Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Pergilah dengan Tenang, Gideonku Sayang...

26 Januari 2011   09:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:10 210 0
“Lin... Gideon meninggal.” suara parau Hans di telepon terdengar memekakkan telinga.

Enggak, nggak mungkin Gideonku mati!

Dilemparkannya gagang telepon begitu saja, dan seketika itu pikiran Linda menjadi kacau.

Gideonku tidak boleh mati, aku harus memastikan bahwa kabar itu salah. Tunggu aku Gid...!!
Dengan langkah tergopoh-gopoh Linda berlari keluar rumah, menyusuri jalan panjang yang seolah tak berujung. Pikirannya sangat kacau, matanya tidak melihat dengan fokus yang baik dan nafasnya pun terengah-engah.

“Lin, bareng yuk! Ke rumah Gideon kan?” teriakan itu tidak asing buat Linda. Itu suara Tiwi, teman sekelas Gideon. Dan Linda menurut saja ketika Tiwi membuka pintu mobilnya dan menarik lengannya untuk segera masuk. Matanya sibuk memandangi daun-daun berguguran di sepanjang jalan itu.

Daun itu gugur, mati. Sama seperti Gideonku juga sudah mati.
“Lin, kamu nggak pa-pa?” tanya Tiwi khawatir. Linda hanya menggeleng pelan, nampak ada bendungan di matanya.

“Lin, aku ngerti kamu deket sama Gideon dan keluarganya. Kamu boleh nangis kok, kalau sedih jangan ditahan ya?”

Linda menundukkan kepala, air matanya jatuh di pangkuan. Rasanya aneh sekali, menangis. Linda bukan tipe cewek cengeng yang suka pada kegiatan menangis. Baginya, menangis hanya untuk orang yang lemah saja. Sekuat tenaga ditegakkannya kembali kepalanya sembari menghapus sisa air mata di pipi.
Di sebuah perempatan besar yang sepi, mereka meninggalkan mobil di tepi jalan bersama dengan beberapa mobil pelayat lainnya. Dari situ mereka harus berjalan kaki sekitar lima ratus meter menuju rumah Gideon yang hanya bisa ditempuh dengan sepeda motor. Linda menggenggam erat tangan Tiwi semenjak mereka menyusuri jalan setapak berbelok-belok di dalam perkampungan tua itu. Rumah tua yang sudah hampir hancur, warnanya lusuh dan beberapa sudut pintu dan jendelanya berlubang digerogoti rayap. Orang sudah begitu banyak membanjirinya sampai meluber memenuhi gang-gang di sekitarnya. Tapi Linda bersikeras menerobos kerumunan yang begitu padat, meninggalkan Tiwi sendiri di halaman.
Yah, cuma bisa ikut berdiri di dekat daun pintu, tidak bisa lebih dekat lagi untuk bertemu dengan Gideon sekalipun cuma jasadnya.

Apalagi kebaktian penutupan peti jenazah akan segeras dimulai, Linda pun berdiri kaku dan membisu di antara orang-orang dewasa yang tidak dikenalnya.

Ah, sepertinya tidak ada kesempatan untuk mengucapkan salam perpisahan padanya.



Nyanyi-nyanyian kidung jemaat membuat angannya melayang, membayangkan tubuh Gideon terbujur kaku di dalam sebuah kotak kayu. Gideon adalah cowok yang selama ini sangat diinginkannya. Kalau tidak bisa jadi pacar, berteman saja sudah cukup buat Linda. Tapi sekarang, dia malah pergi untuk selama-lamanya. Tanpa pesan pula. Isak tangis di antara nyanyian kidung jemaat membuat hati Linda serasa diiris-iris. Ngilu sekali rasanya.

Gid, Gid, kenapa meninggalkanku dengan cara seperti ini?



Linda tidak sanggup menyimak apa yang disampaikan pendeta, pikirannya tertuju pada bayangan Gideon yang begitu mempesona selama ini. Cowok pintar yang selalu ramah padanya.

Gid, Gid, selama ini kamu nggak pernah ngerti perasaanku, kenapa juga sekarang kamu malah pergi? Dunia ini sepi kalo nggak ada kamu...
Mata Linda mulai sembap, air matanya tidak dapat dibendung lagi. Suasana duka membuatnya semakin tidak bisa menahan diri. Ah, aku tidak boleh menangisinya seperti ini, nanti Gideon malah tidak bisa pergi dengan tenang.

Sudah, sudah, aku harus bisa menahan diri, tidak boleh cengeng.

Disekanya air mata dengan ujung lengan bajunya sampai dua kali, lalu mulai mengalihkan perhatiannya dengan melihat wajah orang-orang supaya tidak terlalu sentimentil. Di akhir kebaktian itu, Bapak Pendeta menutup kotbahnya dengan kalimat, “Setiap kita akan pulang ke rumah Bapa sorga, di mana saudara yang kita kasihi telah berangkat terlebih dahulu.”
Ya, Gideon sudah bersama dengan Tuhan di sorga. Kelak semua orang percaya juga akan ke sana, aku juga.

Lagi-lagi Linda menangis demi memikirkan kalimat itu. Ya ampun, aku tidak boleh menangis lagi! Disekanya sekali lagi pipinya sampai lengan bajunya basah, lalu kembali mengamati wajah orang-orang di ruangan itu.
Mereka kembali menyanyikan sebuah kidung berjudul Rumah Allah yang Kekal diiringi akordion. Linda pun berusaha turut menyanyi dengan mengikuti gerakan bibir orang-orang yang berdiri di seberang peti jenazah.

Gideon??

Seseorang yang sangat mirip dengan cowok pujaannya itu ada di sana. Ah, mungkin seorang kerabat yang mirip dengannya. Tapi, apa itu? Kenapa dia tersenyum pada Linda? Oh, mimpikah ini? Bagaimana mungkin dia ada di situ kalau dia sudah mati? Sekali lagi Gideon mengangguk padanya dan tersenyum.
Oh, tidak. Tidak mungkin dia hidup lagi. Itu jelas tidak mungkin.

Ditatapnya lekat-lekat sosok Gideon di seberang peti jenazah. Dia menyanyi dengan sungguh-sungguh, “Di rumah Bapaku, tiada susah...”

Oh, mengapa tidak ada seorangpun yang meresponi kehadirannya? Mengapa harus aku yang melihat dia? Tidak Gid, pergilah saja dengan tenang.

Linda merasa pusing dan agak mual. Dipaksanya kedua kakinya mundur dengan langkah terseret, sementara matanya tetap memandang lurus pada Gideon. Penampakan itu seolah nyata!

“Mau ke mana Lin?” tanya Tiwi berbisik dalam himpitan orang-orang tak dikenal di halaman.

“Enggak.” jawabnya terus berjalan tanpa menoleh, pikirannya masih menancap kuat pada sosok mirip Gideon di barisan seberang.

Sekali ini saja diliriknya lagi sosok Gideon di antara kerumunan keluarganya. Gideon pun melambaikan tangan padanya, seolah hantu itu berusaha mencegahnya pergi.
Tidak, aku harus pergi dari sini.

Dengan jantung berdegup kencang, Linda melemparkan kakinya menjauhi rumah itu. Gerakan melempar kaki itu mungkin bukan cara berlari yang terbaik, tapi hanya itu yang bisa dipikirkan dan dilakukannya saat ini. Kordinasi antara otak dan kakinya sangat kacau, dan... olala, Gideon pun mundur dari kerumunan, lalu menghilang.
Oh, dia tidak boleh mengejarku, tidak bisa. Aku tidak mungkin mengalami yang seperti ini. Jangan aku...! Please, Gid, pilih orang lain aja. Papa kamu kek, Mama kamu kek, kenapa harus aku yang kamu temui? Serunya dalam hati sambil terus berlari tak beraturan. Ingin rasanya berteriak minta tolong pada banyak orang yang ada di situ, tapi tak satu kata pun bisa keluar dari tenggorokannya. Pita suaranya seperti menolak perintah otak yang sedang kacau.
“Udah mau pulang Lin?” sosok Gideon tiba-tiba saja muncul dari pintu belakang rumah itu.

Deg. Jantung Linda hampir copot.

Apa yang harus dilakukan jika bertemu dengan hantu teman sendiri? Haruskah menengkingnya? Tapi bagaimana caranya?

“I, iya, aku mau pulang!” Akhirnya pita suaranya mau berkompromi, Linda langsung berlari sekencang-kencangnya tanpa menoleh lagi. Bulu-bulu di permukaan kulitnya berdiri karena merinding.

Aduh, mimpi apa aku ini ketemu hantu ganteng. Tapi biarpun ganteng, dia tetep hantu!

“Linda! Tunggu Lin!” terdengar langkah kaki Gideon mengejarnya.

Waktu masih hidup aja Gideon larinya lebih cepat dari aku, apalagi sudah jadi hantu begini??? Jadi apa aku nanti? Mama... aku dikejar hantu...!!!

“Jangan ikuti aku! Aku nggak bikin salah sama kamu khaaan!!” teriak Linda di mulut gang.

“Hei, aku cuma mau nitip pesen buat Opa.” Gideon berhasil meraih tangan Linda, menahannya dari cara berlari yang sangat membahayakan itu.

“Iya pesennya apa? Cepetan aku mau pulang!” seru Linda dengan kedua mata terpejam. Cengkeraman tangan Gideon juga terlalu kuat untuk dilawannya.

Apakah seperti ini rasanya ditangkap hantu??



“Tolong bilangin Opa kamu, kalau Kakek sudah meninggal. Dari tadi pagi ditelpon ke rumahnya nggak ada yang angkat.”

“Kakekmu meninggal?” Linda membuka matanya, bertanya dengan nafas sesak.

“Iya, tadi pagi Kakek minta supaya teman-temannya di Perkumpulan Sastra dikasih tau semua, minta dukungan doa. Tapi waktu Kakek sudah habis Lin, tadi siang beliau meninggal.”
“Jadi, yang meninggal itu kakekmu to!!!!” Linda menarik tangannya dengan kesal, lalu meninju Gideon berulang-ulang sampai cowok itu kewalahan menghindarinya. “Beraninya kamu main-main sama aku!”

“Eh, apaan sih, kenapa kamu jadi marah? Aku nggak main-main Lin, kamu sendiri ngapain ke sini?”

“Iya, tapi kenapa berita yang nyampe di rumahku, kamu yang mati!”

“Hah? Masa??” Gideon membelalak.

“Iya, kalau enggak, ngapain tadi aku ikut nangis? Ngapain aku takut waktu liat kamu?”

“Oooh... jadi kamu ngira aku ini hantu?”

“Iya, hantu jelek!”

“Eh, he he.. sorry. Mungkin yang bawa berita kurang lengkap. Namaku memang dibuat sama persis sama Kakek. Mama yang minta, katanya supaya aku ntar jadi sastrawan kayak Kakek.”

“Fiuh.. dari dulu juga udah tau.” Linda menghela nafas, melangkah gontai ke tepi jalan setapak kemudian duduk di atas tumpukan batu bata. Kakinya lemas sekali. “Sudah kuduga, nggak mungkin ada orang mati bisa gentayangan. Tapi kenapa aku bodoh sekali? Antara teori sama prakteknya nggak nyambung banget. Kenapa juga aku lupa nama kakekmu? Nyebeliiiin!”

“Ya udah Lin, nggak pa-pa. Namanya juga orang panik, aku bisa maklum kok.”

“Kamu maklumin aku? Heh, aku aja nggak maklumin diriku sendiri, konyol tau!”

“He he.. iya, kamu emang konyol.” Gideon terkekeh.

Buk. Satu pukulan lagi pada pangkal lengan Gideon, itu untuk tawanya yang menyebalkan.

“Balik ke rumah yuk, udah nggak takut sama aku kan?” Gideon membantunya berdiri.

“Nggak, tapi sebel!” Linda tersenyum menerima uluran tangan Gideon, lega sekali melihatnya masih hidup.

Berita kematian cowok pujaannya membuat Linda shock, lalu bertindak secara sentimentil dan membawanya ke dalam kebingungan dan ketakutan. Kadang kita memang nggak sempat mengkonfirmasi suatu informasi ya :)
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun