Kalau Birokrat enggan menuliskan atau mengabadikan aktivitas bidang tugasnya dalam suatu sistim pencatatan, sesuai fakta sebenarnya. Untuk apa reformasi birokrasi.Mana mungkin bisa memperbaiki organisasi kerja atau daerah di mana Birokrat itu ditempatkan, diperbaiki dengan cara mengadakan studi banding. Sedangkan sebagai akibat kurang akuratnya cara pencatatan mengakibatkan mutu pelaporan diragukan. Birokrat itu sendiri enggan membaca secara mendetail isi dari laporan. Karena Birokrat itu "sudah tahu" dari kualitas sistim pencatatan kegiatan bidang tugas yang mereka buat. Jadi , untuk apa latah melakukan studi banding. Kalau lembaran arsip laporannya saja, isinya berdasarkan sistim pencatatan "mikul dhuwur mendhem jero" dan "ewuh pakewuh" ; sebagai salah satu isyarat atau gejala mengabaikan keterusterangan untuk mengutarakan hasil tugas-tugas mereka sebagai birokrasi , baik itu yang buruk atau pun terkait prestasi. Ingat pencatatan segala aktivitas bidang tugas birokrasi nantinya akan dijadikan sebagai landasan untuk buat laporan; triwulan, enam bulanan, tahunan( yang lazim dipakai dikalangan birokrasi).
Jangan sampai Birokrat "lebih tahu" atau "tertarik" kemajuan daerah lain dibandingkan daerah tempat Birokrat itu berdomisili. Menurut hemat penulis yang namanya studi banding bukan membawa mentah-mentah apa yang sudah dibuat daerah lain lalu kita terapkan di tempat kita. Yang kita tanya ke Tuan Rumah atau daerah yang kita kunjungi adalah proses kreatif-nya . Mengapa daerah mereka bisa maju.
Ingat perubahan yang kita inginkan di daerah kita, bukan apa yang hanya terlitas dalam pikiran kita (baca: Birokrat). Tetapi apa yang pernah kita catat dalam suatu pencatatan yang kemudian dibuatkan suatu pelaporan (untuk bagian ini Penulis akan membahasnya dalam suatu tulisan khusus di
Kompasiana, setelah tulisan Reformasi Pencatatan (2)) (bersambung)
selanjutnya baca tulisan tentang Reformasi Pencatatan (2). Terimaksih.
KEMBALI KE ARTIKEL