Kekerasan yang terjadi dalam masyarakat, pemicunya bisa datang dari mana saja. Sangat sulit bagi kita untuk mendeteksinya. Kita hanya mampu berprasangka. Kalaupun ada kesadaran dalam masyarakat, itu bukan karena kesadaran struktural, melainkan karena birokrasi. Ada yang bilang, konflik horizontal yang pernah terjadi di berbagai daerah, lebih-lebih pascakejatuhan regim Soeharto, seperti di Situbondo, Pasuruan, Solo, Tasikmalaya, Mataram, dll, tidak dapat dilepaskan dari kontribusi Penguasa Orde Baru sendiri. Atas nama persatuan dan kesatuan, stabilitas politik dan keamanan demi pertumbuhan ekonomi, semua perbedaan yang berbau kesukuan, ras, dan antargolongan ditekan dalam politik SARA. Alhasil, di luar memang tampak berhasil, dimana kerukunan hidup beragama terlihat
adem-ayem, tetapi di balik itu, konflik laten maupun manifest justru terpelihara ibarat api dalam sekam. Prasangka lain mengatakan, konflik horizontal yang terjadi di Ambon beberapa waktu lalu, sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan berkelindan dengan aspek-aspek lain, seperti persoalan politik atau kebijakan pemerintah, kesukuan, ekonomi, pendidikan, dan penguatan identitas daerah setelah berlakunya otonomi daerah. Rasanya cukup klop dengan sinyalemen yang diutarakan politisi PDI-P Tjahjo Kumolo, bahwa ternyata, penanganan pascakonflik di Ambon selama ini, tidak ada elemen transformasinya. Sehingga Konflik tetap laten. Saya coba menjabarkan lebih jauh sinyalemen Tjahjo Kumolo itu dengan kondisi riil yang terjadi di wilayah Ambon/Maluku. Pasca kerusuhan 10 tahun silam memang terjadi sejumlah reformasi. Namun reformasi yang dulu diharapkan menjadi sebuah momentum perubahan positif ternyata hanya menjadi sebuah penanda instabilitas baru bagi bangsa ini. Tampaknya bisa dikatakan bahwa reformasi hanya memperkukuh status quo, sebab sampai saat ini praktis tidak terlihat perkembangan sosial yang positif. Korupsi menjadi lebih dahsyat. Otonomi daerah, yang menjadi salah satu hasil reformasi, justru melahirkan 'raja-raja' kecil yang selanjutnya menjadi pemain baru dalam arena korupsi, kolusi, dan nepotisme. Maka tak heran, kalau Maluku tetap menjadi Provinsi termiskin ke-3 di tanah air. Menurut Kepala BIN, Sutanto usai rapat kerja dengan Komisi I DPR di Gedung DPR, Selasa (13/9/2011) malam, kerusuhan Ambon murni karena kesalahpahaman warga terkait meninggalnya tukang ojek bernama Darfin Saimen. Namun karena Ambon itu memiliki riwayat konflik SARA di masa lalu (1999/2000), pernyataan Kepala BIN itu menjadi tidak sesederhana apa yang terucap. Pernyataan itu mengandung pekerjaan rumah yang tidak ringan bagi jajaran intelijen kita untuk mengurai permasalah serta merumuskan solusi komprehensif untuk menjaga kedamaian tidak saja di Ambon tetapi juga di semua wilayah NKRI, khususnya daerah-daerah rawan konlik. Intinya, usaha untuk mengembangkan civil society sebagai prasarat negara demokrasi harus terus dilakukan. Pemulihan kondisi keamanan pascakonflik memang menjadi prioritas bersama. Maka sudah tepat aparat keamanan melakukan sweeping di pelabuhan-pelabuhan terhadap orang-orang yang akan berangkat ke Ambon tetapi tujuannya tidak jelas (infiltrasi kelompok kepentingan tertentu) untuk mencegah provokasi eksternal agar konflik Ambon tidak berkembang seperti 10 tahun silam. Namun untuk jangka panjang (dan ini penting untuk melanggengkan perdamaian di Ambon) adalah mengevaluasi kembali perjalanan kehidapan sosial masyarakat Ambon selama 10 tahun terakhir kemudian menyiapkan elemen tranformasinya yang tugasnya antara alin melakukan upaya terintegrasi untuk meningkatkan kemampuan warga (pengembangan civil competence) untuk mencapai penghidupan yang semakin baik. Semoga.
KEMBALI KE ARTIKEL