Kemarin pagi (16/1/2015), pukul 06.30 WIB saya sudah tiba di sekolah. Aktivitas di sekolah, saya awali dengan mempersiapkan seperangkat sound system yang akan digunakan untuk memutar instrumen Senam Jula-Juli bagi murid-murid kami. Singkat cerita, setelah berakhirnya senam bersama, aktivitas berikutnya adalah kerja bakti bersama murid-murid. Usai kerja bakti, saya pun lanjut mengajar pendidikan jasmani untuk kelas V D (ruang kelas V di sekolah kami ada lima rombel) di lapangan sekolah. Ketika Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) telah berakhir, aktivitas selanjutnya adalah melatih pasukan pengibar bendera (paskibraka) untuk upacara hari Senin. Selesai melatih paskibraka, saya lanjut mengangkat gordyn (yang pada saat kerja bakti dicuci oleh siswi-siswi) dari jemuran, untuk saya pasang kembali pada tempatnya.
Dengan terpasangnya gordyn pada tempatnya, maka usailah rangkaian aktivitas saya di sekolah tepat pada pukul 11.33 WIB. Saya mengetahui dengan pasti hingga detik berakhirnya, karena setelah memasang gordyn, saya langsung mencari tempat duduk (dari pagi baru sekali ini bisa duduk) untuk menyadarkan bahu sekadar melepas lelah yang ada, sembari membalas beberapa pesan BBM dan whatsapp yang masuk ke handphone saya, dari riwayat pesan inilah saya mengetahui pada jam berapa aktivitas berakhir. Selesai melepas lelah, setengah jam kemudian saya bersiap-siap meninggalkan sekolah bersamaan dengan beberapa rekan kerja pria yang berangkat ke masjid untuk menunaikan ibadah sholat Jumat.
Dalam perjalanan meninggalkan sekolah, ada beberapa urusan yang harus saya selesaikan, diantaranya saya harus mengirim surat dengan menggunakan jasa Kantor Pos. Dari dua Kantor Pos yang saya lewati dalam perjalanan meninggalkan sekolah, keduanya tutup karena pegawainya sedang istirahat, akhirnya saya memutuskan untuk menyelesaikan urusan lain lebih dulu dengan melakukan penarikan uang tunai di mesin ATM. Namun saat saya hendak menuju ke salah satu bank yang menyediakan mesin ATM, dalam perjalanan saya melihat ada Kantor Pos yang tetap buka saat yang lainnya tutup (dua kantor pos yang saya lewati sebelumnya). Melihat Kantor Pos yang tetap buka, saya pun mengubah arah perjalanan menuju Kantor Pos tersebut.
Setibanya di Kantor Pos, ada dua pria (bapak-bapak) dengan penampilan parlente sedang melakukan transaksi, saya pun antri sambil berdiri menunggu mereka hingga selesai. Dengan mengantri, memberikan kesempatan bagi saya untuk memperhatikan keadaan Kantor Pos. Dalam hati saya sempat memuji satu-satunya pegawai kantor pos (yang sedang bertugas seorang ibu) yang memiliki loyalitas tinggi, karena tetap melakukan pelayanan saat pegawai yang lain memilih untuk beristirahat. Dari dua pria yang sudah ada sebelum saya tiba, satu pria melakukan transaksi pengiriman paket, dan satu pria lainnya lagi (mereka berdua berteman) membayar tagihan PDAM. Dari dua transaksi yang dilakukan itu, loket pelayanannya berbeda (meski letaknya bersebelahan), loket satu untuk pembayaran tagihan PDAM, dll., sementara loket dua untuk pengiriman paket dan surat (saya tidak tahu ketentuan pastinya, namun kesimpulan tersebut saya dapatkan saat memperhatikan pegawai kantor pos harus berpindah tempat untuk transaksi yang berbeda).
Sebelum Ibu Pegawai (selanjutnya saya singkat menjadi: IP) tersebut berpindah tempat, saya sempat ditanyai: “Mas-nya mau apa?” Saya pun menjawab dengan lembut: “Mau kirim surat, Bu.” Saat pertanyaan dilontarkannya tersebut, saya mencium aroma ketus dari ekspresinya. Saya pun tetap sabar menanti IP melayani di loket pembayaran tagihan PDAM, sembari menanti saya melakukan analisa (dalam hati) terhadap kemungkinan yang dirasakan IP tersebut: Apakah IP tersebut sedang lelah? Apakah IP tersebut mengalami kesulitan saat melayani transaksi sebelumnya (pengiriman paket)? Atau IP tersebut akan kedatangan tamu bulanan hingga suasana hatinya jadi tidak jelas? Tapi analisa saya terbantahkan saat melihat IP tersebut tetap bisa memberikan pelayanan yang baik (tanpa ekspresi ketus) kepada dua pria yang sudah ada sebelum saya tiba.
Singkat cerita, ketika pelayanan belum usai, datanglah dua pria (bapak-bapak) lainnya antri di belakang saya. Ketika pelayanan yang sebelumnya telah usai, ditanyailah dua pria yang antri di belakang saya: “Mau apa, Pak?” Dijawab oleh dua pria tersebut: “Mau bayar tagihan air.” Seketika itu juga IP tersebut mengatakan kepada saya, sambil menunjuk loket yang ada di sebelahnya: “(Loket) Kiriman kilatnya tutup, Mas. Orangnya sedang istirahat.” Dengan jelas saya mendengar kalimat tersebut, dan terjadilah percakapan di antara kami sebagai berikut:
Saya (dengan lembut bertanya): “Lalu untuk saat ini, apa yang harus saya lakukan, Bu?”
IP: “Ya nanti kembali lagi setelah jam istirahat berakhir.”
Saya (seketika itu emosi meledak, dengan nada tinggi saya berkata): “Kenapa tidak dari awal saya tiba di tempat ini Ibu berkata seperti itu, hingga saya tidak perlu menunggu lama seperti ini. Kalau Ibu bisa layani orang yang barusan, kenapa giliran saya tidak bisa?”
IP (berusaha berkilah): “Karena tadi kiriman paket.”
Saya (makin emosi mendengar kilahan tak bermutunya): “Memangnya di mana letak perbedaan antara kiriman surat dengan kiriman paket?”
IP tanpa menatap mata saya, menundukan kepala dan menggerutu tidak jelas (berusaha membela dirinya), sembari memasukan data tagihan PDAM milik pria yang antri di belakang saya. Sementara dua pria yang antri di belakang saya hanya tertegun melihat kejadian yang ada. Saya pun memundurkan langkah kaki saya menjauh dari loket menuju tempat parkir yang hanya berjarak sekitar tiga meter dari loket (kantor pos tersebut terletak di tepi jalan raya) dan berkata: “Apa karena saya naik motor (sambil menunjuk motor saya), dan orang barusan naik mobil (sambil menunjuk mobil yang masih ada di parkiran, entah orang tadi melihat kejadian tersebut dari dalam mobilnya atau tidak), lalu Ibu layani mereka gitu? Itu namanya pembedaan.”
Dengan jelas saya mendengar kilahan yang makin konyol dari IP tersebut (berkilah entah karena sadar kalau tindakannya salah, atau “isi hatinya” terbongkar, atau karena takut karena terkait dengan kelangsungan pekerjaannya): “Loh, nggak ada saya melakukan pembedaan, saya kan tadi bilang silakan menunggu, setelah saya layani pembayaran tagihan air ini, baru saya layani pengiriman suratnya.” Saya pun menyahutnya (tetap) dengan nada tinggi: “Ah, nggak ada tadi Ibu bilang seperti itu.” Saya pun menolak kilahannya yang makin konyol dengan kalimat selanjutnya: “Silakan lanjutkan pekerjaan Ibu, dan jangan ulangi hal ini sama yang lain.” Selesai mengucapkan kalimat tersebut, saya berusaha mengendalikan diri saya untuk tidak berbuat dosa dalam kemarahan saya dengan beranjak pergi. Seandainya saja pegawai tersebut bukan seorang wanita, mungkin saja saya bisa lepas kendali (berbuat dosa), minimal lepas kendalinya adalah memaki dengan kasar menggunakan makian khas Surabaya.
Kemarahan (emosi) saya dalam hal ini cukup beralasan, selama ini saya benar-benar muak menjumpai mentalitas semacam ini. Mental? Ya, mental. Saya tidak salah menulis kata mental di sini, mental yang dalam KBBI memiliki arti: bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga. Karena mentalitas semacam inilah, tanpa disadari bisa merusak banyak hal dalam diri kita sebagai makhluk sosial.
Dua minggu lalu pun, saya (ketika makan bersama dengan isteri) sempat menegur penjual soto ayam yang cukup terkenal di Kota Surabaya, yang menjadi langganan kami selama ini. Saat itu isteri sempat terkejut ketika saya datang menghampiri penjualnya, karena dipikir saya akan marah. Tak ada marah sama sekali dalam peristiwa tersebut, meski sebenarnya dalam hati cukup marah. Saya hanya berkata dalam bahasa Jawa kepada mereka (penjual dan pramusaji-nya): “Yak opo iki, aku wis teko ket mau, gak didoli-doli. Iku sing lagek teko, langsung didoli (Gimana nih, saya sudah datang dari tadi, nggak segera dilayani. Itu yang baru datang, langsung dilayani).
Mengapa saya menegur penjual tersebut? Karena beberapa kali sebelumnya saat kami makan di tempat tersebut, beberapa kali itu pula saya melihat kejadian yang menimpa kami, terjadi juga pada pembeli lainnya. Bahkan kala itu saya sempat mengingatkan kepada pembeli lain yang tidak segera dilayani (suami isteri yang duduknya di hadapan kami): “Pak, coba ingatkan penjualnya, yang baru berdatangan terus dilayani, sementara bapak yang dari tadi pesan, tidak segera dilayani.” Penjual dan pramusaji di tempat ini selalu membedakan pembeli berdasarkan warna kulit (maaf, fakta tersebut saya tulis tanpa tendensi membenci atau menyudutkan warna kulit tertentu, karena secara pribadi saya telah tuntas dengan isu SARA), apabila yang pesan warna kulit tertentu, meski datangnya belakangan, pasti akan dilayani lebih dulu.
Saya benar-benar muak dengan mentalitas seperti ini, dalam konteks pendidikan yang saya geluti setiap harinya (sebagai tenaga pendidik yang memberikan pelayanan belajar mengajar bagi anak-anak didik), apabila mentalitas seperti ini dimiliki oleh tenaga pendidik, maka maafkan saya harus mengatakan bahwa mental yang kita miliki adalah mental yang bo(b)rok. Terserah mau dibaca bobrok (rusak sama sekali; bejat) atau borok (luka bernanah dan busuk). Bagaimana tidak bo(b)rok, bila dalam memberikan pelayanan kepada anak-anak didik didasarkan pada status sosialnya (kaya atau miskin), warna kulitnya (merah, putih, kuning dan hitam), bau badannya (wangi atau apek), tampangnya (menawan atau ancur-ancuran), dan lain sebagainya. Lebih bo(b)rok lagi apabila pembedaannya didasarkan pada status kelas yang “normal” atau “inklusi”.
Dalam konteks pelayanan umat oleh pemuka agama-nya pun, terkadang hal yang demikian juga terjadi. Pemuka agama (dari organisasi agama/rumah ibadah) dalam melakukan pelayanan kepada umatnya, ada juga yang melakukan pembedaan. Apabila umatnya memiliki status sosial, warna kulit, bau badan, tampang, dan lain sebagainya sesuai dengan yang diharapkan oleh pemuka agama, maka pelayanan yang diberikan pun (total) habis-habisan. Sementara bagi umat yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka pelayanan yang diberikan pun hanya setengah hati, bahkan ada yang mau melayani umat dengan model yang tidak sesuai dengan yang diharapkan saja, sudah untung-untungan, tidak perlu mengharapkan yang lebih dari yang bisa diberikan.
Akhir kata, yang ingin saya sampaikan di sini, yuk bareng-bareng kita miliki mentalitas yang tidak bo(b)rok. Saya pribadi melatih untuk tidak memiliki mentalitas yang bo(b)rok itu melalui perkara yang sederhana. Perkara yang sederhana itu saat berjabat tangan dengan siapa pun, baik saat berjabat tangan dengan orang yang memiliki kedudukan, maupun saat berjabat tangan dengan atlet-atlet kami yang berkebutuhan khusus, tidak ada pembedaan sikap hati dan gesture tubuh di dalamnya. Karena terkadang, dari cara berjabat tangan bisa dilihat mentalitas seperti apa yang kita miliki, saat bersalaman dengan orang yang dianggap penting (memiliki kedudukan, dsb.), gesture tubuh yang nampak membungkukan badan hingga kepala hampir terbentur tanah. Namun apabila berjabat tangan dengan orang yang dianggap biasa-biasa saja (tidak memiliki kedudukan, dsb.), gesture tubuh yang nampak ogah-ogahan (dalam keadaan tidak suka dan agak malas, orang Jawa bilang: anyi-anyi). Dengan kita setia dalam perkara yang sederhana (kebiasaan-kebiasaan kecil), maka kita akan dimampukan untuk melakukan perkara yang lebih berharga (mentalitas).