Selama dua belas tahun saya berjemaat (namun dua terakhir ini saya jarang ke gereja tersebut) dalam sebuah gereja yang memiliki tema besar Mukjizat, dan selama sembilan tahun terakhir ini saya berkecimpung dalam pembinaan olahraga disabilitas (sebagai pelatih, dll.). Selama dua belas tahun berada dalam gereja tersebut, saya menjadi "ke-kenyang-an" dengan kesaksian tentang Mukjizat yang diobral murah (bisa didapatkan dan dialami oleh siapa saja asalkan memiliki iman dan pertobatan), karena kesaksian tentang Mukjizat itu pula menjadikan terganggunya jalan pikiran saya yang hampir setiap harinya bersentuhan dengan kaum disabilitas.
Bagaimana tidak terganggu, selama dua belas tahun saya tidak mendapatkan keseimbangan berpikir (berteologi), saya "kenyang" dengan kesaksian tentang Mukjizat, sementara hampir setiap harinya saya dihadapkan dengan kaum disabilitas (tuna netra, tuna daksa, tuna rungu wicara, tuna grahita, celebral palsy). Kesaksian tentang Mukjizat (penyembuhan) memang merupakan penghiburan dan berkat bagi mereka yang telah disembuhkan, namun bagi kaum disabilitas kesaksian-kesaksian semacam itu merupakan bentuk pelecehan, diskriminasi, dan marginalisasi.
Saya pribadi tak terlalu merisaukan meski kerap mendengar pelecehan, diskriminasi, dan marginalisasi yang dikemas dalam bentuk bercandaan dari pihak lain (non-olahraga disabilitas). Namun saya menjadi risau dan benar-benar terganggu, ketika pelecehan, diskriminasi, dan marginalisasi itu datang dari "pedoman" hidup yang saya miliki dalam menjalani kehidupan ini. Kesaksian mukjizat itu menjadikan saya memiliki prasangka buruk terhadap Kekristenan, Alkitab, terlebih kepada Tuhan yang saya sembah.
Prasangka buruk saya mengarah kepada ketidakadilan yang ada. Dalam Alkitab (bahkan bukan hanya Alkitab, dalam banyak budaya pun memiliki anggapan yang sama seperti ini), kaum disabilitas diceritakan sebagai objek yang harus disembuhkan karena dianggap sebagai orang yang terkutuk, terkena dosa turunan dari orang tuanya, dan kerasukan setan. Apakah benar Alkitab (kekristenan dan Tuhan yang saya sembah) sekejam itu? Prasangka buruk saya makin menjadi-jadi saat saya "bermandikan" kesaksian tentang mukjizat, kesaksian yang bertolak belakang dengan keadaan kaum disabilitas yang saya jumpai hampir setiap harinya. Kaum disabilitas tersebut tidak pernah mendapatkan kesembuhan dan pemulihan fisik, sekalipun saya juga turut memberitakan "kabar baik" yang ada.
Mungkin pertanyaan dari prasangka buruk saya itu: Apakah kaum disabilitas itu mengalami persoalan iman (kurang beriman), tetap berdosa dan tidak mengalami pertobatan, hingga kesembuhan dan pemulihan fisik tidak juga dialami? Semakin sering saya "ke-kenyang-an" dan "bermandikan" kesaksian tentang Mukjizat, semakin menjadi-jadilah prasangka buruk saya. Hingga suatu ketika saya mendapatkan keseimbangan berpikir (berteologi), di-merdeka-kan dengan pemahaman baru yang saya temukan saat mempelajari Teologi Pembebasan atau Teologi Disabilitas (coba searching di google dengan kata kunci "theology of disability", akan banyak ditemukan paper terkait hal tersebut).
Prasangka buruk yang saya miliki perlahan pudar dan menghilang, karena akhirnya saya coba belajar membaca Alkitab dari sudut pandang kaum disabilitas tanpa merasa dilecehkan, didiskriminasi, dan dimarginalkan. Cara itu bisa didapatkan dengan membangun pemahaman teologis melalui pemaknaan teks tertentu (yang berhubungan dengan disabilitas) dengan melihat konteks sosial, budaya, dan politik dari teks Alkitab (hermeneutik biblis). Mungkin saya tak akan pernah bisa terlepas dari prasangka buruk, apabila saya terus "dikenyangkan" dan "dimandikan" dengan kesaksian tentang Mukjizat (sebenarnya tak ada yang salah dengan mukjizat ini, saya pribadi percaya dan mengalami hal-hal yang supranatural, namun karena tidak ada keseimbangan berteologi yang diberikan, prasangka buruk menjadi muncul dalam diri saya).
Semakin terus belajar, saya makin banyak mendapatkan pemahaman baru. Terlebih dengan pemahaman yang selalu membuat hati saya bergetar setiap kali merenungkannya kembali (seperti yang saya rasakan tiga hari terakhir, hati saya selalu bergetar dan rasa ingin menangis saat melakukan perenungan tersebut dalam rangka menyambut Paskah). Sebenarnya melalui peristiwa penyaliban Yesus yang akan diperingati esok hari (Jumat Agung, 3/4/2015) oleh seluruh umat Nasrani di seluruh dunia, ada bagian yang tersembunyi di baliknya.
Dalam peristiwa penyaliban (http://goo.gl/J5fL4b), Yesus mendapatkan siksaan yang keji, bahkan Alkitab mencatat tampang-Nya sudah tidak seperti manusia lagi karena siksaan yang keji itu. Mungkin saja (tafsiran saya pribadi) karena siksaan yang keji itu, menyebabkan Yesus mengalami cacat pada tubuh-Nya. Sekalipun menurut Injil Yohanes tidak ada tulang-tulangnya yang patah, namun sangat mungkin Yesus mengalami gangguan terhadap fungsi-fungsi organ tubuhnya.
Mungkin saja, saraf mata-Nya menjadi rusak karena mahkota duri yang disematkan di kepala-Nya, dan karena saraf mata yang rusak itu menyebabkan Yesus mengalami low vision (tuna netra). Mungkin saja, saraf-saraf pada kedua tangan dan kaki-Nya menjadi rusak karena paku yang ditancapkan, dan karena saraf-saraf yang rusak itu menyebabkan Yesus mengalami layu tangan dan kaki (meski kategorinya sedang, sudah bisa disebut sebagai tuna daksa).
Apakah mungkin cacat fisik seperti itu dialami oleh Yesus? Menurut saya mungkin saja, karena Injil Lukas mencatat bahwa setelah kebangkitan Yesus, Yesus menjumpai murid-murid-Nya dan memperlihatkan luka-luka di tangan dan kaki-Nya. Meski telah ada dalam tubuh kemuliaan-Nya, luka-luka itu tetap ada, tidak tiba-tiba menghilang. Padahal Yesus adalah Sang Mukjizat, masak sih luka-luka yang ada dalam diri-Nya sendiri tidak dapat disembuhkan-Nya? Jawabnya adalah semua peristiwa itu boleh disaksikan oleh Alkitab, karena pasti ada hikmat tertinggi di baliknya, hikmat yang datangnya dari Allah sendiri. Mungkin saja peristiwa itu bertujuan untuk memperlihatkan kepada kaum disabilitas bahwa Yesus pun mengalami cacat fisik. Maka, ketika kaum disabilitas mengalami cacat fisik, mereka tak perlu merasa rendah diri, karena Yesus sendiri pun mengalami hal yang serupa.
Meski semuanya hanya "mungkin saja", namun saya tak ingin membuang begitu saja waktu penantian yang ada. Meski semuanya hanya "mungkin saja", namun saya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan hidup di dunia, karena semuanya pasti akan terlambat saat kelak saya telah berjumpa dengan Yesus yang berjalan menghampiri saya dengan kaki pincang-Nya, lalu membelai kepala saya dengan tangan layu-Nya yang seperti tak bertulang, lalu mendekap erat saya ke dalam pelukan-Nya. Hati ini pasti akan hancur, saat mengetahui keadaan fisik yang sebenarnya tentang Yesus setelah meninggalkan dunia ini, karena ternyata Yesus ada dalam keseharian hidup ini.
Akhir kata, Yesus tak peduli meski cacat fisik harus disandang-Nya, Yesus rela menjadi disabilitas demi menjadi tumbal atas hukuman dosa-dosa kita. Pada Kamis Putih ini (2/4/2015), kiranya kita bisa berefleksi dalam menyambut Jumat Agung dan Paskah (5/4/2015). Melayani Yesus adalah melayani kaum disabilitas, melecehkan kaum disabilitas adalah melecehkan Yesus, mendiskriminasi kaum disabilitas adalah mendiskriminasi Yesus, memarginalkan kaum disabilitas adalah memarginalkan Yesus. Yesus merupakan jalan pembebasan bagi kaum disabilitas dari bentuk pelecehan, diskriminasi, dan marginalisasi. Selamat Paskah.