Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Pemeriksaan KPK dan Pengaruhnya terhadap Elektabilitas Anies Baswedan

7 September 2022   12:29 Diperbarui: 7 September 2022   12:33 222 3

SAAT paparan ini dibuat Anies Baswedan masih berada di Gedung Merah Putih yang menjadi markas dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Gubernur DKI Jakarta itu menghadapi rangkaian pertanyaan dari para penyidik lembaga antirasuah sebubungan dengan dugaan kasus korupsi dari penyelenggaraan lomba balap mobil listrik, Formula E, pada 4 Juni 2022 di Jakarta International E-Prix Circuit (JIEC), Ancol, Jakarta Utara. KPK mendalami dugaan penggelembungan anggaran pembangunan sirkuit dan besarnya commitment fee penyelenggaraan Formula E 2022, 2023 dan 2024 yang harus dibayarkan oleh Pemprov DKI Jakarta melalui APBD.

Pemeriksaan yang dilakukan KOK terhadap Anies dianggap wajar mengingat adanya kecurigaan terkait besarnya dana pertanggungan yang menjadi beban Pemprov DKI Jakarta tersebut. KPK sependapat dengan Badan Pemeriksa keuangan (BPK) yang menyebut Anies sudah melampaui kewenangannya untuk mengesahkan anggaran yang harus ditanggung oleh Pemprov DKI Jakarta, sementara masa jabatannya sudah berakhir pada 16 Oktober 2022 mendatang.

Yang jelas, pemeriksaan Anies oleh KPK dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Formula E itu sangat mungkin berdampak pada keinginannya untuk tampil di Pilpres 2024. Pemeriksaan KPK terhadapnya memang baru awal, tetapi bukan berarti juga langsung tuntas. Ada pertaruhan besar yang harus dihadapi oleh Anies.

Pemeriksaan yang dilakukan KPK kepada Anies sekarang ini bukannya tidak berimplikasi pada masa depannya. Pemeriksaaan yang dilakukan menjelang masa purnabakti Anies ini juga menumbuhkan tanda tanya besar. Mengapa dilakukan menjelang Anies pensiun?

Dari penelururan penulis, pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK ini juga menimbulkan kegeraman dari para pendukung Anies. Ada yang secara terbuka menyebut jika KPK menerima pesanan untuk memeriksa Anies secara intensif. Para loyalis Anies mendesak KPK untuk bersikap obyektif dalam memeriksa Anies soal Formula E itu. Mereka menilai Anies tidak bersalah dan jangan sampai terkesan dikriminalisasi.

Kendati demikian ada juga pendapat yang menyatakan jika memang ada keterlibatan Anies dalam penyalahgunaan wewenang, atau bersikap abused power terkait pelaksanaan Formula E itu, KPK wajib untuk secara obyektif menjelaskan adanya kerugian negara dari tindakan Anies tersebut.

Pemeriksaan KPK kepada Anies tentunya juga bisa memengaruhi sikap dari partai politik yang sejak awal menempatkannya sebagai figur calon presiden (capres) pada Pilpres 2024, terutama NasDem. Sangat mungkin Surya Paloh dkk di NasDem kini "wait and see", tunggu dan lihat. Demikian juga dengan beberapa partai yang sudah melirik mantan Rektor Universitas Paramadina dan Mendikbud tersebut.

Pemeriksaan KPK juga sangat mungkin memengaruhi elektabilitas Anies dalam percaturan politik menuju Pilpres 2024 mendatang. Tingkat keterpilihan dan popularitas Anies dalam berbagai survei sejak setahun terakhir cukup signifikan untuk melambungkan namanya sebagai salah satu capres pengganti petahana Joko Widodo. Namun, bisa jadi pemeriksaan KPK sekarang ini membuat popularitas dan elektabilitas Anies jeblok. Bahkan bisa sampai ke titik nadir jika pemeriksaan KPK terus berlanjut dengan spekulasi Anies pada akhirnya memakai rompi kuning KPK, sebagai tersangka.

Dari penelusuran penulis, penyelidikan KPK atas dugaan adanya korupsi terkait penyelenggaraan Formula E sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum lomba single-seater listrik itu dilangsungan pada 4 Juni lampau. Proses lidik sudah digeber sejak setahun silam. Berbagai pihak terkait sudah dimintai keterangan, termasuk Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi yang sudah lebih dulu mendatangi Gedung Merah Putih pada 22 Maret 2022.

