Fluktuasi harga daging sapi dalam satu dekade terakhir tak kunjung henti, utamanya disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang kontroversial tidak dibarengi data yang akurat. Pada bulan Agustus tahun ini, fenomena gejolak harga daging sapi berulang kembali tepatnya seperti yang terjadi di tahun 2012 lalu. Penyebab dan fenomenanya pun relatif sama, di tahun 2011 menurut hasil sensus Pendataan Sapi dan Kerbau yang dilaksanakan oleh BPS menyebutkan bahwa populasi ternak sapi berjumlah 14,8 juta ekor. Sedangkan menurut ‘cetak biru’ swasembada daging sapi, bahwa apabila populasi sapi telah mencapai 14,2 juta ekor berarti swasembada daging sapi telah dicapai. Hasil sensus tersebut, telah dijadikan dasar ditahun 2012 untuk menurunkan kuota impor daging dan sapi dari 53% menjadi 17,5%. Dampak yang terjadi sebagai akibat kebijakan ini, tampak bahwa harga daging sapi melambung tinggi dari Rp. 70 ribuan menjadi Rp. 90 – 100 ribuan per kilogram. Kasus yang sama terjadi kembali di tahun 2015 ini, tatkala terjadi perubahan kepemimpinan di kementrian pertanian, telah disepakati bahwa importasi ternak sapi dibagi kedalam empat triwulan dalam setahun, sedangkan daging sapi dibebaskan tanpa kuota impor. Kesepakatan tersebut, telah ditandatangani oleh masing-masing pengusaha penggemukan sapi potong untuk direalisasikan. Di triwulan ke satu dan dua ternyata para pengusaha feedlot tidak mampu memenuhi target impor yang dimintanya dalam jumlah dan kesepakatan harga. Hal ini sebenarnya dapat difahami bahwa dampak perubahan yang drastis ditahun 2012 lalu belum mampu memberikan iklim kondusif dalam penentuan harga dan volume impor. Walaupun pemerintah telah menggelontorkan sapi siap potong sebanyak 29.000 ekor dan 1000 ton daging melalui BUMN (PT Berdikari). Kenyataan ini lah yang membuat, kementan merubah kebijakan dengan memangkas quota impor sapi bakalan di triwulan ketiga dari 250 ribu ekor menjadi 50 ribu ekor.
KEMBALI KE ARTIKEL