Sejak diluncurkannya era reformasi, banyak yang berpendapat bahwa kebebasan berbicara di Indonesia sudah kebablasan dan cenderung tidak lagi mengikuti norma orang Indonesia yang katanya penuh dengan toleransi dan sopan santun.
Akhir-akhir ini kebebasan pendapat yang cenderung mengarah caci maki maki semakin menjadi-jadi di media sosial.Mungkin hal ini terjadi karena si pencaci tersebut merasa identitasnya aman, tersembunyi, terlidungi dengan identitas palsunya dan tidak bertemu langsung dengan orang yang dicacinya.
Dari analisa yang dilakukan dengan melihat pola caci-maki maki tersebut, tampaknya memang ada beberapa yang memang sudah “anti pati” sehingga tidak satupun komentarnya bersifat positif, melainkan cenderung menjelekkan apapun yang dilakukan oleh orang yang tidak disenanginya.
Terdapat kemungkinan memang mencaci maki sudah merupakan profesinya karena selalu muncul dengan komentar negatifnya dengan frekuensi yang sangat tinggi. Dari hasil analisa tampaknya banyak dari pemberi komentator ini menyembunyikan identitasnya aslinya dengan nama samaran dan photo samaran juga.
Pernah salah satu komentator lain mengungkapkan identitas pemberi komentar negatif tersebut dengan menyebutkan dari mana dia menulis komentar tersebut.
Kalaupun kita berandai-andai Kompas melakukan sensor terhadap komentar yang kurang pantas tersebut, pastilah mereka berteriak lantang bahwa Kompas melakukan sensor dan tidak demokratis, serta melanggar undang-undang kebebasan berpendapat.
Lihat saja kata-kata yang dilontarkan dalam satu berita headline kompas yang berjudul “Politisi PDI-P: Yang Punya Peluang, Sekarang Saatnya Makzulkan Jokowi! “ dalam satu halaman komentar saja keluar kata-kata cacian berikut:
- Gerombolan
- Kampret-kampet tidak tahu malu
- Lawan!
- Tukang kawin
- Boneka dodol
- Plenga plengo koyo kebo
- Lama-lama dikawinin kayak bapaknya yang tukang kawin
- Manusia katrok bin bloon
- Presiden oon
- Si jawir kurus
- Otaknya dicuci Rinso
- ….dst
Umpatan di atas baru diambil acak pada halaman pertama para komentator. Jadi bisa dibayangkankalau dari 215 komentar (sampai saat ditulis artikel ini) yang masuk untuk berita tersebut satu persatu dikumpulkan caci makinya, betapa masifnya intensitas caci-maki tersebut.
Mari kita bertanya apakah sudah demikian merdekanya kita mengeluarkan pendapat sehingga hampir tidak ada norma yang kita ikuti? Kemana identitas bangsa kita yang selalu kita bangga-banggakan sebagai bangsa yang ramah, murah senyum dan sopan itu?
Bukankah sebagian besar dari kita beragama? dan agama kita mendidik untuk tidak menyakiti orang lain?
Mari kita merenung sebentar saja....Jika kita diberi amanah untuk melakukan tugas sebagai pemimpin, apakah kita akan lebih baik dari mereka? Atau bahkan mungkin untuk mengurus warga satu RT saja kita tidak memiliki kemampuan. Sudahkah kita menjadi pemimpin yang baik di keluarga kita?
Mari kita kembalikan identitas bangsa ini dengan menyikapi perbedaan pendapat dengan cara yang santun.