Di tengah kesedihan yang mendalam, kenangan-kenangan indah mulai berputar dalam benaknya, menariknya kembali ke masa-masa saat segalanya masih berbeda.
Lima tahun lalu, hidupnya masih normal. Ia hanyalah seorang siswa SMA biasa yang tinggal bersama kedua orang tuanya di sebuah rumah sederhana. Ayahnya, Pak Harto, adalah seorang pedagang sayur keliling yang gigih bekerja untuk menghidupi keluarganya. Sementara ibunya, Bu Siti, membantu dengan berjualan gorengan di depan rumah.
Meski hidup pas-pasan, keluarga kecil itu selalu bahagia. Ardi ingat bagaimana ia selalu menantikan makan malam bersama, saat-saat di mana mereka bisa berkumpul dan berbagi cerita tentang hari yang telah dilalui.
Seiring berjalannya waktu, usaha keras Pak Harto akhirnya membuahkan hasil. Berkat ketekunan dan kejujurannya dalam berdagang, ia mulai mendapatkan kepercayaan dari para pelanggan. Pesanan sayur semakin banyak, bahkan ada beberapa restoran yang menjadikannya sebagai pemasok tetap. Pak Harto pun mulai merekrut beberapa karyawan untuk membantunya.
Perlahan tapi pasti, usaha keluarga Ardi berkembang pesat. Dalam waktu dua tahun, Pak Harto berhasil membuka tiga cabang toko sayur di berbagai lokasi. Kehidupan keluarga mereka pun mulai berubah. Mereka pindah ke rumah yang lebih besar, Ardi bisa masuk ke SMA Swasta terbaik di kota-nya, dan Bu Siti tidak perlu lagi berjualan gorengan.
Namun, kebahagiaan itu ternyata tidak bertahan lama. Di penghujung tahun 2019, dunia diguncang oleh pandemi Covid-19. Dampaknya terasa hingga ke usaha keluarga Ardi. Banyak restoran yang tutup, permintaan sayur menurun drastis, namun biaya operasional tetap tinggi. Pak Harto terpaksa menutup dua cabang tokonya dan memberhentikan sebagian besar karyawannya.
Tekanan finansial mulai menghantuinya. Ardi sering mendapati ayahnya termenung di ruang kerja, memandangi tumpukan tagihan yang belum terbayar. Raut wajah Pak Harto yang biasanya ceria kini selalu diliputi kekhawatiran.
Pukulan terberat datang ketika Bu Siti terpapar virus Covid-19. Kondisinya memburuk dengan cepat, dan dalam hitungan hari, ia menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit. Ardi masih ingat betapa hancurnya ia saat itu, melihat ibunya pergi tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal.
Kepergian Bu Siti membuat Pak Harto semakin terpuruk. Ia seolah kehilangan semangat hidupnya. Usaha yang tersisa pun akhirnya bangkrut total. Ardi terpaksa pindah ke sekolah negeri karena tidak mampu lagi membayar uang sekolah swasta yang cukup besar.
Di tengah kesulitan itu, Ardi bertemu dengan Kinan, gadis cerdas yang menjadi teman sekelasnya di sekolah baru. Awalnya, Ardi tidak menaruh perhatian khusus pada Kinan. Namun seiring berjalannya waktu, ia mulai mengagumi kecerdasan dan kebaikan hati gadis itu.
Ardi dan Kinan sering dipasangkan dalam berbagai lomba akademik mewakili sekolah. Kebersamaan mereka dalam persiapan lomba membuat Ardi semakin tertarik pada Kinan. Ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda setiap kali berada di dekat gadis itu.
Suatu hari, setelah mereka memenangkan lomba debat tingkat provinsi, Ardi memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Dengan gugup, ia mengajak Kinan ke taman sekolah dan menyatakan perasaannya. Tak disangka, ternyata Kinan juga memiliki perasaan yang sama.
Namun, di tengah kebahagiaan yang baru saja ia temukan, Ardi merasa ada beban besar yang tak bisa ia abaikan, yaitu kondisi mental Pak Harto yang semakin memburuk. Ia sering berbicara sendiri dan kadang bertingkah aneh. Ardi terpaksa membawa ayahnya ke rumah sakit jiwa ketika warga menemukan bahwa ayahnya nekat hendak melompat dari jembatan.
Ardi harus membagi waktunya antara sekolah, menjenguk ayahnya di rumah sakit, dan bekerja paruh waktu di sebuah minimarket untuk membiayai hidupnya. Meski lelah, ia tetap berusaha berprestasi di sekolah. Kinan selalu ada di sampingnya, memberikan dukungan dan semangat.
Waktu berlalu, dan Ardi lulus SMA dengan nilai yang cukup memuaskan. Meskipun ia bermimpi melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, kondisi keuangan keluarganya memaksanya untuk segera mencari pekerjaan.
Dengan berat hati, ia memutuskan untuk langsung terjun ke dunia kerja, meninggalkan impian pendidikannya. Ia bekerja sebagai karyawan di sebuah pabrik tekstil di kota kecilnya.
Sementara itu, Kinan melanjutkan pendidikannya di sebuah universitas ternama di ibukota, mengambil jurusan Manajemen yang selama ini menjadi impiannya.
Pada awalnya, komunikasi mereka masih terjaga dengan baik. Namun, seiring waktu, jarak dan kesibukan perlahan mengikis intensitas hubungan mereka. Pesan yang dulu rutin kini jarang terkirim, obrolan hangat berganti menjadi percakapan singkat yang terkesan formalitas.
Suatu hari, Kinan menelepon Ardi dengan suara yang terdengar ragu-ragu. Dalam panggilan itu, Ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka, merasa bahwa jarak dan perbedaan jalan hidup mereka terlalu besar untuk diatasi. Ardi, meski terluka, menerima keputusan Kinan dengan berat hati.
Hari-hari berikutnya dilewati Ardi dengan hampa. Ia menjalani hidupnya tanpa semangat dan gairah, seolah terombang-ambing dalam lautan kesedihan. Nadia dan Rangga, sahabatnya, berusaha mendekatinya, namun Ardi seolah menutup diri dari dunia luar.
Sementara itu, di Jakarta, Kinan mencoba fokus pada studinya. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa keputusannya untuk berpisah dengan Ardi adalah yang terbaik. Namun jauh di lubuk hatinya, ia merasa ada yang hilang.
Setahun berlalu. Suatu hari, Kinan mengalami kecelakaan serius saat terburu-buru menuju kelas. Ia terjatuh dari tangga kampus dan mengalami cedera kepala yang parah, membuatnya koma selama beberapa hari.
Selama masa koma, pikiran Kinan dipenuhi dengan kenangan indah bersama Ardi. Ia teringat momen-momen bahagia saat mereka belajar bersama, tawa mereka saat merayakan kemenangan lomba, dan bagaimana Ardi selalu ada di sisinya di saat-saat sulit. Dalam setiap kenangan itu, Kinan merasakan kehadiran Ardi yang tulus dan dukungannya yang tak tergantikan.
Kinan menyadari betapa berartinya Ardi dalam hidupnya dan bagaimana ia merindukan semua momen kecil yang membuatnya merasa dicintai. Dengan setiap kenangan yang muncul, rasa penyesalan atas keputusan yang diambilnya semakin dalam. Ia berharap bisa kembali dan memperbaiki kesalahan yang telah membuat mereka terpisah.
Setelah berhari-hari terjebak dalam kegelapan koma, Kinan akhirnya merasakan cahaya lembut yang menyentuh matanya. Ketika ia membuka mata, dunia di sekelilingnya mulai terlihat samar. Dalam pandangan yang masih kabur, ia melihat sosok Nadia berdiri di sampingnya.
Nadia, sahabatnya yang setia, tampak khawatir tetapi penuh harapan. Ia memegang tangan Kinan dengan lembut, seolah-olah memberikan kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan. Kinan merasakan kehangatan dari sentuhan itu, dan meskipun masih lemah, hatinya dipenuhi rasa syukur.
"Nadia?" suara Kinan terdengar serak, tetapi ia berusaha untuk berbicara.
Nadia segera menunduk, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. "Kinan! Kamu akhirnya bangun!" ucapnya dengan suara bergetar. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa lega dan bahagianya melihat sahabatnya terbangun dari komanya.
Kinan berusaha untuk fokus, tetapi pikirannya terus melayang kepada Ardi. Kenangan-kenangan indah bersama Ardi dan momen-momen yang terlewatkan terus berputar di benaknya, mengganggu upayanya untuk memahami situasi saat ini.
