Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Kuasa Hati

1 November 2019   18:22 Diperbarui: 1 November 2019   18:41 76 3
hanya kemarau yang berkepanjangan, penderitaan Kondra pun tak kesudahanan. Angin bulan Maret berhembus, namun hawa panas masih tetap menyengat. Baru kali ini tak ada hujan diawal tahun.

Kondra melepas bajunya ia letakan pada bambu yang dipasang melintang di depan sumur buatan di dasar sungai yang telah lama mengering.

Di dasar sungai itu, sudah sudah ada 3 sumur sedalam hampir dua meter yang digali. Alasannya,  didasar sungai akan mudah menemukan mata air. Airnya digunakan untuk kebutuhan mandi dan mencuci warga.
Itu dilakukan warga karena sumur-sumur rumah warga telah mengering. sehingga harus ada upaya untuk memenuhi kebutuhan akan air warga.

Selepas mandi, kondra  bergegas pulang menembus hitam malam yang mulai datang.

Setelah melewati rimbun 'borong bulo', ia sampai kerumah. Sebelum naik ke rumah panggung, ia sempatkan menegok sapi-sapi yang selalu menemani hari-harinya. Meski belakangan ini urusan rumput dan minum sapinya ekstra menguras tenaga.

**
Matahari baru saja muncul, namun tak seperti biasanya, Dg Naungi telah ada disawahnya. Matanya berkaca, melihat padi dihamparan sawahnya yang telah mati. "Mate kacikoroki apa-apaya Kondra. Apamo annne nanikanre" ujarnya sambil tersedu-sedu.

Kondra tak berani menjawab. Ia hanya berinisiatif menyuruh sapi-sapinya untuk berjalan kembali. Ia masih harus berjalan jauh mencari tempat yang masih tersedia rumput untuk makanan ternaknya itu. Belum lagi, sungai yang telah lama mengering tak menyediakan lagi minuman untuk sapi-sapinya. Maka semakin beratlah tugasnya belakangan ini.

"Aklampama paeng Daeng," Kondra meminta izin. Dg Naungi yang masih hanyut dalam sedihnya tak memberi jawaban apapun. Namun meski begitu, Kondra tetap melaju.

Awal tahun 1997 memang adalah masa paling sulit bagi semua petani yang ada di Desa Lebba Kammami. Kemarau berkepanjangan membuat padi para petani mati akibat kebutuhan air tak terpenuhi.

'Elnino' menyerang hampir semua wilayah, akibatnya tanaman tak bisa bertahan hidup akibat panas. Derita itu menjadikan para petani harus mengusap dada, sebab padi yang diharapkan menyambung hidup mereka harus mati sebelum dipanen.

Belum lagi, ekonomi saat itu memasuki masa-masa yang sulit. Beberapa kebutuhan dasar seperti sembako yang mulai merangkak naik. "Pemerintah akan terus berupaya untuk mencari alternatif solusi, untuk menstabilkan kondisi perekonmian negara," pernyataan yang didengar Dg Naungi di stasisun TV negara itu masih teringat dikepalanya.

**

Matahari senja mengiringi langkah Kondra menggiring sapi kembali ke kandang. Seperti biasa, di tiga rumah sebelum rumah majikannya, ia akan menengok ke sebelah kanan. Disana Rannu telah menyambut dengan senyum manisnya. Sekitar beberapa detik mereka akan saling lempar senyum.

Mereka berdua telah lama saling menaruh hati. Pertemuan mereka dimulai saat kedatangan Kondra dua tahun lalu didesa itu, setelah diamit oleh keluarga Dg Naungi sebagai 'pakamppi sapi'. Pertemuan pertama ini membuat mereka sama-sama jatuh hati. Lalu setelahnya berlanjut.

Hingga sekitar 10 bulan yang lalu, diperayaan "songka bala" disela kesibukan Rannu membantu menyiapakan ritual adat tersebut, Kondra memanggil Rannu ke belakang rumah 'pinati' lalu mengungkapkan kesukaanya. Dan gayung pun bersambut mereka akhirnya berpacaran.

Namun, hubungan mereka harus dijalani diam-diam, sebab Kondra tahu diri, kehadiran dirinya yang hanya pakampi tidak mungkin langsung diterima oleh keluarga Rannu yang merupakan orang terpandang dikampung tersebut. Dg Binggu, ayah Rannu adalah tuan tanah dikampung.

Apalagi adat kental yang masih dianut oleh warga disana. Dimana nilai kesopanan laki-laki dan perempuan dalam berinteraksi.

Hubungan mereka sungguh sangat rahasia, dalam seminggu atau bahkan dua minggu mereka hanya akan bertemu dan bicara satu kali. Itupun hanya beberapa menit.

Keduanya punya tempat untuk melepas rindu. Yakni di belakang rumah Dg Ningai, yang terletak diantara rumah Dg Naungi dan rumah orang tua Rannu.

Selebihnya mereka hanya akan saling pandang dan saling senyum saat Kondra pulang dari mengembala sapi-sapinya.

**

Tahun 1998 menghampiri. Setelah pelik hidup masalah hidup yang dialami warga kampung untuk bertahan hidup dengan cara membeli beras. Mereka pun harus irit.

Dg Naungi sendiri telah menjual dua sapi miliknya untuk bertahan hidup. Kini hanya tinggal 9 ekor sapi digembala oleh Kondra.

Namun, sayanya kondisi pusat yang mulai tidak stabil, pasca krisis moneter yang menimpa membuat presiden saat itu harus putar otak membuat rancangan kebijakan. Harga minyak tanah juga mulai naik drastis. Membuat warga di kampung yang tinggali Kondra juga terkena imbasnya.

Keadaan semakin sulit pasca kemarau berkepanjangan dan krisis moneter. Namun hal itu tak berarti banyak bagi Kondra, ia lebih dipusingi dengan kabar akan menikahnya pujaan hatinya.

Baru saja Rannu dilamar oleh warga kampung sebelah, Desa Akpabajiki Nyawa. Kabar itu sontak membuat dadanya bergetar. Hari itu dia tidak fokus mengembala. Pikirannya bergelayut, takut jika akhirnya kekasih pujaan hatinya dipinang laki-laki lain.

***
Waktu telah menujukkan pukul 10 malam, tak biasanya Kondra masih terjaga. Jiwa gelisahnya membuat matanya tak bisa terpejam. Ia akhirnya memberanikan diri, menyelinap ke halaman rumah Rannu. Tepat dibawah kamar Rannu ia mengetok lantai kayu kamar sebanyak tiga kali secara perlahan agar tak membangunkan orang lain di rumah Rannu.

Rannu yang ternyata juga belum terjaga pun mulai terdengar membuka jendela kamarnya. Kondra lalu bergegas menuju jendela, ia lalu dengan bahasa isyarat tangan memintanya bertemu untuk bicara dengan Rannu di pohon Mangga sekirar lima puluh meter dibelakangan rumah Rannu.

Rannu dengan langkah hati-hati bergegas menemui permintaan Kondra. Dua sejoli itu pun bertemu. Tampak wajah Rannu basah, sisa air mata masih terlihat dirautnya.

"Kondra, bagaimanami ini. Kah naterimami lamaranya itu laki-laki amboku?" tanya Rannu penuh harap.

Kondra yang dalam kekalutan yang sungguh juga tak bisa bicara apa-apa. Ia hanya terus memengani kepalanya. "Jawabki Kondra" desak Rannu.

Kondra belum mengeluarkan sepatah katapun, ia hanya terlihat gelisah. "Kondra, bulan depanmi pestanya" Rannu mulai mencecar.

Malam semakin pekat. Setelah beberapa lama berbicara, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk kembali kerumah masing-masing.

**
Presiden telah menyerahkan kekuasaanya. Ia mengikuti tuntunan mahasiswa yang telah mengelar demonstrasi berhari-hari, bahkan telah menduduki gedung parlemen.

Kekuasaan diambil alih seorang wakil presiden saat itu. Secara konstitusional, ia nerhak menduduki kursi presiden, setelah presiden mengundurkan diri akibat gelombang desakan dari mahasiswa dan masyarakat.

Di Kampung Lebba Kammami, bagi Kondra, bulan Mei itu bukan soal kekuasaan presiden, ini lebih soal kekuasaanya dihati Rannu yang akan diambil alih paksa oleh laki-laki dari kampung sebelah. Empat hari lagi, acara pernikahan akan dilangsungkan.

Rumah Rannu telah dibangungi 'Balla Panyambungi', Lasugi paripurna  terpasang di dinding rumah. Anak-anak mulai bermain 'enggo-enggo' di bawah lamming yang dibangun dari bambu-bambu yang ditebang dari borong buloa. Hal itu semakin membuat miris hati Kondra.

Dan rasa nekat itu pun sempurna di hati Kondra. Apa yang direncakannya dengan Rannu akan dilaksanakan malam ini. Ia dan Rannu akan 'Silariang'.

Pukul setengah sepuluh malam, Kondra telah mengepak pakaian seperlunya. Ia lalu bergegas menuju rumah Rannu, ia memberi kode seperti biasa. Kondra lalu bergegas menuju pohon Mangga belakang rumah Rannu. Disana ia menunggu. Tak lama berselang, Rannu pun datang. Mereka akhirnya berjalan berdua.

Rannu tersedu, sambil jalan air matanya juga tak berhenti mengalir, "Ambo, Amma pammoporang," kalimat itu terus diulang-ulangi Rannu sepanjang jalan.

Mereka berdua terus berjalan menyusuri belantara. Mereka lewat belakang, jalan yang menghubungkan  kampung Lebba Kammami dengan Desa Situna-tunai. Namun ditengah perjalanan, tak disangka didepan mereka ada Dg Talliwa dan Dg Pannia, keduanya adalah paman Rannu. Serta Ayah Rannu juga hadir.

Tanpa basi-basi, ketiganya lalu menyerang Kondra. Malam jadi saksi bisu. Darah dan airmata tumpah.  Tangisan Rannu memecah sunyi malam itu.

"Ammoterko, eroko akapasiri tau toa, Rannu. Tenana kusanna-sanna eroki kugaukang anne," bentak Dg Binggu.

**

Teriakan "sah" terdengar nyaring hingga kerumah Dg Naungi. Rannu resmi tak bisa lagi diganggu. Ia kini milik sah seseorang.

Teriakan itu juga didengar Kondra, sakit akibat luka tusukan badik dikedua pahanya, menjadi tak seberapa dibandingkan luka dihatinya.

"Kadde teai Dg Naungi kupaciniki, tenamo kupanyawako anne bangia," pesan Dg Binggu malam itu juga terniang diingatan Kondra. (**)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun