Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Goodbye Pak Rey

16 Agustus 2013   13:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:14 185 0
“Gubraaak…” Dia menghempaskan tangannya ke meja. Kelas berubah sunyi seperti kuburan. Jam dinding seakan berhenti berdetak, hening sejenak. Sepertinya dia akan segera meledak, terlihat dari mukanya yang merah menahan amarah. Anehnya, aku merasa senang ketika melihat kesabarannya kalah menghadapi keributan yang dikampanyekan beberapa siswa di kelas.

“Kalian yang di belakang,” tatap matanya tajam, sambil menunjuk seakan telunjuknya itu adalah sebuah pistol yang siap ditembakkan. “Apa sebenarnya mau kalian? Saya sudah habis sabar menghadapi keributan yang kalian buat. Dan saya sudah bosan dengan sikap kalian yang tidak berguna itu.”

“Hey, tunggu dulu, apa tidak sebaliknya?” gumamku dalam hati. “Kamilah yang merasa bosan dengan sikap Anda yang tak berguna itu, marah-marah sekehendak hati, kamilah yang disalahkan bila keliru sedikit saja, memangnya kamu yang paling hebat, omong kosong.”

“Dengar tidak, apa kalian tidak punya telinga, ayo jawab.” Dia semakin mendidih karena tidak ada yang menyahut. Sebagian siswa terlihat tegang, ada yang menunduk, ada yang pura-pura menulis. Sebagian yang lain biasa saja, bahkan ada yang senang karena berhasil memprovokasi kemarahan gurunya. Aku senyum-senyum sendiri merasakan kemenanganku.

“Wuuus…plaak,” batu kapur melayang dan menghantam dinding belakang kelas, hampir saja mengenai kepalaku. Lemparan yang payah dari seorang guru Matematika.

“Ahmad Divo Alfarez, kamu menantang saya ya?” Dia memanggil namaku dengan lantang dan kerasnya, sambil memperlihatkan kemampuan menatap tajam yang bisa membuat siswa tewas. “Jangan mentang-mentang kamu pintar, bisa seenak hatimu membuat keributan. Kamu tidak punya sopan santun ya.”

Tiba-tiba hatiku merasa panas. Api kemenangan yang baru saja kurasakan seketika padam dan berganti menjadi api peperangan. Kemudian akupun berdiri dari duduk santaiku, siap memberikan perlawanan.

“Siapa yang tidak punya sopan santun?” seruku berusaha membela diri. “Apakah siswa yang dimarahi, ataukah Bapak yang memarahi dan melempar batu kapur saat siswa tidak ingin dimarahi?” sambungku dengan berapi-api.

“Beraninya kamu….” katanya agak terkejut, kemudian berdiri dari bangkunya.
“Ya, saya bosan mendengar omelan Bapak,” jawabku.
“Hey, apa yang membuat saya mengomel dan marah, itu karena sikap kamu yang tidak bisa menghargai pelajaran, tidak serius, main-main, ribut saat belajar.”
“Tapi, setidaknya Bapak memahami dan berpikir….”
“Berpikir apa...? Kamu pikir saya tidak punya otak untuk berpikir, hah, maksudmu begitu, Divo?” selanya dengan tergesa-gesa.

Aku berhenti sejenak, berpikir. Kelas hening, teman-teman menatapku, ada yang terlihat menyesali sikapku, ada juga yang diam-diam menyemangatiku, seolah akulah kaptennya. Bukan kapten tim futsal sekolah yang biasa aku mainkan, tapi kapten tim pemberontak yang melawan pengajaran yang menjemukan di kelas Matematika Pak Rey.

“Seharusnya Bapak juga memikirkan kesenangan kami. Tidak membebani kami dengan mencatat dan mengerjakan latihan setiap pertemuan. Tidak selalu memberi tugas PR yang banyak setiap minggu, yang belum tentu juga dibahas di kelas. Tidak marah-marah ketika kami lambat menangkap materi yang disampaikan. Seharusnya Bapak bisa menyisakan sedikit kesenangan dalam belajar kami, bukan kebosanan apalagi ketegangan.” Aku mengemukakan semuanya, aku merasa puas.

