Malam disini menawarkan keterasingan. Sepi. Angin yang kemarin berdamai denganku kini angkat senjata lagi. Angin kembali dingin dan bengis. Menyerangku tiba-tiba. Aku paling benci terhadap angin dingin yang bengis. Karena aku selalu kalah dan lebih baik memilih berselimut. Pelan-pelan aku dengar suara derap kaki dari ujung pintu. Suara langkah kaki yang sangat lembut, langkah kaki seorang perempuan. Dan keyakinan merajai jiwaku, pasti perempuan itu lagi. Kenapa ia kembali disaat angin dingin begini? Padahal sudah tiga minggu berlalu sejak ia berpamitan kepadaku ingin pergi jauh dari duniaku. Seperti biasa. Perempuan itu menyuguhkan senyum lalu menangis di dekatku. Duduk di sampingku. Sejenak kemudian ia berbicara kepadaku melalui bahasa tubuhnya bahwa ia juga merasa kedinginan sama seperti diriku. Iba juga aku melihatnya. Aku selimuti ia dengan selimut yang tadinya aku pakai. Namun, ia menolak begitu saja, meninggalkan aku sendiri. Begitulah ia. Datang, senyum, menangis lalu pergi. Perempuan bermata indah dan rambut panjang hitam tergerai, juga lentik bulu mata seperti bulu seekor burung merak. Subuh memanggil, membuatku terjaga. Ya Tuhan! Perempuan itu kumimpikan lagi. Selalu ia. Dan dalam mimpi yang sama pula.