Dengan semangat beragama dan berbangsa, sejatinya demi mendukung upaya pemerintah untuk memutus rantai penyebaran virus, maka kita semua dapat mematuhi Surat Edaran (SE) Kemenag tersebut.
Terkecuali bagi kita umat muslim yang berada di zona hijau, beberapa point panduan bisa kita abaikan tetapi dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, sekali lagi demi mendukung upaya pemerintah memutus rantai penyebaran virus Covid-19.
Sebagai pemeluk agama islam yang taat, mari kita coba melihat SE Kemenag tersebut dalam perspektif penghayatan dan pengamalan agama pada konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saya kira itu menjadi sangat penting, karena sudah semestinya kita tempatkan agama pada posisi dan peran yang sangat mendasar dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan.
Di dalam agama terkandung pola hubungan dengan Tuhan, dan hubungan sesama mahluk, hubungan antar manusia.
Hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan (hablumminallah) bersifat pribadi dan suci, karenanya tidak bisa dipertanyakan, apalagi diperkarakan.
Sementara hubungan horizontal antar sesama manusia dan lingkungannya (hablumminannas), di samping bersifat perseorangan, juga sosial dan kultural. Keduanya memiliki hubungan yang erat dalam konteks kehidupan bangsa.
Dimensi ketuhanan merupakan jiwa dan ruh bagi pengembangan spritualitas kehidupan bangsa dan negara. Sedangkan aspek hubungan sesama manusia (mu'amalat) lebih bersifat luas, terbuka, rasional, dan obyektif dapat dikembangkan secara adaptif dan interaktif dari segi-segi kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam tulisan ini, saya ingin mengulas beberapa poin-poin penting panduan ibadah ramadhan sesuai dengan SE Kemenag tersebut, hal ini sebagai upaya pribadi saya untuk memposisikan agama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pertama pada bagian sholat tarawih, sesuai panduan bahwa sholat tarawih dilakukan secara individual atau berjamaah bersama keluarga inti dirumah, artinya tidak diperbolehkan sholat tarawih berjamaah di masjid atau mushola, terutama di zona merah.
Pada zona hijau penyebaran virus Covid-19, poin tersebut bisa saja diabaikan, akan tetapi demi mendukung upaya pemerintah untuk memutus rantai penyebaran virus, maka penerapan protokol kesehatan sebaiknya tetap dilakukan, hal ini selaras dengan memposisikan agama dalam konteks kebangsaan.
Sehingga ibadah ramadhan tetap bisa dijalankan, upaya pemerintah memutus rantai penyebaran virus tetap kita dukung sebagai bentuk pengamalan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Disinilah pentingnya konteks beragama yang lebih bersifat luas, terbuka, rasional, dan obyektif sehingga dapat dikembangkan secara adaptif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bagaimana sebaiknya pengurus masjid dan mushola melakukan upaya penerapan protokol kesehatan selama bulan suci ramadhan?
Agar pelaksanaan sholat tarawih berjamaah tetap dilaksanakan, tetapi semangat mencegah penyebaran virus Corona tetap diterapkan, maka pengurus masjid atau mushola mengupayakan penerapan protokol kesehatan.
Langkah pertama dapat dimulai dengan sosialisasi dan imbauan kepada para pemudik yang baru datang dari kota zona merah untuk disiplin karantina mandiri dan tidak diperkenankan mengikuti sholat tarawih berjamaah di masjid atau mushola.
Penerapan protokol kesehatan dimulai sejak para jamaah sholat belum memasuki masjid atau mushola, ada petugas masjid atau mushola yang mengecek suhu badan para jamaah dengan thermometer gun.
Jika memungkinkan disediakan disinfektan chamber atau ruang khusus untuk menyemprot anggota badan para jama'ah sebelum masuk masjid.
Selanjutnya disediakan alat cuci tangan pakai sabun lengkap dengan air mengalir didepan pintu masuk masjid atau mushola.
Terakhir, shaf atau jarak sholat diatur jaraknya sesuai aturan pemerintah soal physical distancing minimal satu meter oleh pengurus masjid atau mushola.
Sehingga kalau itu semua dilakukan di seluruh masjid atau mushola meskipun zona hijau, maka dapat meminimalisir rasa was-was pada para jama'ah, semangat mendukung upaya pemerintah memutus rantai penyebaran virus tetap bisa dilakukan.
Poin selanjutnya dalam SE Kemenag tersebut adalah perihal pelarangan kegiatan sahur on the road dan tarawih keliling, saya kira ini penting untuk ditaati.
Kegiatan tersebut bukanlah rangkaian kegiatan ibadah bulan suci ramadhan, tetapi bentuk kegiatan yang dilakukan untuk menyemarakkan suasana ramadhan.
Untuk tarawih keliling jika tetap dilakukan maka membuat orang yang melakukannya menjadi sering beraktivitas di luar rumah dan bertemu orang-orang yang tidak dikenal, bisa saja bertemu dengan orang yang beresiko terpapar sehingga membahayakan diri sendiri.
Maka hal tersebut tentu bertentangan dengan semangat mendukung upaya pemerintah untuk memutus rantai penyebaran virus Covid-19.
Poin selanjutnya dalam SE Kemenag tersebut yaitu soal pelarangan kegiatan buka puasa bersama, ini juga satu kegiatan menyemarakkan suasana ramadhan, bukan rangkaian ibadah bulan suci ramadhan.
Sehingga sudah sepatutnya kegiatan tersebut juga tiadakan untuk ramadhan tahun ini, kecuali dilakukan dalam lingkungan keluarga saja, itupun dengan tetap menerapkan protokol kesehatan dalam pelaksanaannya.
Point selanjutnya perihal kegiatan peringatan Nuzulul Qur'an yang mendatangkan penceramah dan massa dalam jumlah besar ditiadakan.
Poin tersebut saya kira jelas, pemerintah melalui Maklumat Kapolri sudah melakukan tindakan tegas atas kegiatan keagamaan yang mendatangkan massa dapat dibubarkan.
Selanjutnya SE Kemenag juga menyertakan panduan perihal sholat idul fitri, kegiatan ibadah tahunan ini biasanya diikuti oleh massa dalam jumlah besar dalam suatu masjid atau di lapangan terbuka.
Dalam SE Kemenag tersebut diberikan tambahan keterangan bahwa Kemenag berharap diterbitkannya fatwa MU menjelang waktu pelaksanaan Idul Fitri.
Jika kemudian fatwa MUI tersebut keluar, maka sudah semestinya kita sebagai pemeluk agama islam yang taat dapat mematuhi fatwa tersebut.
Meskipun wilayah zona hijau, tetapi dalam pelaksanaan sholat idul fitri ini biasanya diikuti oleh para perantau yang baru mudik dari berbagai kota tak terkecuali dari kota Jakarta yang merupakan zona merah pusat penyebaran virus Covid-19.
Meskipun pemerintah terus melakukan imbauan dilarang mudik, tetapi mengutip hasil survey nasional salah satu lembaga survey terpercaya yaitu Saiful Mujani Research & Consulting, bahwa 11% warga secara nasional akan mudik pada lebaran nanti.
Dari sekitar 180 juta warga dewasa, 11% itu sekitar 20 juta orang. Yang mudik paling banyak dari DKI yaitu sekitar 31%, maka harus ada upaya lebih kuat untuk mencegah warga pulang kampung, khususnya warga di DKI.
Kalaupun sholat idul fitri ingin tetap dilaksanakan, maka jelas pengurus masjid harus dengan sangat ketat menerapkan protokol kesehatan, jangan sampai kegiatan ibadah menyambut kemenangan ramadhan justru berbuah petaka tertular virus Covid-19.
Itulah beberapa poin penting terkait Surat Edaran Kemenag perihal panduan pelaksanaan ibadah Ramadhan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H, SE ini sejatinya sudah dibahas dan dipersiapkan oleh para pengurus masjid atau mushola sebelum pelaksanan yang akan dimulai beberapa hari kedepan.
Ramadhan dan Idul Fitri adalah momentum untuk merajut tali silaturrahmi, ditengah wabah pandemi Covid-19 sudah semestinya dilakukan dengan semangat penghayatan dan pengamalan agama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sehingga ibadah ramadhan dan idul fitri tetap bisa kita jalankan, semangat mendukung upaya pemerintah untuk memutus rantai penyebaran virus Covid-19 tetap kita laksanakan.
Itulah makna dari menempatkan agama pada posisi dan peran yang sangat mendasar dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan.
Semoga bermanfaat.
Rori Idrus
KBC-57 Brebes Jawa Tengah
(Lawan Corona Pakai Konten)