Hari ini, ada perasaan galau dalam hati saya. Meskipun diluar ramai oleh petasan yang sahut menyahut, didalam hati ini seperti ada perasaan tak puas walaupun telah 30 hari menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Satu pertanyaan yang terpintas di benak saya, apakah benar kita betul-betul ikhlas menjalankan ibadah puasa ini? Ataukah, kita menjalaninya sebagai sebuah kewajiban semata. Pemikiran saya ini bermula ketika banyak orang yang mempermasalahkan tentang kapan waktu lebaran Idul Fitri itu tiba. Semua ribut, meskipun tak sampai berujung demo ala kasus Century. Di berbagai berita televisi semua sama, yaitu mengisahkan peliknya masalah perbedaan penentuan hari raya Idul Fitri ini. Saya tak tahu mengapa, tetapi memang topik inilah yang selalu menjadi ciri khas pemberitaan tiap tahunnya menjelang hari raya Idul Fitri. Dan, sepertinya banyak gambaran orang kecewa yang saya tangkap ketika pemerintah mengumumkan pada akhirnya lebaran jatuh pada hari Rabu.
Joke akhirnya banyak beredar dimana-mana, di banyak sosial media, entah itu twitter, facebook. Isinya macam-macam. Entah itu opornya diangetin sampai lusa dan lain-lain. Saya jadi ingat perkataan ustad saya sewaktu ngaji dulu yang berkata demikian:
Negara lain sudah bisa sampai ke luar angkasa, tetapi kita masih saja ribut ngurusin tetek bengek agama.
Perkataan yang menohok memang. Tetapi, memang seperti inilah ketika agama ditinjau dari aspek ritualnya semata. Akhirnya, esensi agama menjadi kabur. Mungkin kita harus jujur bahwa kebanyakan dari kita, termasuk saya sendiri, masih meninjau agama dari segi aspek ritualnya semata, bukan dari aspek spiritual. Sehingga terkadang puasa terkadang rasanya berat, karena kita hanya menganggapnya sebuah kewajiban. Kita akhirnya mencari hiburan bagi jiwa kita sendiri dengan mencari-cari alasan seperti: segi positif orang berpuasa adalah bisa menangkal berbagai macam penyakit.
Padahal puasa adalah suatu bentuk experential learning, yaitu sebuah cara belajar dengan simulasi secara langsung untuk mengasah batiniah kita. Tuhan pun mengatakan bahwa perhitungan amalan puasa langsung dihisab olehnya. Jadi, puasa memang adalah suatu hal yang sangat luar biasa sekali.
Puasa adalah sebuah upaya untuk mengenal diri kita sendiri melalui pengendalian diri dari segala bentuk hawa nafsu. Puasa mengajarkan kepada kita akan seberapa ber-kualitaskah diri kita karena orang yang bisa mengontrol dirinya sendiri, ia bisa menaklukkan ego yang dia miliki. Dan, orang yang bisa menahan ego adalah termasuk orang yang bijaksana. Sungguh luar biasa.
Maka, puasa adalah sebuah tempat kita menempa jiwa raga kita untuk menyadari siapa diri kita dan Sang Pencipta kita.
Satu bulan penuh kita menjalani suatu perjalanan kedalam diri kita sendiri. Maka ketika tiap orang, bahkan media ribut-ribut mempersoalkan tentang kapan hari lebaran itu tiba, akan terasa sangat konyol sekali.
Akhir kata, Tuhan pun juga berpuasa. Dengan segala rahmat-Nya, Ia akan selalu menerbitkan matahari dari ufuk timur, meskipun Ia tahu banyak dari hamba-Nya yang lupa untuk bersyukur ketika ia dibangunkan di pagi hari oleh sinar mentari yang hangat.