Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Menganyam Tuah di Negeri (Katanya) Bertuah

8 April 2015   21:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:21 61 0
SUKADANA,  Sudah kurang lebih empat tahun ini Darwani menggeluti usaha kerajinan rumahan berupa anyaman dari pandan, pucuk nipah, dan lidi daun nipah. Lelaki berumur 42 tahun kesehariannya bertugas sebagai Kepala Urusan Pemerintahan (Kaurpem) Pemerintah Desa (Pemdes) Sejahtera Kecamatan Sukadana ini, membina kurang lebih 30 orang. “Ke-30 orang ini terhimpun di Sanggar Karya Sejahtera yang diprakarsai Yayasan Palung dan Balai Taman Nasional Gunug Palung (BTNGP). Tepatnya dalam program pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) bagi masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Palung (TNGP), untuk mencegah maraknya illegal logging (pembalakan liar) di kawasan TNGP,” kata Darwani, praktisi anyaman tradisional Kayong Utara, Senin (18/8/2014). Namun sayangnya, keluh Darwani, program-program pelatihan yang diberikan kepada masyarakat tidak berjalan sepenuhnya menyentuh ke sasaran. Khususnya di sektor pemasaran maupun pembudidayaan hasil hutan bukan kayu itu. “Pelatihan dilakukan hanya bersifat instant (cepat saji) dan musiman saja, sehingga keterampilan masyarakat tantang anyaman maupun pemanfaatan hasil hutan bukan kayu lainnya, untuk dijadikan sebuah karya masih sangat minim dan masih perlu dilakukan pembinaan,” papar Darwani. Di sektor pemasaran misalnya, analisis Darwani, masyarakat pengarajin masih bingung akan ke mana hasil karya mereka akan dijual nantinya. Sebab, belum ada sebuah lembaga khusus atau instansi yang benar-benar siap menampung hasil kerajinan tersebut. Darwani tidak menampik bahwasannya dari karya anyaman yang mereka hasilkan ada yang dibeli oleh Yayasan Palung, Klinik ASRI, dan pihak lainnya seperti Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Kayong Utara (KKU). Akan tetapi hanya dalam waktu-waktu tertentu saja. Artinya, hasil dari kerajinan memanfaatkan hasil hutan bukan masih belum mampu menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Faktor pemasaran ini juga yang menyebabkan lebih dari separuh anggota binaan di sanggarnya memilih berladang. Bahkan ada yang pergi meninggalkan kampung untuk mencari pekerjaan lain menjadi buruh di perusahaan kebun kelapa sawit. “Sekarang ini anggota sanggar yang aktif tinggal lima orang jak.Ditambah ade beberapa anggota baru yang berminat untuk belajar,” keluh Darwani di sela-sela obrolan dengan cengkok Melayu Kayong yang khas. Ditambah lagi saat ini sumber bahan baku untuk kerajinan berupa rotan, purun, dan pandan sudah sangat berkurang populasinya. Disebabkan pembakaran lahan ladang berpindah yang dilakukan segelintir masyarakat dan juga alih fungsi hutan oleh perusahaan, untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Kepada Warta Kayong, Darwani menceritakan setiap pelatihan-pelatihan yang sering diikutinya hanya sebatas mengajarkan cara menganyam. Akan tetapi belum sampai pada ke mana nantinya produksi  akan dipasarkan, sehingga produksi bisa berjalan secara terus-menerus. Apalagi program bagaimana cara membudidayakan bahan baku untuk kerajinan tersebut, mengingat persediaan rotan maupun purun di alam Negeri Bertuah ini sudah hampir musnah. Darwani menyesalkan kebijakan pemerintah yang diisi lain mengajak masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan tapi di sisi lainnya, pemerintah justru memberikan izin kepada para pengusaha besar untuk menggarap lahan secara besar-besaran menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Hutan yang dulu ditumbuhi berjenis-jenis rotan maupun daerah rawa yang ditumbuhi purun dan pandan, kini sudah disulap menjadi tanaman sawit semua. Padahal purun, pandan, dan aneka jenis rotan adalah bahan dasar untuk dijadikan kerajinan tangan oleh masyarakat setempat . “Bagi kami, masyarakat pengarajin ini, perkebunan kelapa sawit tidak memberikan kontribusi apapun selain tawaran untuk menjadi buruh di perusahaannya,” kritik Darwani. Lelaki sederhana dan peramah ini menambahkan, tak ada satupun bagian dari pohon sawit yang bisa kami jadikan kerajinan tangan. Saat menemui beliau, kru Warta Kayong sengaja mendatangi di malam hari. Sebab, pada saat itulah beliau ada di rumah sambil melakukan pekerjaan anyaman. Sedangkan kalau di siang hari harus melakukan tugas mulianya di Kantor Pemerintah Desa (Pemdes). Kebetulan sekali malam itu, dapat berkenalan dengan ibu mertuanya nenek Maryamah serta istri beliau ibu Halimah yang sedang menganyam tikar dengan sangat terampil. Kru Warta Kayong diperkenalkan dengan berbagai motif anyaman tikar, seperti bunga cengkeh dan motif tapak catur hasil karya beliau. Di sela-sela obrolan Warta Kayong pun tak lupa mengabadikan gambar Pak Darwani yang sedang menganyam lekar(anyaman khusus untuk alas periuk, kuali, piring makan, dan lain-lain) dari lidi pucuk nipah. Kepiawaian beliau membuat kru Warta Kayong takjub. Bayangkan hanya butuh waktu kurang lebih 15 menit anyaman yang beliau buat sudah jadi dan hasilnya sangat rapi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun