Akhirnya penumpang yangg mapan lebih memilih beli mobil sementara kaum kebanyakan menyicil motor, yang menyebabkan penumpang angkutan umum makin sepi. Pendapatan yangg menurun membuat sopir mulai berhenti bawa penumpang beralih keprofesi lain. Pemilik kendaraan pun enggan memperbaharui kendaraannya atau akhirnya bangkrut.
Akhirnya inilah yang terjadi disemua provinsi, setiap kota setiap kabupaten, transportasi publik sudah lama mati, kalaupun ada seperti hidup segan mati tak mau bergantikan dengan setiap rumah yang memiliki kendaraan pribadi ( mobil atau sepeda motor), sebagian dari mereka memiliki kendaraan itu dengan sistem kredit.
Padahal perhitungan UMR tidak memasukkan kredit motor sebagai komponen penyusunnya tapi karena “terpaksa” tidak ada pilihan mereka menyicil sepeda motor yang membuat biaya hidup jadi tinggi, pun perlu diingat masih banyak pekerja kita yg penghasilannya dibawah UMR. Disuatu sisi saat ini anak-anak sekolah pun terpaksa membawa motor ke sekolah.
Data kepolisian menunjukkan tahun 2022 terjadi 123 ribu kecelakaan lalu lintas dengan trend kenaikan 20% tiap tahunnya dimana 70 % disumbang oleh sepeda motor. Dari kecelakaan sepeda motor tersebut 80% bersifat fatal. Artinya jalan raya adalah killing field atau bisa disebut tempat genocida baru dinegara ini.
Apesnya dari tiga capres kita hanya satu capres yg memperjuangan pembangunan transportasi publik di dalam misinya. Artinya ada peluang 67 persen kondisi ini tidak berubah.
Padahal negara kapitalis sekalipun membebankan pengadaan transportasi publiknya pada negara dan mensubsidi ongkosnya. Kita sebaliknya. Jadi pada situasi ini mana yang lebih pancasilais?!