Dia tak bersuara dari tempatnya berdiri di depan sana. Wajahnya sedikit ditundukkan ke bawah, menatap meja, kedua tangannya menekan permukaan meja di depannya. Aku berpikir ia sedang mengumpulkan kekuatan untuk melancarkan serangan balik kepadaku. Atau mungkin dia akan mengibarkan bendera putih dan mengakui kekalahannya.

Wajahnya bangkit dan melemparkan pandangan ke seisi kelas, kemudian menatapku, tidak dengan tajam ataupun kebencian. Diluar sangkaanku, dia malah menampakkan sesuatu yang lain, ekspresi kekecewaan terlukis di balik wajahnya yang masih cukup muda. Dia menghela nafas dalam-dalam. Ah, aku benci gaya seperti itu. Karena itu adalah alasan pembelaan atas hukuman yang dia jatuhkan, bahwa dia menghukum bukan karena benci tapi karena menegakkan disiplin kelas, bahwa dia menyesal harus memberi hukuman kepada kami. Inilah akhir kisah perang mulut melawan guru, siswalah yang bersalah dan berhak dihukum, sungguh kejam. Aku pun berbasah-basahan keringat lari keliling lapangan sekolah sepuluh putaran, bersama lima siswa pembuat keributan lainnya pada jam pelajaran matematika kali ini.

Matematika adalah pelajaran yang menjemukan dan melelahkan, terutama kurasakan saat di kelas VIII ini. Terbayang di kelas IX nanti akan bertemu Pak Rey kembali di pelajaran matematika membuatku mual. Soal latihan di setiap pertemuan, selalu ada PR, dan hukuman keliling lapangan bagi yang tidak mengerjakannya. Kadang juga tidak sabaran jika kami lambat memahami pelajaran, marah-marah.

Aku pulang sekolah naik motor dengan hati yang kesal. Di jalan aku melihat Pak Rey berjalan sambil menuntun motornya, bannya bocor. Aku tersenyum puas. Ketika mau melewatinya tiba-tiba dia memanggilku, “Divo, tunggu sebentar, saya mau bicara.” Glek… Aku merasa gugup, jangan-jangan dia tahu. Apakah aku akan diceramahi dan dihukum lagi.

“Divo, saya menyesal atas kejadian di kelas hari ini,” ungkapnya di depanku. “Saya minta maaf jika itu membuatmu kesal. Perkataanmu ada benarnya, saya terlalu memaksa kalian dalam belajar, dan melupakan suasana yang seharusnya menyenangkan saat kalian mengikuti pelajaran.”

Nah lo, apa maksudnya ini. Apakah ini tanda pengakuan bahwa dia menyerah, atau sekedar mendinginkan aku yang sudah terbakar api kebencian. Aku hanya terdiam, tak tahu apa yang mesti ku ucapkan.

“Ayo, silakan pulang,” sambungnya menanggapi sikapku yang kaku, “Hati-hati di jalan, ya.” Aku mengangguk, kuhidupkan motorku dan pulang ke rumah dengan membawa sedikit tanda tanya. Bisa-bisanya dia yang di kelas tadi marah-marah, ketika di jalan bersikap ramah.
* * * * * * * * * *

Malamnya hujan turun rintik-rintik. Enaknya dingin-dingin begini dibawa tidur, tapi berhubung mata belum mengantuk, ku ambil hape untuk online. Aku keluarkan uneg-uneg di kepalaku mengenai kejadian siang tadi di sekolah.

“D’marahi, dlempar batu kapur, dhukum, siang tadi sial bgt. Jdi malas masuk kelas,” statusku di dinding FB.
“Kesian…mkanya klo belajar yg serius donk, hehe…” komentar Andini, teman sekelasku beberapa menit kemudian.
“Trlalu serius bikin strees, fren, lagian buat apa serius, nilaiku sdh bagus,” balasku mengemukakan alasan.
“iya…aku tau km pintar, tpi bisa kan sabaran dikit, klo dbelakang ribut, ksian temen yg lain jdi ga konsen belajarnya.”
“Serius nih, ga konsen?” balasku menyelidik.
“Bangeet…” komentar balasan dari Andini.

Aku memikirkan komentar Andini, sepertinya dia tidak bercanda, dia teman yang jujur dan terbuka. Walaupun di kelas rangkingnya di bawahku, satu hal yang aku kalah darinya, dia lebih bijak daripada aku dalam menilai sebuah masalah, makanya aku senang berteman dengannya. Aku inbox dia, ingin curhat.

“Malem An, aku pengen curhat nih, pengen tanya pendapatmu.”
“iya Div, tanya apa, serius amat. Hati2 lo, terlalu serius tar bikin strees…”
“iya nih An, ga enak ku curhat d status, makanya inbox km.”
“Oke fren, mang ada masalah apa?”
“gak, aku cuma mau tanya, tentang siang tadi d kelas, sikapku kebangetan ya?”
“Oh itu… ya iya lah Div, Pak Rey marah2 kmu malah senyum2, untung aja ga kena kepala tuh batu kapur.”
“tapi, aku bosan An, pelajarannya garing bgt…”
“gak gitu jga Div, mungkin…. itu krna km mrasa udah paham sma materinya, tapi sbgian yg lain msih kurang paham, mreka itu yg lebih dperhatiin sma Pak Rey. Nah, yg pintar jdi mrasa kurang dperhatiin, mrasa dcuekin trus bikin gaduh, ksian kan yg lain terkorbankan.”

“hmm…iya jga sih,” balasku sambil memikirkan penjelasan Andini di inbox ku. ”menurutmu Pak Rey kecewa gak ya dgn sikap sperti itu?”
“Maybe yes maybe no. tapi setau ku Pak Rey baik kok, ku aja kumpul PR telat dia bilang lain kali on time ya, dilain waktu telat lagi, dia tanya apa ada masalah mgkn dia bisa bantu spya tak telat lgi.”
“Ah, mungkin sama km aja dia respect nya nih,”
“hmm…kayanya ga jga deh. Coba pikir, dia hadir mendukung kgiatan siswa d luar skolah, lomba futsal, sepakbola, voly, kmaren aja waktu kami O2SN main voly d kabupaten, dia datang. Padahal kan sudah ada guru olahraga yg mndampingi.”
“Cari hiburan aja tuh, ngisi waktu kosong dripada bengong.”
“cari hiburan kok sama yg bukan minat, tanya kenapa….?”
“maksudnya…?” balasku kurang paham.
“coba perhatiin, Pak Rey tu kurang minat sama olahraga,” balas Andini.
“tau drimana?”
“perhatiin aja d skolah, ga pernah kan liat dia ikut main futsal, basket, voly, senam jumat pagi, kcuali tenis meja prnah ku liat sekali. Trus dari profilnya d FB jga, ga ada satupun olahraga dtulis jdi minatnya dia.”
“wah kok tau bgt sih, smpai k profil FB nya jga, jgn2 kmu secret admirernya dia nih.”
“ada2 ja kmu Div, srry ya ku bkan hnya ratu voly tapi jga ratu online, makanya tau….” balas Andini sedikit menyombong, okelah, ku akui kamu memang the best di tim voly putri sekolah. “jadi intinya, Pak Rey hadir utk mmberikan semangat, walau dianya ga trlalu minat sma olahraganya, tpi dia perhatian sma siswanya, gitu Div.”

“hmm…bener jga, ” balasku mengiyakan, sebenarnya aku cukup menyesal sudah bikin ribut di kelas. “Ya dah deh, ku kan belajar lbih serius d kelas, palagi kita bentar lgi kelas IX, ya An,” sambungku lagi.
“BAGUS lah km sadar Div, tapi kita tdk kan brtemu Pak Rey lgi d kelas IX nanti.”
“MAKSUD km…?”
“iya, tdi pas mau pulang skolah, ku lewat kantor, liat Pak Rey sma Kepsek lg ngobrol, skilas kudengar, tahun ajaran baru nnti Pak Rey bertukar klas, mengajar d klas 7 & 8, sdgkan kls 9 di ajar sma Bu El.”

Gubraak, aku terdiam. Mengingat kelakuanku yang suka bikin ribut di kelas, kurang menghargai pelajaran juga kurang menghargai guru, dan ban motor Pak Rey yang ditusuk paku, dadaku terasa sesak. Aku seharusnya senang tak akan bertemu Pak Rey lagi di pelajaran Matematika. Tapi, entah mengapa mataku terasa pedih, rasanya aku ingin menangis bersama gerimis malam ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun