Bukan tentang seberapa betah kita tinggal mengurung diri dalam rumah. Tak ada rumah yang menyebabkan penguhinya tidak betah. Aneh saja ketika seseorang mengatakan bosam berlama-lama tinggal di dalam rumah. Berarti ada yang salah dengan interior rumah atau penghuni rumah.
Rumahku adalah sorgaku, begitu biasanya tertulis di depan pintu masuk. Sebuah ajakan mulia agar siapa pun penghuni rumah merasa nyaman dan betah di dalam rumah. Bagaimana pun bentuknya. Mau megah bak istana, atau gubuk reot dengan atap bocor-bocor. Tetap saja suka atau tidak suka tinggal di rumah memiliki kenyamanan tersendiri.
Sekarang kalau 14 hari x 3 kali makan sama dengan 42 piring nasi beserta lauk pauknya untuk satu orang anggota keluarga. Standar masyarakat dalam sebuah keluarga seperti yang dicanangkan program KB adalah dua anak cukup. Artinya rata-rata dalam satu rumah tinggal 4 orang. 42 kali 4 sama dengan 168 porsi.
Warteg saja dengan harga 15 ribu satu porsi dengan teh tanpa gula, tak perlu tambah kerupuk atau lalapan jengkol dan petai mentah. Maka 15 ribu x 168 porsi adalah Rp 2.520.000. Bagi mereka yang memiliki diposito atau tabungan tersimpan di bank tak masalah. Uang sebegitu tak ada artinya.
Bagi mereka yang kaya atau berada, bahkan kangganan internet saja sudah 600 ribu perbulan. Kado kalau cuma 2.520.000 selama 14 sungguh sangat kecil. Sebuah nilai yang tak berarti sama sekali.
Kita semua menyadari, kebutuhan pokok dan paling azasi dari kehidupan manusia adalah makan. Tak bisa hidup jika tak makan. Terus untuk kebutuhan lockdown entah oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah atau oleh diri sendiri tetap saja harus menyediakan anggaran minimal 2.520.000 selama 14 hari.
Oke lah, uangnya tak ada sekarang. Bisa hutang pada yang mau meminjami. Ada tetangga yang baik hati. Daripada ntar tertular dan menulari. Maka dipinjamilah uang sebanyak yang diperlukan. Dengan jaminan setelah aman dan bisa bekerja akan dibayar.
Gali lubang tutup lubang sudah menjadi kebiasaan bagi hampir seluruh masyarakat. Makanya jangan heran ketika penjol masih saja bisa hidup dan berkeliaran. Kebutuhan tak sebanding dengan penghasilan. Dan besar pasak daripada tiang bukan barang baru. Memang nyatanya begitu.
Anggaplah setelah 14 hari libur kembali bisa aktifitas seperti biasa lagi. Benarkah vorus corona telah pergi? Jangan-jangan kian bertambah lagi. Khawatir sih boleh. Bukan sebuah apriori yang mengendurkan semangat untuk menatap hari esok yang lebih baik.
Nyatanya di Wuhan sendiri, sampai kini belum ada tanda-tanda terbebas dari virus corona. Dengan terpaksa menjalani kehidupannya dengan adaptasi. Toh nyatanya hidup harus dijalani. Mencari makan tetap menjadi kewajiban kepala keluarga.
Benar, tenang mungkin akan membuat antisipasi yang lebih baik lagi. Tapi 14 hari setelahnya siapa yang tau? Hutang wajib dibayar. Bekerja akan kembali seperti biasa.
Anak-anak akan kembali ke sekolah. Pedagang jajanan akan kembali mangkal di depan pagar-pagar sekolah. Berharap ada anak sekolah yang belanja mengisi perutnya menunggu pulang sekolah. Rejeki bagi pedagang jajanan untuk membayar utang mereka.
Kantor-kantor akan buka. Pedagang makanan juga akan berjejer di depan kantor. Menjadi pelayan makan siang pekerja kantoran. Demikian juga warung, toko, mini market, rumah makan angkringan, lapak-lapak kaki lima, restoran. tempat hiburan dan sebagainya. Geliat kehidupan akan berjalan seperti semula. Bagaimana dengan virus corona?
Bak hantu tak terlihat nyata. Kita tak bisa mengenali siapa yang sudah terjangkit dan siapa yang belum. Yang sakit kemudian di rawat dan diisolasi. Yang sehat menjaga dan membersihkan diri. Begitu sajakah?
Kita tidak mungking menghadapi dengan prustasi. Kalau mau mati ya mati saja. Dengan virus corona atau bukan. Nyatanya nanti mati juga. Keyakianan semacam ini harusnya kita buang jauh-jauh. Antisipasi dan hati-hati bagi setiap individu memang wajib dilaksanakan. Soal nanti tertular atau tidak tinggal nasib yang menentukan.
Nyatanya virus corona tak pilih-pilih mangsa, buktinya menteri saja kena, orang-orang besar dari belahan dunia ada yang terjangkit juga. Apalagi rakyat jelata, yang makan dan kesehatannya belum tentu terjaga. Entahlah.
Nyatanya pandemi telah banyak menelan jiwa. Kota lihat lagi bagaimana HIV AID dimulai dari Konggo, tahun 1976 telah menewaskan setidaknya 36 juta hingga 2018. Bahkan sampai kini tetap ada dan tetap menewaskan satu persatu manusia.
Flu Hongkong yang pertama kali menginfeksi warga Hongkong, tahun 1968. Dengan hanya butuh waktu tiga bulan sampai virus ini menyerang penduduk di Singapura, Vietnam, Filipina, India, Australia, Eropa, hingga Amerika Serikat. Setidalnya telah membunuh 1 juta jiwa.
Flu Asia, korban sekitar 2 juta jiwa. Wabah ini menyerang penduduk China pada tahun 1956-1958. Selama kurun waktu tersebut, wabah ini menyebar dari provinsi Guizhou ke Singapura, Hongkong, dan Amerika Serikat.
Dan banyak lagi kasus pandemi yang mematikan di dunia. Nyatanya kita sampai hari ini tetap hidup dan menjalani kehidupan kita sehari-hari. Ada yang selamat, dan ada yang tewas karena pandemi tersebut. Begitu juga dengan virus corona. Akan ada yang terjangkit dan ada yang tidak.
Kekebalan tubuh tiap orang pasti tidak sama. Nasib baik dan buruk manusia juga tidak bisa diterka. Ada yang akan meninggal karena virus corona. Ada juga yang meninggal karena ketakutannya. Dan banyak yang akan meninggal dengan penyakit-penyakit lainnya.
Datangnya penyakit adalah sebab-sebab sebuah kematian. Tak akan ada orang yang mau hidup selamanya. Juga tak akan ada orang yang mau meninggal dengan cara mengenaskan. Lalu apa yang harus dilakukan?
Tugas manusia hanya berusaha semampu bisa. Berbuat baik pada siapa saja. Soal meninggal, serahkan pada yang kuasa. Sisanya masi berdoa semoga pandemi virus corona segera dapat diatasi di negeri tercinta ini, Indonesia.***