Ide Pemilihan Tak Langsung yang dianggap sebagai 'Pembunuhan' hak-hak demokrasi rakyat sepertinya menarik untuk diulas lebih lanjut.
Saya pribadi meyakini bahwa demokrasi adalah sumber masalah. Ketika suara rakyat dijadikan sebagai suara kebenaran, maka apapun keputusan orang banyak akan dianggap benar. Voting tanpa musyawarah terlebih dahulu adalah suatu bentuk upaya melarikan diri dari nilai-nilai kebenaran Tuhan. Terlepas dari voting itu dilakukan melalui sistem langsung ataupun tak langsung.
Mari kita bayangkan ilustrasi berikut:
"Calon Pemimpin A tidak menyetujui dan tidak akan menerapkan aturan pernikahan sesama jenis. A didukung oleh 10% rakyat pemilih.
Calon Pemimpin B menyetujui dan akan menerapkan pernikahan sesama jenis. B didukung oleh 90% rakyat pemilih."
Melalui sebuah acara yang diistilahkan dengan 'Pesta Demokrasi', maka otomatis si B menjadi pemimpin karena didukung oleh 90% rakyat pemilih. Dan otomatis pula pernikahan sesama jenis akan diterapkan sebagai sebuah keputusan negara dan dianggap menjadi sebuah kebenaran karena didukung oleh 90% rakyat
Padahal semua agama yang otomatis adalah perintah kebenaran dari Tuhan melarang pernikahan sesama jenis.
Maka amatlah tidak mengherankan jika di negara manapun yang menganut Sistem Demokrasi, keadaan negara akan 'disesuaikan' dengan kondisi dan keinginan rakyatnya. Sementara itu demokrasi sendiri digawangi oleh USA dan negara-negara sekuler lainnya. Maka otomatis kondisi suatu negara mana pun akan 'disesuaikan' dengan apa yang di inginkan oleh USA dan sekutunya tersebut. Liberal dan Kapitalis.
Negara kita yang berasaskan Pancasila sebenarnya sudah memberikan keindahan dasar-dasar bernegara dengan kelima silanya. Para pendiri negara amat paham betul dengan keadaan bangsa ini. Bahwa bangsa Indonesia yang masyarakatnya beragam ini harus berlandaskan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusian. Melalui semangat persatuan dapat merumuskan keinginan beragam rakyatnya melalui hikmah-hikmah yang dicapai dalam musyawarah wakil-wakil mereka untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Amatlah berbahaya jika seluruh rakyat yang amat beragam baik dari sisi ilmu dan pengetahuan maupun agama, suku, dan budaya ini diberikan 'wewenang' untuk memilih calon pemimpinnya atau melakukan keputusan-keputusan strategis kehidupan negara yang lain.
Bisa kita bayangkan jika apa-apa yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus diputuskan melalui pilsung karena rakyat merasa berhak 'secara langsung' menentukan kebijakan negara seperti halnya keputusan model pemilihan oleh legistatif.
Keputusan tentang kelanjutan kontrak karya eksploitasi sumber daya alam dengan asing, atau kenaikan harga BBM atau minyak misalnya juga harus dilakukan dengan pemilihan secara langsung melalui PILSUNGKEM atau Pemilihan Langsung Kenaikan Minyak. Tentu akan merepotkan.
Memilih, mengangkat, melantik, mengkritik, menurunkan, mengganti, dan memilih kembali para pemimpin eksekutif, legistatif atau yudikatif sudah ada payung konstitusi yang mengaturnya. SOP negara ini sudah ada. Jika ada yang harus dirubah SOP nya maka kembalikan kepada mekanisme konstitusi yang ada. Maka Insya Allah tidak akan 'rame dan rusuh.
Namun apa daya, rakyat Indonesia sekarang sudah semakin pintar. Bukan pintar berfikir atau pintar mengkritik. Tapi pintar membully, pintar berperilaku anti kritik, pintar memfitnah, dan pintar menuduh pihak lain memfitnah. Selama hampir setahun ini wajah bangsa Indonesia yang dikenal santun ternyata sudah berubah menjadi santan, cairan yang terlihat putih bersih namun bisa menyebabkan penyakit magh.
Pilsung dan Piltaksung menjadi istilah yang ngetren dalam beberapa pekan ini. Entahlah, model pemilihan apa yang benar yang dimaui Tuhan. Para ulama, pakar ilmu syariah dan ilmu politik yang mungkin lebih memahaminya.
Kalau boleh usul, mungkin 'bisa dicoba' pemilihan berjenjang. Warga satu RT bermusyawarah menentukan wakil pemimpinnya. Wakil-wakil RT terpilih ini kemudian berkumpul lagi untuk bermusyawarah menentukan wakil pemimpin level RW. Dilanjutkan dengan musyawarah level desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan akhirnya presiden. Mungkin dengan cara ini akan terpilih pemimpin-pemimpin bangsa terbaik yang terpilih melalui musyawarah berjenjang dan di setiap jenjang pemerintahan. Tentunya musyawarahnya cukup disuguhi air putih saja supaya tidak boros. Karena musyawarah bukanlah sebuah pesta seperti halnya democrazy.
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan Ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikalah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu).” [QS An-Nisa’/4: 59]
Wallahu a'lam ...
Referensi yang bisa menjadi bahan bacaan ringan:
http://fisip.umrah.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/JURNAL-ILMU-PEMERINTAHAN-BARU-KOREKSI-last_86_104.pdf
http://politik.kompasiana.com/2012/12/30/sistem-pemerintahan-dalam-islam-515126.html
http://hizbut-tahrir.or.id/2012/09/27/sistem-pemerintahan-islam-adalah-sistem-khilafah-bukan-sistem-lainnya/
http://kwikkiangie.com/v1/2012/03/kontroversi-kenaikan-harga-bbm/