Beberapa kali saya mencoba menulis humor, dan akhirnya terasa garing di penghujungnya. Makanya ketika sesorang telah mampu menulis karya humor berarti kapasitasnya dapat diakui. Minimal kapasitas dalam menulis humor.
Karena ternyata menulis humor tak sekedar bercerita. Kadang ketika kita berkumpul bersama teman, celoteh yang kita buat bisa menimbulkan tawa, berlanjut dengan cerita lucu lainnya.
Sebuah cerita terbangun dengan suasana lucu sebelumnya pasti akan mudah alurnya. Biar pun mulanya tidak lucu, karena suasananya sudah terbangun dalam kondisi lucu. Akhirnya cerita yang disampaikan menjadi lucu.
Makanya kanal humor yang ada di Kompasiana sangat jarang yang mengisi. Mengingat untuk membangun suasana lucu dalam sebuah artikel maupun cerita lucu diperlukan rangkaian kata yang sangat memikat.
Jadi begitu ada artikel humor banyak diserbu pembaca. Dan tak sedikit kemudian pembaca yang kecewa. Ternyata cerita humornya biasa-biasa saja. Mengapa bisa begitu?
Jangan salahkan penulisnya dahulu. Suasana hati pembacalah akar permasalahannya. Ketika sedang gundah, sedih atau menghadapi masalah, kemudian membaca cerita humor. Sulit pastinya untuk menyusun situasi humor dalam cerita yang dibaca. Kecuali penulisnya memang sangat piawai.
Jadi harusnya bagaimana?
Cerita humor sejatinya terbagi dua. Ini menurut saya. Kita boleh saja tidak sependapat. Yang pertama adalah anekdot dan yang kedua adalah cerita lucu.
Anekdot berupa cerita berdasar fenomena yang ada di masyarakat dan sudah jamak diketahui ceritanya. Sementara cerita lucu adalah cerita yang berhasil membuat pembaca minimal tersenyum. Walau tersenyum getir pun tak mengapa yang penting tersenyum saja.
Anekdot jika dikemas dengan baik, mampu menjadikan sebuah fenomena yang terjadi menjadi menggelitik. Di samping pesan moralnya guna perubahan perilaku menggelitik tersebut diharapkan terjadi perubahan.
Untuk sebuah cerita lucu, manakala pembaca dapat tersenyum, berarti penulis telah berhasil membangun cerita humornya. Tinggal pilih, mau jenis anekdot atau cerita lucu.
Setiap kita selama hidup pasti suatu ketika pernah mengalami hal yang menurut kita lucu. Coba saja ceritakan. Kadang waktu kit amenuliskan cerita itu kita penulisnya saja sambil tertawa. Namun, ketika orang lain baca cerita kita jangankan tertawa, tersenyum saja tidak.
Jadi bagaimana agar cerita yang kita buat bisa menggugah pembaca untuk tertawa minimal tersenyum getir?
Seperti halnya bercerita di hadapan orang lain secara langsung. Diperlukan pengantar yang memungkinkan orang lain tergelitik. Apa itu? Biasanya adalah fenomena yang sering dialami orang lain. Karena pengalaman yang sama memungkinkan orang lain terbawa pada imajinasi yang kita susun. Dan di sinilah tingkat kesulitan terbesarnya.
Mengingat pengalaman hidup yang berbeda, tidak semua orang mengalami sebuah kejadian yang sama. Jadi diperlukan wawasan yang sangat luas bagi penulisnya. Dari sisi mana sebuah cerita humor disusun. Kesulitan terbesanya terletak pada keterampilan penyusunannya.
Biasanya peristiwa yang membuat kita malu, jika diceritakan kembali akan seperti cerita humor. Apalagi dibumbui dengan kekonyolan yang mengikutinya. Namun, tak semua orang akan senang menceritakan kebodohannya, kesalahannya, atau peristiwa yang membuatnya malu. Hanya orang-orang tertentu.
Padahal menertawakan diri sendiri lebih baik daripada menertawakan orang lain. Nah, kejadian-kejadian yang mengakibatkan kita malu jika dibumbui akan menimbulkan rasa humor pada pembaca.
Kita coba saja bercerita, jika cerita kita mampu membuat orang lain tersenyum apalagi tertawa maka cerita tersebut dapat kita buat sebagai cerita humor.
Terlepas dari semuanya, tetap saja tidak semua orang mampu menyampaikan cerita humor. Apalagi menuliskannya. Dan latihan sesering mungkin menuliskan cerita humor perlahan-lahan akan mampu mencermati rasa humor dari setiap cerita yang dituliskan.