"Apa?!" Josh hendak protes.
"Kalau kau tidak minta maaf sekarang, Josh, maka nanti jangan berharap bisa menjadi temanku lagi," ancam Violetta.
Josh menggigit bibir. Dipandanginya Brian yang sedang menunduk tapi di bibirnya tersembunyi seulas senyum. Senyum kemenangan dari orang yang benar-benar licik! Pikir Josh merasa muak. Seandainya diancam dengan pisau pun ia tak bakalan mau minta maaf. Tapi ini diancam dengan kata-kata Violetta, wanita yang sudah lama diincarnya, yang dikaguminya selama ini, dan ia tidak mau lagi berteman dengannya hanya gara-gara seorang siswa baru? Ah! Dengan terpaksa Josh harus menjilat kata-kata makiannya kembali.
"Aku minta maaf!" ucap Josh, berat dan ketus.
"Begitukah caramu minta maaf?" Violetta meliriknya marah.
"Oke, aku minta maaf, Brian..., puas?" Josh mengulangi ucapannya dengan jengkel.
Violetta melirik Ted. "Giliranmu, Ted!" perintahnya.
Ted membungkam mulutnya, hatinya terasa berat. Tapi setelah melihat Josh memberi isyarat padanya untuk meminta maaf, barulah Ted membuka mulut. "Aku minta maaf," ucapnya pelan.
Violetta menarik nafas lega. "Nah, kalian semua sudah dengar kan?"
"Sudah...," jawab para siswa yang duduk di sekitar situ yang sedari tadi memperhatikan mereka.
"Brian...," Violetta menatap Brian yang sedang memainkan pulpennya.
"Ya!" Brian hanya mengangguk kecil. Ia tersenyum sedikit pada Violetta. Senyumannya itu terasa amat melegakan hati Violetta. Entah mengapa, Violetta amat takut Brian akan tersinggung, apalagi bila gara-garanya.
"Ada apa ini?" Ibu Guru yang tadi meninggalkan kelas, sudah kembali lagi. Ia berjalan ke belakang karena melihat para siswa di belakang seperti sedang memperhatikan Brian.
"Tidak apa-apa, Bu!" jawab mereka kompak.
"Kalau tidak apa-apa, kalian jangan memandangi Brian terus, nanti dia jadi grogi lho!" Ibu Guru mengingatkan. Para siswa tertawa. Richie yang duduk di barisan depan dan sedari tadi mengikuti pertikaian antara kakaknya dengan Josh, akhirnya membalikkan badannya ke depan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kakak kembarmu benar-benar hebat ya?" puji Clarissa yang duduk di sampingnya. Entah bermaksud menyindir, atau bermaksud memuji, Richie kurang tahu.
"He-eh!" Richie hanya mengiyakan. Dalam hatinya merasa amat jengkel pada Brian, mengapa harus bertikai dengan siswa lama di hari pertama mereka bersekolah? Memang dari dulu Brian suka mencari masalah, pikir Richie. Jadi tidak heran jika sekarang ia juga demikian.
Selama satu jam ke depan, mereka belajar pelajaran baru yang diajarkan oleh Ibu Guru itu. Ketika lonceng istirahat berbunyi, sebagian siswa keluar dari dalam kelas dan sebagian lagi duduk-duduk di dalam kelas sambil berbincang-bincang.
"Violet, ke kantin yuk!" ajak Josh.
"Iya, selama liburan ini kita sudah lama tidak makan sama-sama," Ted menimpali, berusaha mencairkan suasana yang tidak enak di antara mereka setelah pertikaian tadi.
"Aduh, aku lagi malas nih," alasan Violetta. "Kalian pergi saja dulu, nanti kalau sempat aku menyusul." Violetta pura-pura melihat hp-nya.
Benar ya?" harap Josh sambil menyimpan buku pelajarannya.
"Mm..., mm...," Violetta mengangguk. Setelah itu dilihatnya Josh, Ted, dan seorang lagi teman mereka, Carl, berbarengan keluar kelas.
Violetta mencuri pandang pada Brian yang masih menyalin sesuatu dari buku pelajarannya. Sambil memijit-mijit hp, Violetta menunggu kira-kira apa lagi yang akan dikerjakan Brian di saat lonceng istirahat ini. Perutnya sudah terasa lapar karena tadi buru-buru datang ke sekolah tanpa sempat mencicipi sarapan yang disediakan oleh mamanya. Melihat Brian tidak menunjukkan gelagat akan ke kantin, Violetta memberanikan diri bertanya.
"Brian, kamu tidak ke kantin? Kita sama-sama sarapan yuk, biar aku mentraktirmu sebagai permintaan maafku atas sikap teman-temanku tadi."
Brian menolehnya sekilas, menggeleng kecil. "Aku tidak lapar," sahutnya pendek, lalu kembali menekuni catatannya.
Hati Violetta terasa cemas. Apakah Brian marah padanya karena gara-gara dia, hari pertama Brian di sekolah baru jadi tidak menyenangkan? Malah gara-gara Violetta pula, Biran bertikai dengan Josh dan Ted. Pasti sekarang suasana hati Brian sedang tidak enak, pikir Violetta. Ah, sebaiknya sekarang jangan mengganggunya dulu.
Violetta bangkit dari duduknya, melewati Brian, lalu berjalan ke depan menuju pintu keluar. Tak lama kemudian, para siswa di dalam kelas itu juga ikutan keluar. Walaupun tidak semuanya pergi ke kantin, tapi setidaknya mereka keluar kelas untuk menghilangkan kejenuhan.
Sekarang di dalam kelas itu hanya tinggal Brian, dan seorang siswa perempuan yang duduk di depan. Siswa itu adalah Clarissa. Tampaknya Clarissa masih menyalin sesuatu dari buku pelajarannya. Ia sangat asyik sampai tidak menyadari kalau di dalam kelas itu hanya tinggal ia dan Brian saja.
Suasana di dalam kelas itu kini menjadi hening. Para siswa yang ada di luar kelas pun berada agak jauh dari ruangan kelas, sehingga suasana tiba-tiba terasa sepi. Hanya dari kejauhan saja sayup-sayup terdengar suara para siswa yang mengobrol.
Lima menit kemudian, Clarissa menyadari sesuatu. Ia merasa sedang diperhatikan. Spontan ia menoleh ke belakang dan hatinya berdesir. Brian sedang memperhatikannya dari jauh! Tepat sekali, karena Brian tidak sedang menulis sesuatu, melainkan sebelah tangannya memegangi dagu dan matanya menatap lurus ke depan. Brian sedang menatapinya! Entah sejak kapan. Dan Clarissa merasakan bulu kuduknya merinding. Sorot mata Brian amat dingin, aneh, dan misterius.
Clarissa tepekur tiga detik. Detik berikutnya ia secepatnya mengeluarkan tasnya, menyimpan buku pelajaran dan catatannya ke dalam tas. Lalu tergesa-gesa ia memasukkan tasnya kembali ke dalam laci. Clarissa bangkit dari duduknya dengan gugup karena ia merasa Brian seperti sedang menuju ke arahnya. Baru saja ia hendak melangkah, Brian sudah datang dan menubruknya dari samping. Tubrukan itu cukup keras, membuat tubuh Clarissa bergoyang bagaikan hilang keseimbangan. Secara refleks, Brian menopangnya hingga bahu Clarissa mengenai dada bidang Brian. Sedangkan tangan Brian yang kekar entah sejak kapan sudah menggenggam pergelangan tangannya.
"Hati-hati!" ucap Brian, sementara matanya menatap langsung ke mata Clarissa. Wajah Brian amat dekat dengan wajahnya, membuat Clarissa terasa sulit bernafas.
Detik kesatu, dua, dan tiga, Clarissa terpana. Detik keempat, Clarissa menepiskan tangan Brian yang sedang memegangi pergelangan tangannya, lalu dengan siku kanannya, Clarissa menyikut dan menjauhkan tubuh Brian yang merapatinya. Jantung Clarissa berdegup kencang berada dalam dekapan Brian sesaat tadi, dan hatinya berdebar aneh ketika Brian menatapnya. Rupanya tatapan mata Brian dari dekat tidak sedingin seperti yang ia kira, melainkan terasa amat sejuk, lembut, dan teduh.
Clarissa cepat-cepat menyingkirkan perasaannya. "Aku tidak apa-apa," ucapnya sambil menyibakkan rambut panjangnya ke belakang bahu, lalu ia berjalan tergesa-gesa menuju pintu keluar.
Brian menarik nafas panjang sambil memandang kepergian Clarissa yang tergesa. Tampaknya Clarissa takut padanya. Ketika sosok Clarissa menghilang di balik pintu, Brian memejamkan matanya. Masih tercium olehnya harum rambut Clarissa di dalam dekapannya tadi, juga masih membekas di hatinya ketika mata Clarissa beradu dengan tatapannya, perasaan Brian bagai tersentuh.
Tidak, aku tidak boleh lemah, bisik hati Brian. Yang paling penting adalah tujuanku. Buang semua perasaan yang tidak berguna ini. Setelah berkata-kata sendiri di dalam hati, Brian pun membuka matanya dan berjalan menuju pintu keluar.
Brian berjalan sendirian di dalam kompleks sekolahan itu. Bangunan sekolah ini memang amat luas dan bonafide. Dari luar saja sudah tampak gedung sekolah yang megah, kokoh, dan angkuh, seolah-olah hanya siswa dari kalangan berada saja yang bersekolah di sini. Sedangkan Brian dan Richie yang tidak ketahuan bagaimana latar belakang keluarga mereka, agak sulit menerima hal ini. Tapi bagaimana pun juga, Brian harus berusaha tetap bersekolah di sini, karena di sinilah adanya orang-orang yang ingin ditujunya! Rencana yang sudah disusunnya sejak lama, harus berjalan dengan baik. (Bersambung).