Prasetyo Edi Marsudi, yang meski insan penyuka otomotif fanatik, termasuk yang sejak awal kontra dengan Anies Baswedan. Dia terang-terangan mengkritisi biaya komitmen Formula E yang disetor Pemprov DKI yang terus menjadi sorotan masyarakat. Apalagi, total commitment fee yang ditanggung APBD DKI berbeda jauh dengan commitment fee di kota-kota belahan dunia lain yang juga menyelenggarakan Formula E.

Kita ketahui bahwa perbedaan commitment fee awalnya dipertanyakan oleh Fraksi Partai PSI DPRD DKI. Wakil Ketua Komisi E dari F-PSI, Anggara Wicitra, mengungkap total commitment fee yang ditanggung APBD DKI sebesar 122,102 juta pound sterling atau setara Rp 2,3 triliun. Itu jauh lebih besar dari biaya Nomination Fees for the City of Montreal, Kanada, sebesar C$ 151 ribu atau setara Rp 1,7 miliar dan race fees sebesar C$1.5 juta atau setara Rp 17 miliar dengan total biaya sebesar Rp 18,7 miliar. Bahkan, penyelenggaraan Formula E di Kota New York, Amerika Serikat, tidak dikenai biaya commitment fee.

Itu yang terus dipertanyakan, mengapa biaya commitment fee Formula E Jakarta sangat tinggi dan jelas membebani APBD Jakarta. Tak terkecuali oleh KPK, yang sejak awal ikut menyoroti dugaan biaya komitmen Formula E Jakarta yang lebih mahal dibandingkan kota-kota penyelenggara lainnya.

Kecurigaan KPK sebenarnya bahkan sudah dimulai pada akhir 2019 menyusul beredarnya surat dari Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) DKI Jakarta ke Anies Baswedan yang berisi rincian biaya komitmen Formula E. Biaya komitmen itu wajib dibayarkan Pemprov DKI ke pihak Formula E melalui Dispora DKI Jakarta.

Dalam surat tersebut, Pemprov DKI memiliki kewajiban membayar biaya komitmen selama lima tahun berturut-turut. Rinciannya sebagai berikut:
Sesi 2019/2020: 20 juta pound sterling atau setara Rp 393 miliar
Sesi 2020/2021: 22 juta pound sterling atau setara Rp 432 miliar
Sesi 2021/2022: 24,2 juta pound sterling atau setara Rp 476 miliar
Sesi 2022/2023: 26,620 juta pound sterling atau setara Rp 515 miliar
Sesi 2023/2024: 29,282 juta pound sterling atau setara Rp 574 miliar

Jika ditotal, rincian awal itu senilai 121 juta pound sterling atau sekitar Rp 2,3 triliun.

Masih dalam surat Dispora tersebut, Anies diingatkan terkait kewajiban membayar biaya komitmen selama lima tahun itu. Jika merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, pada Pasal 92 ayat (6) disebutkan, jangka waktu penganggaran pelaksanaan kegiatan tahun jamak tidak melampaui akhir tahun masa jabatan daerah berakhir.

Meski demikian, ada kekecualian jika kegiatan tahun jamak dimaksud merupakan prioritas nasional dan atau kepentingan strategis nasional sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan, jika kewajiban bayar lima tahun berturut itu tidak dijalankan, bisa dianggap sebagai perbuatan wanprestasi dan bisa digugat.

Belakangan, seperti disampaikan dalam tulisan terdahulu, JakPro bersama FEO membuat kesepakatan baru terkait biaya komitmen. Disebutkan bahwa kesepakatan baru itu salah satunya mengenai pemangkasan biaya komitmen menjadi Rp 560 miliar untuk 3 musim balapan.

Penyelenggaraan Formula E selama tiga tahun berturut-turut di Jakarta sejak awal disebut-sebut sebagai proyek mercusuar Anies Baswedan. Padahal, itu hanya salah satu megaproyek yang dilakukan Anies dalam upayanya meng-upgrade megapolitan ini. Proyek mercusuar lainnya adalah pembangunan Jakarta International Stadium (JIS), juga di kawasan Jakarta Utara. Anies jelas ingin menimbulkan kesan mendalam sebelum meninggalkan jabatannya sebagai orang nomor satu di DKI Jakarta.***


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun