Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Perempuan dalam CSR

29 Januari 2010   12:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:11 334 0
[caption id="attachment_64086" align="alignleft" width="300" caption="Pelatihan Kerajinan Eceng Gondok (http://csr-bisnis.blogpot.com)"][/caption]

Saat ini perempuan di Indonesia sudah berani menyampaikan aspirasinya melalui pidato, spanduk dan poster, mereka menyuarakan berbagai kepentingannya yang selama ini kurang diperhatikan atau bahkan diabaikan sama sekali oleh berbagai pihak.

Dari sudut pandang CSR, apa yang mereka suarakan adalah hal yang sangat penting. Sudah lama sekali terdengar keharusan untuk memperjuangkan kesetaraan gender di tempat kerja, namun hingga kini hasilnya belum juga cukup memuaskan. Sudah lama juga kita mendengar bahwa berbagai projek pembangunan—termasuk yang dilakukan oleh perusahaan—mengandung bias gender, namun hingga kini sebagian kegiatan itu tetap saja ditujukan untuk laki-laki. Mungkin ada baiknya kita merenungi apa yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan bagi kaum perempuan. Dengan menekankan pada dimensi normatif ini, kita akan bisa mengetahui bahwa memang ada banyak hal yang masih harus diperbaiki.

Soal kesempatan kerja dan kesempatan berusaha adalah yang pertama. Bagaimanapun hingga kini perempuan masih merupakan minoritas di tempat kerja formal. Walaupun jumlah perempuan dewasa di Indonesia lebih banyak, dan mereka kerap menjadi pencari nafkah utama—atau setidaknya sejajar dengan laki-laki—di keluarganya, namun jumlah perempuan di berbagai sektor industri masih belum mencerminkan hal tersebut. Kemudian, berbagai pekerjaan untuk perempuan memiliki ceruk tersendiri, dalam sektor-sektor tertentu saja, serta dalam level yang lebih rendah. Bagaimanapun, semakin tinggi jabatan tampaknya dominasi laki-laki semakin menguat. Karenanya, dibutuhkan kebijakan yang bisa membalik kecenderungan ini. Demikian juga dalam soal kesempatan berusaha, perusahaan yang mengurusi masalah ini, misalnya perbankan, masih mengidap bias gender yang keterlaluan. Dengan pendekatan tradisional berupa kolateral untuk setiap pinjaman, perbankan telah menyingkirkan banyak sekali perempuan dari kesempatan berusaha, karena suami atau ayah merekalah yang namanya tercantum dalam bukti kepemilikan harta. Padahal, sebagaimana yang ditunjukkan oleh eksperimen Grammen Bank di Bangladesh, perempuan adalah nasabah yang loyal, yang mengembalikan pinjaman mereka dengan jauh lebih tertib dibandingkan laki-laki.

Kedua, soal kekerasan di tempat kerja. Seharusnya tak ada hal yang demikian kalau kita benar-benar menghormati perempuan, namun pada kenyataannya jumlah perempuan yang mengalami kekerasan di tempat kerja tidaklah sedikit. Kasus kekerasan yang menimpa banyak perempuan Indonesia yang bekerja di luar negeri, yang tak tahu bagaimana keluar dari lingkaran kekerasan itu, merupakan bukti bahwa perusahaan pengirimnya adalah perusahaan yang tidak bertanggung jawab. Mungkin—jangan sampai—kasus seperti yang dialami Marsinah tak lagi terdengar, tetapi berbagai bentuk kekerasan sebetulnya masih juga terjadi. Bentuknya yang paling halus adalah perbedaaan gaji antara perempuan dan laki-laki yang memiliki tanggung jawab yang sama. Di Eropa baru-baru ini diumumkan bahwa perbedaannya adalah 16%. Kalau di Eropa saja ada perbedaan begitu besar, sangat mungkin di Indonesia besarannya lebih tinggi dari 20%. Namun, berapapun itu, perbedaan kompensasi untuk tanggung jawab yang sama tak bisa dibenarkan.

Ketiga, terkait kegiatan-kegiatan perusahaan untuk pemangku kepentingan eksternalnya. Bagaimanapun tampaknya perempuan masih menjadi minoritas manakala perusahaan menetapkan sasaran untuk program pengembangan masyarakat, misalnya. Hal ini tak dapat diterima akal sehat karena, sekali lagi, perempuan banyak yang menjadi penopang ekonomi keluarganya. Jadi, seharusnya perusahaan memiliki program-program yang secara khusus menyasar kaum perempuan, misalnya dalam hal pengembangan ekonomi dan kepemimpinan. Perusahaan bisa menciptakan program yang mendorong mereka dengan jalan memberi penghargaan kepada perempuan yang berprestasi, serta menyediakan prasyarat untuk pencapaian prestasi seperti itu. Tentu saja, kerjasama dengan LSM-LSM perempuan yang lebih berpengalaman akan sangat membantu perusahaan.

Terakhir, perusahaan harus melibatkan diri dalam dialog kebijakan seputar peningkatan akses perempuan terhadap pendidikan dan peluang ekonomi. Perusahaan juga harus melibatkan diri untuk memastikan bahwa suara kaum perempuan didengar dalam segala hal yang bakal mengenai diri mereka. Hingga kini, pendidikan yang timpang merupakan salah satu akar masalah ketimpangan gender, demikian juga dengan ketimpangan peluang ekonomi. Perusahaan yang berkomitmen terhadap perempuan harus mengikis kedua hal tersebut bersama-sama dengan pihak-pihak yang memiliki komitmen yang sama.

Dimuat juga di blog http://csr-bisnis.blogspot.com dengan judul Perempuan dalam CSR

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun