Dalam postingan di Kompasiana tanggal 10 Mei 2009, “Harga CPO Naik, Bagaimana Program Biodiesel ?”, saya mengungkapkan kekhawatiran tentang penyediaan CPO di dalam negeri karena ulah para pengusaha “nakal” yang akan berupaya ekspor. Meski dibatasi dengan aturan DMO (Domestic Market Obligation) , atau bahkan PE (pungutan ekspor) pastilah para pengusaha lebih “kreatif” dari si pembuat aturan atau si penjaga/ penertib aturan di Indonesia. Tampaknya Kompas membenarkan pendapat saya karena di tanggal 14 Mei 2009, di kolom Bisnis dan Keuangan, termuat “Kelapa Sawit, Jalan Licin Stabilisasi Harga Minyak Goreng”.
Dalam postingan tersebut, saya mengeluh tentang Jarak Pagar yang saat ini jadi “anak paling tiri” di Republik ini, dibanding Kelapa Sawit. Uneg-uneg ini saya luapkan pula di postingan tanggal 25 Mei 2009 di tulisan “Demam Bioetanol (jilid ke-2)”. Namun Allah memang bijak. Pasti dengan tujuan agar saya tidak ngomel dan ngedumel berkepanjangan tentang Jarak Pagar di Kompasiana dengan dampak pembaca bosan maka dua teman mengajak saya ke desa Way Isem, di Lampung Utara. Pak David dan Pak Untung mengajak saya melihat sebuah desa yang bertanam Jarak Pagar pada medio Mei 2009.
Way Isem adalah sebuah desa di Kecamatan Sungkai Barat, Kabupaten Lampung Utara. Jaraknya dari Kotabumi, ibu kota Kabupaten Lampung Utara, lebih kurang 45 km.Sebuah desa yang apik, asri, cukup makmur dengan infra struktur yang cukup baik. Desa ini berbasis pertanianlada, jagung, singkong, dan karet serta tampak pula dikit-dikit tanaman kelapa sawit dan juga tebu di desa tetangga.
Desa ini belum memiliki jaringan listrik dari PLN, namun sejumlah besar rumah memiliki panel surya untuk pembangkit penerangan lampu di malam hari.