahasa Indonesia, didefinisikan sebagai kecaman atau tanggapan yang kadang disertai dengan uraian dan pertimbangan mengenai suatu hasil karya atau pendapat. Kritik bertujuan untuk memberikan masukan yang membangun dan mengarah pada perbaikan. Dalam konteks ini, kritik dapat dianggap sebagai wujud kepedulian terhadap kinerja PSIS yang dianggap tidak memuaskan, serta harapan agar manajemen klub dapat berbenah demi kemajuan tim.
Sebaliknya, ujaran kebencian (hate speech) merujuk pada ucapan atau tulisan yang mengandung unsur hasutan atau ajakan untuk membenci sesuatu. Ujaran kebencian bertujuan untuk merendahkan, mengejek, dan mengungkapkan ketidaksukaan terhadap individu atau kelompok tertentu. Jika kritik bertujuan untuk memicu perbaikan, ujaran kebencian tidak memiliki niat tersebut dan justru berpotensi menimbulkan konflik yang lebih besar.
Dalam kasus Wareng, jika ungkapan ketidakpuasan terhadap Yoyok Sukawi disampaikan dengan cara yang konstruktif dan berdasarkan fakta, maka itu bisa dikategorikan sebagai kritik. Namun, jika ungkapan tersebut disertai dengan provokasi yang mengarah pada kebencian terhadap individu atau kelompok, maka hal itu bisa dianggap sebagai ujaran kebencian. Penilaian ini menjadi sangat penting agar tidak terjadi penyalahgunaan istilah yang mempengaruhi proses hukum.
Pemahaman yang baik mengenai kritik dan ujaran kebencian memerlukan kecermatan. Dalam situasi di mana kritik dapat dipersepsikan sebagai ujaran kebencian atau ujaran kebencian dipersepsikan sebagai kritik, sering kali terdapat kepentingan politik yang berusaha mengalihkan perhatian masyarakat. Pihak-pihak tertentu mungkin menggunakan kasus tersebut untuk mendorong narasi tertentu, sehingga kritik yang sah dapat diubah menjadi pelanggaran hukum. Atau sebaliknya, ujaran kebencian yang mengarah ke pelanggaran hukum dapat diubah menjadi narasi kritik.
Penting bagi penegak hukum untuk bersikap objektif dalam menyelesaikan permasalahan ini. Kembali pada konsep yang ada akan memudahkan untuk membedakan antara kritik yang konstruktif dan ujaran kebencian yang merugikan. Tinggal, melihat bukti-bukti persoalan yang ada, masalah ini mudah diterjemahkan.
Dalam kesimpulannya, kasus Wareng menyoroti pentingnya pemahaman yang tepat mengenai kritik dan ujaran kebencian, termasuk bagi kita para pengguna media sosial. Masyarakat perlu diberi pengetahuan mengenai perbedaan ini agar dapat membangun iklim komunikasi yang sehat dan konstruktif, serta mendorong partisipasi aktif dalam proses demokrasi tanpa harus terjebak dalam ujaran kebencian yang merusak.(*)