Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum

Konsep "Green Mining" adalah Pembohongan Publik, Industri Tambang Pasti Merusak Lingkungan. Oleh : Rudi Sinaba

11 September 2024   23:12 Diperbarui: 14 September 2024   07:57 93 0


Konsep "green mining" atau pertambangan hijau semakin sering dipromosikan oleh perusahaan tambang di Indonesia, terutama sebagai bagian dari kampanye keberlanjutan untuk menarik perhatian investor dan publik. Istilah ini merujuk pada praktik pertambangan yang diklaim ramah lingkungan dengan penggunaan teknologi dan manajemen yang lebih baik untuk mengurangi dampak lingkungan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pertambangan yang benar-benar ramah lingkungan hampir tidak mungkin dilakukan. Penelitian dan investigasi terbaru di Indonesia memperlihatkan bahwa di balik slogan "green mining," kerusakan ekosistem tetap terjadi, dan konsekuensi sosial-ekonomi negatif masih dirasakan oleh masyarakat lokal.

Kerusakan Hutan dan Ekosistem

Menurut data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sepanjang tahun 2023, Indonesia kehilangan lebih dari 200 ribu hektar hutan karena aktivitas pertambangan, terutama di wilayah Kalimantan dan Sumatra. "Green mining adalah mitos. Tidak ada pertambangan yang tidak merusak ekosistem dan komunitas di sekitarnya," kata Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif WALHI. Zenzi menyoroti bagaimana perusahaan tambang mengabaikan peraturan lingkungan yang ada dan sering kali hanya melakukan reklamasi secara simbolis.

Di Kalimantan Timur, sebagai pusat pertambangan batubara di Indonesia, penggundulan hutan terjadi di sekitar daerah operasi tambang, seperti di Kutai Kartanegara, Paser, dan Berau. Sebuah investigasi di lapangan menemukan bahwa sungai-sungai tercemar oleh limbah tambang, menyebabkan rusaknya sumber air bagi masyarakat sekitar. WALHI melaporkan bahwa lebih dari 60% sungai di sekitar wilayah tambang di Kalimantan Timur tercemar bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida.

Manipulasi Data dan Pelanggaran Prosedur Lingkungan

Investigasi lebih lanjut oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menemukan bahwa sebagian besar perusahaan tambang tidak mematuhi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang seharusnya dilakukan sebelum mendapatkan izin operasi. "Banyak perusahaan tambang yang mengabaikan AMDAL atau memanipulasi data untuk mendapatkan izin," ujar Merah Johansyah, Koordinator Nasional JATAM. Menurutnya, hasil temuan investigasi di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa dari 120 tambang yang beroperasi, 70% di antaranya tidak melakukan kajian dampak lingkungan dengan benar.

Laporan JATAM juga mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan tambang ini kerap kali menyuap pejabat lokal untuk mendapatkan izin tanpa perlu mengikuti prosedur lingkungan yang ketat. Akibatnya, ketika bencana alam seperti banjir dan longsor terjadi, daerah-daerah tambang tersebut menjadi lebih rentan dan masyarakat setempat yang menanggung beban terberat.

Tidak Ada yang Namanya Tambang Ramah Lingkungan

Menurut Dr. Dwi Sawung, ahli lingkungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), pertambangan selalu memiliki dampak yang signifikan terhadap ekosistem dan lingkungan, bahkan dengan penerapan teknologi terbaik sekalipun. "Teknologi modern dalam pertambangan mungkin dapat mengurangi dampak, tetapi tidak bisa menghilangkan dampak tersebut. Pertambangan pasti akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, degradasi tanah, dan pencemaran air," jelasnya.

Dr. Dwi juga menyebutkan bahwa konsep "green mining" sering kali hanya berfungsi sebagai alat pemasaran untuk meredakan kritik publik dan investor. "Jika Anda benar-benar melihat ke lapangan, hampir tidak ada perusahaan yang melakukan pertambangan tanpa merusak lingkungan. Ini adalah masalah mendasar dari industri ekstraktif," tambahnya.

Lingkungan dan Masyarakat Terdampak Langsung

Di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, terdapat beberapa tambang nikel besar yang mengklaim menerapkan "green mining". Namun, data dari Greenpeace Indonesia menunjukkan bahwa pencemaran udara dan air di sekitar tambang tersebut semakin parah dalam lima tahun terakhir. Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, menegaskan bahwa dalam banyak kasus, perusahaan tambang hanya menggembar-gemborkan narasi "green mining" untuk mendapatkan sertifikasi hijau atau demi memenuhi standar CSR yang sebenarnya tidak lebih dari upaya "greenwashing."

Greenpeace mencatat bahwa lebih dari 15.000 warga Morowali kini mengalami kesulitan akses terhadap air bersih akibat tercemarnya sungai dan sumber air lain oleh limbah tambang. "Alih-alih menjadi solusi bagi lingkungan, pertambangan yang diklaim 'hijau' ini justru memperburuk keadaan," ujar Leonard.

Organisasi Lingkungan Menyerukan Pengawasan Lebih Ketat

Organisasi lingkungan di Indonesia seperti WALHI, Greenpeace, dan JATAM menyerukan kepada pemerintah untuk segera memperketat pengawasan terhadap praktik pertambangan di seluruh negeri. Menurut mereka, pemerintah perlu meninjau ulang semua izin tambang yang telah diberikan dan memastikan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut memenuhi standar lingkungan yang sebenarnya, bukan hanya sekedar sertifikasi formal.

"Jika Indonesia ingin benar-benar berkomitmen pada keberlanjutan, maka tidak ada pilihan selain mereformasi kebijakan pertambangan secara besar-besaran," kata Zenzi Suhadi. Dia juga menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat sipil dan komunitas lokal dalam proses pengambilan keputusan terkait pertambangan di daerah mereka.

Dari serangkaian data, investigasi lapangan, dan pendapat ahli yang telah dikumpulkan, jelas terlihat bahwa konsep "green mining" atau pertambangan hijau hanyalah mitos yang digunakan untuk memanipulasi persepsi publik. Tidak ada praktik tambang yang benar-benar bebas dari dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu, upaya nyata dalam melindungi lingkungan Indonesia dari eksploitasi pertambangan yang tidak bertanggung jawab harus dimulai dari reformasi kebijakan, penegakan hukum yang tegas, dan peningkatan transparansi dalam industri pertambangan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun