Semula belum ada masjid, lalu ada masjid dengan arsitektur bagus. Bangunan fisik yang membuat orang semakin membenarkan, kalau itu masjid yang turun dari langit.
Apalagi kalau dikaitkan dengan legenda (cerita terjadinya suatu tempat) dan folklore (cerita rakyat), pembenaran semakin kuat. Kita tidak bisa percaya, ada seribu jin yang membangun kompleks candi, membuat perahu raksasa yang ditendang, lalu berubah menjadi gunung. Atau sebatang lidi yang dicabut, memancarkan air yang menenggelamkan suatu perkampungan.
Sayangnya, itu tidak masuk akal. Setelah diusut lebih lanjut, ternyata ada rencana, kerja tim, dan pembangunan bersama. Sekarang zaman orang mempertanyakan informasi.
Ketika musim Pilkada seperti sekarang, orang menanti rekomendasi dari pusat. Belum banyak bergerak, kalau rekomendasi belum beres. Kursi kali sekian ratus juta. Kursi kali sekian miliar. Itu urusan lobi orang-orang partai.
Yang pasti, tidak ada "kursi tiban". Kursi yang tiba-tiba jatuh dari pusat dan diberikan kepada seseorang. Pertimbangan profil, popularitas, dan ketersediaan uang, membentuk rekomendasi. Maka terjadilah kursi. Tanpa ketiga faktor itu, tidak ada kursi.
Selebihnya, kerja bersama. Ketika ada syarat lain, seperti: ideologi dan visi, kemampuan kepemimpinan, elektabilitas, koneksi dan jaringan, dukungan dari basis dan konstituen, keahlian dan kompetensi, komitmen dan loyalitas, kemampuan komunikasi, integritas dan reputasi, serta kemampuan menggalang dana, semua itu kerja tim.
Kekuatan bisa berasal dari langit, tetapi yang mengerjakan tetaplah tangan manusia. Doa memang tidak bisa nyasar, tetapi perantara tetaplah berbentuk manusia. Sehebat apapun dukungan pusat, kalau berada di circle yang tidak tetap, energi bisa sia-sia.
Jadi, lebih baik percaya diri, bahwa kita lebih mengerti rumah kita sendiri, kota kita sendiri, dibandingkan orang-orang pusat. Mereka yang di Jakarta, boleh saja konflik, bicara atas nama partai dan kepentingan mereka, tetapi yang lebih mengerti lokalitas dan masalah di sini bukanlah orang-orang Jakarta.
Kursi tiban dari pusat tidak ada. Suatu kursi calon wali kota, misalnya, terbentuk dari banyak faktor pengkondisian. Rekomendasi hanya salah satunya.
Kebijakan terpusat, mengandalkan "laporan" dan "bisikan". Politik pasewakan agung, yang membicarakan apa yang terjadi di daerah, sering dapat kesimpulan yang tidak sesuai dengan kebutuhan di daerah.
Jika mau tahu apa yang masyarakat Semarang inginkan, bertanyalah kepada orang Semarang. Siapa yang mereka inginkan? Siapa yang mereka tahu? Siapa yang mereka kenal? Siapa yang akan mereka pilih?
Banyak faktor yang membuat seorang calon menang. Dukungan pemilih, itu nomor satu.
Kalau kita pernah main kartu joker banting (nggak pakai taruhan), sekalipun kita punya 2 joker, tetap saja belum tentu menang kalau kartu kita mati. Joker bukan segalanya. Joker itu "wildcard" yang bisa berubah atau bisa difungsikan sebagai kartu apa saja, mendampingi kartu lain. Asal kartunya tepat, dapat Joker berpeluang menang. Kalau kartu yang kita pegang sudah mati, tidak bisa menjadi kartu urut atau kartu kembar, tetap saja Joker tidak mendukung kemenangan.
Joker itu seperti profil calon. Apa pun partainya, kalau profil bagus, dan dapat dukungan pemilih, tetap saja bagus. Siapa pun dekengannya, kalau profil nggak disukai dan tidak dapat dukungan pemilih, tetap saja akan kalah.
Pilkada tidak seperti orang sabung ayam. Bukan lakon Baladewa melawan Kangsa dalam adu jago. Dalam lakon wayang "Kangsa Adu Jago", diceritakan, Baladewa menuntut kursi kekuasaan yang direbut Kangsa. Kresna, adik Baladewa, menggunakan taktik cerdik. Secara pasukan, ia kalah. Pada sisi lain, Kresna ingin memamerkan kekuatan kakaknya.
Akhirnya, terjadilah adu jago. Manusia melawan manusia. Kangsa melawan Baladewa. Pertarungan terjadi beberapa ronde. Setelah sekian menit, jago akan "dibanyoni" (dibasuh dengan air). Setiap kali Kangsa terkapar, diberi air, Kangsa selalu hidup lagi. Kresna akhirnya tahu, asal kekuatan yang menghidupkan energi Kangsa, berasal dari Telaga. Kresna meminta pertolongan Arjuna untuk memasukkan senjata Pulanggeni ke dalam Telaga itu. Air yang begitu tenang dan menghidupkan, berubah menjadi bergolak panas dan beracun.
Pilkada bukan perebutan kekuasaan. Kita bisa mulai mengikis pemaknaan Pilkada yang menakutkan, dengan citra Pilkada yang lebih baik. Pilkada itu menjalankan kepercayaan pemilih. Bukan tentang menang-kalah. Pada akhirnya, partai dan pendukung yang bersaing, tetap akan bekerja dalam satu kantor, satu kota, kembali menjalani kehidupan biasa.
Nggak usah membesar-besarkan peran Jakarta, peran partai, karena sangat banyak faktor yang menentukan terpilihnya seorang calon.
Pemilih di Kota Semarang, semakin hari semakin memperlihatkan kecenderungan mereka berikan suara ke mana.
Sekarang ini saya pakai WiFi gratisan di Poskamling dan baca-baca berita. Sambil lihat status kawan-kawan yang kemarin ikut acara "PSIS Bersholawat". Hasil poling dan survei, Yoyok Sukawi semakin unggul. Apa pun keputusan MK, tidak pengaruhi pilihan warga Kota Semarang untuk Yoyok Sukawi.
Senang rasanya, sebagai warga Kota Semarang, melihat wong asli Semarang menjadi calon wali kota dan diinginkan pemilihnya. Tidak ada lagi perebutan kekuasaan. Yang ada, masyarakat memang ingin punya wali kota pilihan mereka sendiri.
Berita demonstrasi saya skip. Saya mau main joker banting. Nggak usah taruhan.(*)
Kota Semarang, 23 Agustus 2024