Dua hari yang lalu, pada terik siang 25 September 1993 yang menyengatkan panas dan kemalangan, orang-orang bermuka ambisi, separuhnya berseragam proyek mengukur tanah teramat luas, lainnya berjaga dengan berseragam loreng-loreng dan coklat muda, berompi anti peluru serta bersenapan di tangan, tak akan pernah tahu arti dari kesakralan tanah
sangkolan[1] bagi kami.
KEMBALI KE ARTIKEL