Meski Nadia ada di sampingnya, memberikan dukungan dan semangat, hati Kinan terasa kosong tanpa kehadiran Ardi. Ia merindukan tawa mereka, percakapan hangat, dan semua hal kecil yang membuat hidupnya berarti.
"Di mana Ardi?" tanya Kinan, rasa cemas menyelimuti pikirannya. Ia ingin tahu bagaimana keadaan orang yang sangat membayangi masa komanya.
Setelah mendengar pertanyaan dari sahabatnya, Nadia merasa heran, namun ia tetap berusaha membantunya. Nadia menghubungi teman yang tahu tentang Ardi dan berhasil mendapatkan nomor telepon baru Ardi. Dengan informasi itu, Nadia menghubungi Ardi untuk menyampaikan pesan dari Kinan.
Setelah mengirimkan pesan kepada Ardi, Nadia menunggu dengan penuh harap. Tak lama kemudian, Kinan, meminjam ponsel miliknya.
Dengan tangan bergetar, Kinan mengetik pesan untuk Ardi, mengungkapkan penyesalan dan harapannya untuk bisa bertemu. Ia tahu bahwa ini adalah langkah pertama untuk memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya.
"Ardi, aku sangat menyesal atas segala yang telah terjadi. Aku ingin menjelaskan semuanya. Bisa kita bertemu?" tulis Kinan, berharap agar Ardi mau mendengar.
Setelah beberapa saat, Kinan melihat tanda centang biru muncul di pesan yang dikirimnya. Jantungnya berdebar, menunggu balasan dari Ardi. Ia berharap pertemuan ini bisa menjadi awal untuk memperbaiki hubungan yang telah retak.
Akhirnya, balasan yang ditunggu-tunggu itu datang. Kinan merasa lega ketika mengetahui bahwa Ardi setuju untuk bertemu, meskipun ia berada di kota yang berbeda. Tanpa membuang waktu, Ardi segera bergegas untuk menuju rumah sakit tempat Kinan dirawat.
Kinan merasakan campuran antara harapan dan kecemasan. Ia mulai mempersiapkan diri untuk pertemuan itu, berharap bisa menjelaskan segalanya dan membangun kembali hubungan yang sempat hilang.
Pertemuan mereka di rumah sakit dipenuhi dengan emosi. Kinan meminta maaf kepada Ardi dan menjelaskan bahwa ia telah menyadari kesalahannya. Begitupun dengan Ardi, ia juga mengungkapkan permintaan maafnya, mengakui bahwa mereka berdua memiliki peran terhadap masalah yang terjadi.
Setelah saling bermaafan, mereka sepakat untuk memulai hubungan dari awal. Keduanya berkomitmen untuk saling mendukung dan menghargai satu sama lain, berusaha untuk membangun kembali kepercayaan dan memperbaiki hubungan yang telah retak.
Sejak saat itu, hubungan Ardi dan Kinan kembali terjalin dengan lebih kuat. Kali ini, mereka bertekad untuk saling mendukung, apapun yang terjadi. Kinan bahkan memutuskan untuk pindah kuliah ke universitas di kota yang sama dengan Ardi agar bisa lebih dekat dengannya.
Namun, cobaan hidup Ardi belum berakhir. Beberapa bulan setelah Ardi dan Kinan kembali bersama, mereka menerima kabar buruk. Ayah Ardi yang masih dirawat di rumah sakit jiwa mengalami penurunan kondisi yang drastis. Pak Harto yang sudah lama berjuang melawan depresi, akhirnya menyerah pada penyakitnya. Ia ditemukan tidak bernyawa di kamarnya di rumah sakit jiwa, diduga bunuh diri dengan menelan sejumlah besar obat tidur yang entah bagaimana berhasil ia kumpulkan.
Kematian ayahnya membuat Ardi terpuruk. Namun, kehadiran Kinan di sisinya memberinya kekuatan untuk bangkit kembali. Melalui masa duka bersama, mereka semakin yakin ingin menjalani hidup berdua.
Beberapa bulan setelah pemakaman Pak Harto, Ardi memberanikan diri untuk melamar Kinan. Suatu malam, di kebun kecil mereka yang baru mulai ditanami, Ardi berlutut di hadapan Kinan dengan sebuah cincin sederhana.
“Kinan, maukah kamu menikah denganku? Aku tahu kita masih harus berjuang keras, tapi aku ingin kita hadapi semuanya bersama, sebagai…. suami istri,” ucap Ardi dengan terbata-bata.
Dengan air mata haru, Kinan menerima lamaran Ardi. Mereka memutuskan untuk mengadakan pernikahan sederhana dua bulan kemudian. Upacara pernikahan dilangsungkan di halaman belakang rumah Ardi, dihadiri oleh keluarga dekat dan beberapa sahabat, termasuk Nadia dan Rangga.
Meski sederhana, pernikahan itu penuh makna bagi Ardi dan Kinan. Mereka mengucapkan janji suci di bawah pohon rambutan yang dulu ditanam oleh ayah Ardi, seolah mendapat restu dari mendiang orang tua mereka.
Setelah menikah, Ardi dan Kinan semakin bersemangat membangun masa depan mereka. Terinspirasi oleh kenangan masa kecilnya dan perjuangan ayahnya sebagai pedagang sayur, Ardi memutuskan untuk lebih serius mengembangkan usaha pertanian organik mereka. Ia dan Kinan bekerja keras memperluas kebun kecil di belakang rumah mereka.
Seiring dengan bertumbuhnya kebun mereka, kebahagiaan juga mulai menghampiri kehidupan mereka. Beberapa bulan kemudian, Kinan memberi tahu Ardi bahwa ia hamil. Berita ini menjadi titik balik baru dalam hidup Ardi, memberinya harapan dan semangat yang lebih besar lagi. Ia bertekad untuk menjadi ayah yang baik sebagaimana ayahnya dulu memperlakukannya.
Dengan semangat baru, Ardi dan Kinan semakin giat mengembangkan usaha pertanian organik mereka. Mereka mempelajari berbagai teknik bertanam organik dari internet dan buku-buku. Ardi bahkan mengikuti kursus singkat tentang pertanian organik di akhir pekan.
Sementara kebun mereka berkembang, Kinan juga membantu dengan mengelola pemasaran dan keuangan usaha mereka. Ia memanfaatkan pengetahuan yang didapatnya dari kuliah untuk membuat strategi penjualan yang efektif.
Perlahan tapi pasti, usaha mereka mulai menunjukkan hasil. Beberapa restoran lokal tertarik dengan sayuran organik segar yang mereka tawarkan. Ardi dan Kinan mulai mendapatkan pelanggan tetap, membuat mereka bisa lebih mudah merencanakan produksi.
Suatu pagi, saat Kinan sedang mengecek pesanan di ponselnya, ia berseru dengan gembira, “Di, coba lihat ini! Pemilik restoran vegetarian di pusat kota tertarik dengan sayuran organik kita. Mereka ingin menjadi pelanggan tetap!”
Ardi membaca pesan tersebut, senyum lebar terlihat di wajahnya. “Ini kabar bagus! Dengan pelanggan seperti ini, kita bisa mulai memikirkan untuk memperluas kebun kita.”
Kinan mengangguk. “Iya, dan mungkin kita bisa mulai mempekerjakan satu atau dua orang untuk membantu. Permintaan sepertinya akan terus meningkat.”
“Kamu benar,” Ardi menimpali, tangannya tanpa sadar mengusap perut Kinan yang kini sudah mulai membesar. “Dengan bayi yang sebentar lagi lahir, kita memang perlu penghasilan yang lebih stabil.”
Mereka berdua terdiam sejenak, memandang ke arah kebun yang kini telah berubah menjadi sumber penghidupan mereka. Ardi merasa hatinya dipenuhi rasa syukur dan haru. Ia teringat akan perjuangan ayahnya dulu sebagai pedagang sayur, dan kini ia melanjutkan perjuangan itu dengan caranya sendiri.
“Ayah pasti bangga melihat kita sekarang, berjuang dan tumbuh di tempat yang dia cintai,” ucap Ardi dengan nada penuh rasa syukur.
Kinan menggenggam tangan Ardi erat. “Tentu. Dan aku yakin, dia akan semakin bangga saat melihat cucunya tumbuh di tengah kebun ini, melanjutkan warisan yang telah dia bangun”
Ardi tersenyum, merasa optimis menghadapi masa depan. Meski perjalanan hidupnya penuh liku, ia bersyukur masih diberi kesempatan untuk bangkit dan memulai lembaran baru.
Waktu berlalu dengan cepat. Kebun organik Ardi dan Kinan semakin berkembang. Mereka mulai mempekerjakan beberapa tetangga untuk membantu mengelola kebun yang kini telah mencakup area cukup luas. Pesanan dari restoran dan toko-toko organik di kota terus berdatangan.
Suatu sore, saat Ardi sedang mengecek tanaman di rumah kaca, ia mendengar teriakan Kinan dari dalam rumah. Jantungnya berdegup kencang, ia segera berlari masuk.
“Kinan! Ada apa?” tanya Ardi panik.
Kinan berdiri di ambang pintu kamar, satu tangan memegangi perutnya. “Di… aku rasa… sudah waktunya.”
Ardi terdiam sejenak, otaknya mencoba memproses informasi tersebut. Lalu, seolah tersadar, ia bergegas mengambil tas yang telah mereka siapkan untuk ke rumah sakit.
“Baiklah… kita ke rumah sakit sekarang,” Ardi berusaha menenangkan Kinan.
Perjalanan ke rumah sakit terasa begitu lama bagi Ardi. Ia mengemudi dengan hati-hati, sesekali melirik Kinan yang tampak menahan sakit di sampingnya.
Setibanya di rumah sakit, Kinan langsung dibawa ke ruang bersalin. Ardi hanya bisa mondar-mandir di depan ruangan, jantungnya berdegup kencang menunggu kabar.
Setelah beberapa jam yang terasa seperti selamanya, seorang perawat keluar dengan senyum lebar.
“Selamat, Pak. Anak Anda laki-laki, sehat dan tampan,” ucap perawat itu.
Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Ardi. Ia masuk ke ruangan dan melihat Kinan yang tampak lelah namun bahagia, menggendong seorang bayi mungil.
“Dia mirip sekali denganmu, Di,” ucap Kinan lembut.
Ardi mengamati wajah putranya dengan senyum lebar di wajahnya. Hidung mancung, mata yang sipit, benar-benar mirip dirinya.
“Nama apa yang akan kita berikan untuknya?” tanya Kinan.
Ardi terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Bagaimana kalau Gavin? Gavin bermakna kebajikan, seperti harapanku padanya kelak.”
Kinan mengangguk setuju. “Gavin. Nama yang bagus. Aku bisa membayangkan betapa hebatnya dia dengan nama itu.”
Tiga tahun berlalu sejak kelahiran Gavin. Ardi dan Kinan semakin mahir dalam mengelola usaha pertanian organik mereka. Kebun mereka kini telah berkembang menjadi sebuah perusahaan kecil yang mempekerjakan beberapa orang dari lingkungan sekitar.
Suatu siang, saat Ardi sedang memeriksa tanaman di rumah kaca, ia mendengar suara tawa riang Gavin dari halaman belakang. Ia bergegas keluar dan melihat putranya sedang bermain dengan ibunya di antara perkebunan sayuran.
“Ayah! Lihat, aku bantu Ibu memetik tomat!” seru Gavin dengan bangga, mengangkat sebuah tomat merah besar di tangannya yang mungil.
Ardi tersenyum lebar, hatinya dipenuhi kebahagiaan melihat keluarga kecilnya. Ia berjalan menghampiri mereka dan mengacak-acak rambut Gavin dengan sayang.
“Wah, hebat anak Ayah! Nanti kita masak sup tomat kesukaanmu,” ucapnya.
Kinan bangkit berdiri, membersihkan tanah dari celananya. “Di, tadi pagi ada telepon dari restoran baru di pusat kota. Mereka tertarik untuk menjadi pelanggan tetap kita.”
Ardi mengangguk, “Itu kabar bagus. Sepertinya kita perlu memikirkan untuk memperluas lahan lagi.”
“Iya, aku juga berpikir begitu,” jawab Kinan. “Oh iya, nanti sore Nadia dan Rangga akan datang berkunjung. Mereka ingin mendiskusikan rencana untuk membuka toko sayur organik di kota.”
“Ah, ide yang bagus itu. Kita bisa menjadi pemasok utama mereka,” Ardi tersenyum, merasa bersyukur atas dukungan teman-temannya.
Saat mereka berjalan kembali ke rumah, Ardi merangkul Kinan dan Gavin. Ia memandang ke sekeliling, melihat kebun yang telah menjadi sumber penghidupan mereka, rumah sederhana yang penuh kehangatan, dan keluarga kecil yang ia cintai.
“Terima kasih,” bisik Ardi pelan.
Kinan menoleh, “Untuk?”
“Untuk segalanya,” jawab Ardi. “Untuk bertahan bersamaku, untuk Gavin, dan untuk kehidupan yang kita bangun bersama ini.”
Kinan tersenyum, menyandarkan kepalanya di bahu Ardi. “Kita yang membangunnya bersama, Di. Dan kita akan terus membangunnya, untuk masa depan yang lebih cerah di depan kita.”
Ardi mengangguk, merasa optimis menghadapi hari-hari yang akan datang. Ia tahu perjalanan mereka masih panjang, tapi dengan Kinan dan Gavin di sisinya, ia merasa bisa menghadapi apapun.
Setelah beberapa jam, sore pun tiba. Suara kendaraan terdengar mendekat. Ardi menoleh dan melihat Nadia dan Rangga datang berkunjung. Mereka disambut dengan hangat dan langsung bergabung bersama keluarga kecil itu.
Sambil menikmati buah yang dibawa Nadia, mereka berbincang-bincang tentang berbagai hal, mulai dari rutinitas hingga rencana bisnis. Suasana semakin akrab seiring dengan tawa dan cerita yang mengalir. Tak terasa, sudah lama mereka berbincang, dan hari mulai beranjak malam.
Akhirnya, Nadia dan Rangga merasa sudah saatnya untuk pamit pulang. Mereka mengucapkan selamat tinggal dan melangkah pergi, meninggalkan Ardi yang masih duduk di teras rumah.
Ardi memandangi kebun yang kini berkilau diterangi lampu-lampu kecil. Suasana tenang dan nyaman membuatnya merasa damai. Tak lama kemudian, Kinan bergabung, membawa dua cangkir teh hangat.
“Gavin sudah tidur?” tanya Ardi sambil tersenyum.
Kinan mengangguk, “Iya, dia kecapean setelah seharian bermain.”
Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, menikmati sepoi angin malam dan aroma tanah yang menyegarkan.
“Di,” Kinan memecah kesunyian, “aku baru sadar, sudah tiga tahun kita menjalani hidup seperti ini. Rasanya seperti baru kemarin kita memulai semuanya.”
Ardi tersenyum, menggenggam tangan Kinan dengan lembut. “Iya, waktu berlalu begitu cepat. Tapi lihatlah semua yang telah kita capai bersama.”
Mereka memandang ke arah kebun yang menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Dari kejauhan terdengar suara jangkrik, menciptakan melodi alam yang menenangkan.
“Kamu tahu?” tutur Ardi pelan, “Pernah ada waktu ketika aku merasa hidupku telah berakhir. Tapi sekarang, aku merasa ini baru permulaan. Kita masih punya banyak hal indah untuk dijalani bersama.”
Kinan mengangguk, menyandarkan kepalanya di bahu Ardi. “Ya, dan kita akan terus menghadapi semua hal bersama, seperti yang selama ini kita lakukan.”
Sejenak mereka terdiam, merasakan kehangatan satu sama lain. Kinan kemudian melanjutkan, “Ngomong-ngomong, besok Gavin mulai masuk sekolah.”
Ardi tersenyum lebar, “Dia tumbuh begitu cepat. Aku tak sabar melihatnya belajar berbagai hal baru.”
Malam itu, Ardi tidur dengan perasaan damai. Ia tahu, meskipun hidup tak selalu mudah, ia memiliki cinta dan dukungan keluarganya. Dan itu lebih dari cukup untuk menghadapi apapun yang akan datang di masa depan.
Begitulah, dari benih cinta yang sempat terpisah, kini tumbuh sebuah keluarga yang kuat dan bahagia. Ardi dan Kinan telah membuktikan bahwa dengan tekad, kerja keras, dan cinta, mereka bisa mengubah badai kehidupan menjadi hujan yang menyuburkan kebun mereka.