Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Generasi Mie Instan

31 Maret 2015   09:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:45 31 1
Berawal dari obrolan pagi bersama sepupuku. Ia sedang meneliti salah satu aspek kehidupan para Pekerja Seks Komersial (PSK). Mungkin selama ini kita tenggelam dalam asumsi mereka bekerja sebagai PSK dengan alasan ekonomi. Ternyata, nampaknya itu hanya terjadi dulu-dulu. Sekarang? Mayoritas motivasinya untuk mengejar gaya hidup mewah. Banyak dari mereka memiliki standar gaya hidup yang tinggi, lalu 'luckily' mereka menemukan jalan tol untuk mencapainya. 1 malam saja mereka bisa mendapat penghasilan minimal 1 juta. Itu sama dengan gaji manager perusahaan, yang dirintis sekitar minimal 10 tahun bekerja. Karena semua untuk gaya hidup, uang sebanyak itu ya selalu habis, dan bahkan kurang.

Lalu aku mengingat salah satu sesi diskusi dengan dosen seniorku yang aktif di salah satu LSM yang banyak menangani korban kekerasan seksual. Beliau cerita banyak program pemerintah, LSM, atau CSR perusahaan, untuk memberdayakan para korban maupun pelaku, misal dengan mengajarkan keterampilan pekerjaan tertentu, bahkan hingga diberi modal, namun itu tidak pernah bertahan. Pada akhirnya mereka kembali ke 'pekerjaan' mereka sebelumnya. Logikanya memang sederhana. Pendapatan dari kerja 10 tahun, bisa didapat hanya dalam hitungan bulan atau 1-2 tahun, tanpa harus struggling sekolah tinggi-tinggi, siapa yang tidak ingin?

Ingatanku berlanjut pada beberapa kasus bimbingan karir yang kutangani selama praktek kerja Psikolog. Dalam berbagai diskusi dengan dosen pembimbing, kami menyepakati anak-anak muda ini cenderung ingin cepat mendapatkan karir yang sesuai, kurang atau tidak adanya penghayatan bahwa sesuatu yang sesuai 100% itu tidak ada. Karir itu proses untuk menilai mana yang cocok dengan diri, dan mana yang tidak. Berpindah dari satu karir ke karir lain, berpindah tempat bekerja, hingga menjalani lebih dari 1 karir, itu semua membutuhkan proses. Bukan sekedar masukkin lamaran ke suatu tempat, lalu diterima seketika di tempat yang 100% sesuai.

Dan tibalah aku pada satu seminar di akhir minggu lalu, mengenai urgensi memahami tahap-tahap perkembangan anak. Pembicaranya adalah psikolog sekaligus terapis okupasi yang sudah praktek belasan tahun. Salah satu poin pertama dan utama yang beliau tekankan adalah, TIDAK ADA JALAN TOL untuk proses tumbuh kembang. Mengapa beliau menekankan ini? Karena pengalaman beliau melihat banyak orang tua yang ingin  mencari jalan tol menuju anak yang ideal. Banyak orang tua hanya melihat si anak sudah mencapai sesuatu, tapi kurang memastikan bagaimana proses si anak mencapainya. Padahal proses itu yang mempengaruhi kualitas pencapaian, Dan karena perkembangan suatu proses yang kontinu, kualitas pencapaian di satu tahap, akan menjadi fondasi untuk kualitas pencapaian di tahap berikutnya.

Di seminar itu pula, pembicara menekankan tentang mengajari anak menunggu. Wow! ternyata ini harus jadi salah satu materi ajaran sendiri pada anak-anak. Jadi ingat pembicaraan dengan salah satu dosen juga. Beliau kaget ketika sekelompok mahasiswa datang padanya membawa isu delay of gratification, secara umum artinya menunda keinginan/kepuasan. Ternyata penelitian ini sedang berkembang, dan jadi recent issue. Eksperimen yang dilakukan adalah anak diberikan marshmellow, dan dikatakan "Kalau kamu tidak mengambil ini, nanti Ibu kasih dua ya." Jika tidak mengambil, maka akan ditingkatkan. Beberapa anak bahkan hanya sanggup menahan keinginan selama 6 detik.

Lalu aku teringat pada mie instan. 1 bentuk kemajuan teknologi. Di saat dulu kalau ingin mie rebus atau mie goreng harus masak minimal 1/2 jam, belum termasuk persiapan bahan, dan beberes setelah masak. Sekarang, cukup masak air selama 3-5 menit, seduh, dan tinggal santap. Beberapa kemasan tinggal dibuang saja.

Dahulu semua hal itu penuh tahapan dan perjuangan untuk mencapai. Ingin bertukar kabar, minimal harus bermodal kertas, pulpen, amplop, perangko, tenaga dan waktu untuk ke kantor pos. Ingin senang dalam bermain, perlu ke luar rumah, panas-panasan, hujan-hujaan, berjibaku dengan teman-teman yang tak jarang berujung pada tangisan. Butuh bahan bacaan, butuh waktu, tenaga, uang untuk pergi ke toko buku. Buku dibawa kemana-mana di dalam tas hingga berat. Sekarang, apa yang tidak bisa kita raih dari sekedar 1-2 klik di ponsel kita?

Lalu, ketika kita punya pemerintahan baru yang baru 5 bulan bekerja, kita juga ingin mereka sukses secepat membuat mie instan?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun