Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Tablet Berbalut Agama: Ilusi Pilihan dalam Pasar Keyakinan

20 November 2024   20:32 Diperbarui: 24 November 2024   14:06 38 0
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena komodifikasi agama di Indonesia semakin meluas, terlihat dari munculnya produk-produk yang mengklaim memiliki nilai spiritual atau edukatif, namun sebenarnya lebih berfokus pada keuntungan finansial penjualnya. Saya kira komodifikasi agama ini berhenti sampai garam ruqyah, tetapi kenyataannya, praktik tersebut terus berlanjut dengan munculnya produk-produk baru.

Salah satu contoh terbaru adalah tablet berbalut agama, yang menawarkan spesifikasi rendah dengan harga yang tidak sebanding. Hal ini menunjukkan ‘penjualan agama’ di Indonesia tampaknya semakin meluas, menimbulkan pertanyaan tentang etika di balik pemasaran semacam ini.

Tablet berbalut agama ini dijual dengan harga 2,5 juta rupiah dan memiliki dua varian, di mana varian kedua dibanderol dengan harga 1,5 juta rupiah tetapi dengan spesifikasi yang sama persis. Hal ini menunjukkan bahwa penjual hanya berusaha menciptakan ilusi pilihan melalui permainan harga. Prosesor yang digunakan adalah MediaTek MT6735, yang sudah ketinggalan zaman dan tidak layak untuk kebutuhan saat ini. Dengan empat core Cortex A53, tablet ini jelas tidak mampu memenuhi tuntutan aplikasi modern, terutama jika dibandingkan dengan arsitektur prosesor yang lebih baru seperti Cortex A55.

Fokus utama dari tablet ini adalah aplikasi edukasi agama yang ditawarkan kepada pengguna. Namun, ironisnya, aplikasi tersebut tersedia secara gratis di Play Store. Dan bahkan wallpaper bawaan tablet ini hanya dibuat bermodal mengetikkan prompt singkat (AI). Realitas ini menunjukkan bahwa produsen tidak benar-benar peduli terhadap pendidikan agama dan lebih memilih untuk mencari keuntungan semata.

Praktik komodifikasi agama bukanlah hal baru di Indonesia. Kita telah melihat berbagai cara di mana kepercayaan masyarakat dieksploitasi untuk kepentingan bisnis, mulai dari produk makanan hingga perangkat teknologi. Fenomena ini menunjukkan adanya kekurangan dalam pengawasan yang memungkinkan praktik-praktik tidak etis berkembang. Sayangnya, banyak orang enggan bersuara karena khawatir mereka akan dipandang tidak mendukung edukasi agama, walaupun sebenarnya tujuan mereka adalah membela nilai-nilai spiritual yang seharusnya dilindungi.

Fenomena ini menunjukkan bahwa nilai-nilai spiritual sering kali ternodai oleh kepentingan komersial. Ketika ritual keagamaan dan praktik ibadah dijadikan sebagai sarana untuk meraup keuntungan, esensi dari ajaran agama itu sendiri bisa hilang. Melihat lebih jauh ke dalam penjualan tablet berbalut agama dengan spesifikasi rendah ini, kita dapat menyimpulkan bahwa praktik semacam ini tidak hanya mengeksploitasi kepercayaan konsumen tetapi juga menciptakan kebingungan mengenai nilai-nilai pendidikan agama yang sesungguhnya.

Setelah menelusuri lebih lanjut, saya menemukan bahwa tablet berbalut agama tersebut sebenarnya hanyalah rebrand dari Miniberry B86 yang dijual dengan harga sekitar 600 ribu rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa harga tablet berbalut agama jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produk asli yang memiliki spesifikasi serupa.

Sebagai alternatif, ada banyak tablet lain di pasaran yang menawarkan spesifikasi lebih baik dengan harga sebanding atau bahkan lebih terjangkau. Misalnya, Samsung Galaxy Tab A9 dibanderol dengan harga 1,6 juta rupiah dan memiliki spesifikasi jauh lebih baik dibandingkan tablet berbalut agama tersebut. Dengan mempertimbangkan pilihan-pilihan seperti Samsung Galaxy Tab A9, kita tidak hanya mendapatkan produk yang sepadan dengan harga tetapi juga menghindari terjebak dalam praktik komodifikasi agama yang merugikan.

Terakhir, penting bagi kita untuk tetap kritis terhadap produk-produk yang memanfaatkan kepercayaan masyarakat demi keuntungan pribadi dan berupaya untuk memilih alternatif yang lebih baik. Dengan cara ini, kita dapat menjaga integritas ajaran agama serta memastikan bahwa nilai-nilai spiritual tetap terjaga tanpa terpengaruh oleh praktik bisnis yang tidak etis.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun