Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen | Bena Menanti Ibu Kembali (29 Februari)

3 Maret 2020   10:37 Diperbarui: 3 Maret 2020   12:25 226 40

Seorang anak kecil duduk di teras menanti ibunya pulang. Gerimis belum reda. Sambil menatap langit, tangan kanan menopang dagu. Tangan kiri memegang lidi, menggaris lantai. Entah sedang menulis atau melukis.

Mulut komat kamit mengingat sesuatu. Barangkali sedang berdoa. Agar ibu tercinta segera tiba. Namanya Bena. Tak punya saudara. Bapaknya sudah lama meninggal. Bena tak sempat mengenal wajah bapak tercinta.

Sebentar-sebentar menoleh ke kiri. Biasanya ibunya datang dari sana. Ibu yang dinanti belum juga datang. Bena usianya 11 tahun. Kelas VI SD. Tahu, kalau ibunya nanti datang dengan bungkusan nasi lauk ikan asin dan sebungkus kecil kerupuk.

Deras hujan tak dinantikan. Tapi, hujan tetap datang walau tak diharapkan. Bena merasa kasihan pada ibu yang berjuang sendirian. Kadang Bena mau protes. Tak tahu mau protes ke mana. Akhirnya diam. Menyimpan semua duka seorang diri. Bena kesepian.

Di sekolah Bena suka menyendiri. Kadang hanya berteman kucing liar yang kelaparan. Dalam hati Bena, lebih baik berteman dengan kucing yang memiliki kasih sayang. Daripada bergaul dengan teman sekelas yang selalu mengejeknya. Bena anak kelaparan. Begitulah mereka mengatainya.

Bena memang selalu kelaparan. Berangkat sekolah hanya berbekal sebotol minuman dari air gentong. Air mentah yang dimasukkan dalam botol  plastik kemasan bekas air mineral. Tak ada sesuap makanan pun yang dimakan. Seharian.

Matahari kian condong ke barat. Senja mulai tiba. Ibu tercinta tak biasanya pulang terlambat. Seharusnya ibu sudah pulang sebelum senja. Tapi kini, hingga senja kelebat ibu belum terlihat. Ada apa dengan ibu?

Bena mulai resah. Jika ibu tidak pulang. Berarti hari ini aku tidak makan. Begitu pikir Bena. Nanti malak aku tidur dengan siapa? Sanggupkah nanti malam aku tidur sendirian? Dalam kondisi kelaparan. Bena diam. Tak sanggup melanjutkan hayalannya.

Ibu yang ditunggu belum juga terlihat. Hujan kian lebat. Hari mulai gelap. Lidi yang dipegang sudah mulai memendek. Patah ujungnya pelan-pelan bersama patahnya harapan-harapan.

Sementara, goresan lidi di lantai sudah tak berbentuk lagi. Bena patah hati. Berkecamuk pikiran tak tahu harus bagaimana lagi. Bena menangis seorang diri.

Tubuh kurus mematung duduk di teras tak bergerak. Tak seorang pun melihat. Hujan kian deras tak ada yang melihat. Rumah Bena ada di ujung gang dekat pekuburan. Tanah warisan neneknya. Mau masuk rumah tak berani. Gelap perlahan menyelimuti. Ibu belum juga kembali.

Menggigil kelaparan. Menggigil kedinginan. Bena diam tak bergerak. Bena tergeletak. Bibir membiru. Tak seorang pun tahu. Di depan pintu.

Tengah malam ibu pulang. Basah kuyup seluruh badan. Sampai di depan pintu. Ibu menangis meraung-raung. Minta toling, ke mana meminta tolong? Tetangga jauh. Hujan deras. Berteriak pun tak ada yang mendengar.

Bungkusan nasi dilempar. Berserakan di lantai. Ibu menjambak anak tersayang. Semata wayang. Merangkul erat tak mau melepaskan. Hilang suara tangis ibu. Makin erat memeluk. Makin ingin memeluk dan memeluk.

Lupa semua, usahanya hari ini gagal membujuk majikannya agar memberikan pinjaman untuk membelikan hadiah ulang tahun Bena yang ke sebelas, 29 Ferbruari. Tepat hari ini. Jika tidak hari ini, harus 4 tahun dinanti. Hanya sebungkus nasi mampu dibawa pulang hari ini. Dan bena telah pergi.

Perlahan, dengan segala kekuatan, ibu menyeret Bena ke dalam rumah. Tepat di tempat Bena tersungkur tak bernyawa terlipat selembar kertas. Diraih ibu. Dibaca sambil menahan air mata. Tangan sebelah masih dalam pelukan erat ke tubuh kaku Bena.

Ibu, hari ini aku ukang tahun
Aku tak minta apa pun
Kasih yang ibu berikan sudah cukup membuatku senang

Jangan lagi ibu terlalu bekerja keras
Ibu, doakan aku segera dewasa
Aku akan bekerja apa saja
Yang penting ibu bahagia
Akan aku balas jerih payah ibu segenap jiwa raga

Terima kasih ibu


Bena

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun