Siapa lagi kalau disebut remaja hampir semua mereka adalah peserta didik. Dan kerumunan massa terbesar adalah ketika peserta didik berada di sekolah. Jangan heran ketika sebuah permainan kian menantang, makin banyak remaja yang melakukan.
Pasti akan menjadi asyik buat menjebak teman-temannya yang belum mengetahui Skullbreaker Challenge itu seperti apa dan akibat yang ditimbulkannya.
Secara akal sehat saja, sesorang diminta meloncat kemudian kakinya ditendang dan terjatuh ke belakang dalam kondisi tidak tahu atau tidak menyadari akan dijatuhkan, bagian tubuh yang akan menyentuh lantai pertama kali adalah bagian belakang tubuh. Bokong, tulang belakang, dan kepala bagian belakang.
Ketika bokong yang jatuh membebani berat tubuh pasti akan sangat sakit. Tulang ekor mungkin akan patah dan dampaknya pasti sangat fatal. Demikian juga ketika yang menyentuh lantai pertama kali adalah tulang belakang. Sementara tulang belakang adalah penopang segala syaraf manusia. Kerusakan yang parah pada tulang belakang dapat menyebabkan kematian.
Ada pun yang paling mengerikan adalah ketika yang jatuh dan menimpa lantai pertama kali adalah kepala bagian belakang. Padahal pendarahan otak kecil bagian belakang kepala akan berdampak pada pendarahan di otak. Kegagalan pungsi otak juga sungguh fatal dan berdampak pada kematian.
Keberadaan Skullbreaker Challenge di media sosial sebaiknya mendapat perhatian serius menkominfo untuk segera diblokir dan dilarang. Mengingat ketika banyak remaja mengetahui cara mempecundangi temannya pasti lambat laun akan dicoba dan dilakukan. Di mana tempatnya? Kalau bukan di sekolah di mana lagi.
Di sekolah banyak teman-teman remajanya berkumpul. Gelagat ingin mengerjai teman se kelasnya juga pasti akan terjadi. Apalagi tak butuh banyak orang. Hanya dengan dua orang saja sudah mampu memperdaya salah satu dari mereka.
Nah, kalau Skullbreaker Challenge terjadi di sekolah ketika jam istirahat, ketika istirahat isoma, ketika menjelang pulang sekolah, atau jeda pelajaran sementara pergantian guru memasuki kelas bagaimana? Apakah guru hanya cukup memberikan nasihat dan peringatan akan bahaya Skullbreaker Challenge lantas para peseeta didik mengikuti nasihat guru? Belum tentu.
Buktinya, kurang apa guru mulutnya berbusa memberikan nasihat bahwa di sekolah tidak boleh ada perundungan, perundungan tetap terjadi. Tidak boleh melakukan pelecehan terhadap lawan jenis, pelecehan tetap terjadi. Tidak boleh memalak uang jajan temannya, memalak uang jajan peserta didik lainnya tetap terjadi.
Lalu sebaiknya apa yang harus dilakukan guru selain memberikan nasihat. Tentang Skullbreaker Challenge, jelas guru sudah menjadi teladan. Tak akan ada guru yang melakukan Skullbreaker Challenge pada rekan guru yang lain. Ternyata peserta didik tak cukup hanya diberikan nasihat dan teladan. Dalam hal tertentu pasti ada sanksi yang layak diberikan. Namun apa sanksi yang akan diberikan agar kesadaran peserta didik tumbuh dan berkembang?
Dengan adanya berita pemukulan oleh guru di Guru SMA Negeri di Bekasi pukuli siswa di hadapan teman-teman di tengah lapangan sedikit banyak akan menjadikan guru takut dan menarik diri memberikan sanksi pada peserta didik.
Dan ketika ada peserta didik melakukan aksi Skullbreaker Challenge terhadap temannya, kira-kira sanksi apa yang tepat. Mungkinkah peserta didik yang telah melakukan Skullbreaker Challenge pada temannya dilaporkan ke aparat kepolisian?
Tuh kan, bingung. Dinasihati gak mempan. Diberi sanksi berupa membersihkan wc dan sebagainya memangnya tidak membuat masalah baru? Dianggap melanggar hak azasi manusia. Peserta didik di sekolah bukan untuk diajari jadi pembersih wc, di rumah saja tak pernah membersihkan wc, guru pula yang disalahkan.
Memangnya selain sanksi yang yang telah ditetapkan oleh sekolah berupa peringatan berupa nasihat, tertulis, pemanggilan orang tua, hingga pengembalian pada orang tua, ada lagi kah yang membuat peserta didik takut. Dalam hal takut, para pakar pendidikan melarang keras memberikan sanksi yang membuat peserta didik ketakutan. Lantas sekarang apa yang mungkin guru lakukan?
Peserta didik akan bangga ketika dipanggil ke kantor atas kesalahan yang telah mereka perbuat. Malahan mereka ceritakan pada teman-temannya. Lebih banga lagi dengan mengunggah kejadian pemanggilan ke kantor pada media sosialnya.
Peserta didik yang diberikan surat peringatan juga sama. Suratnya difoto dan dijadikan status media sosialnya. Apalagi yang harus dilakukan guru?
Memanggil orang tua adalah jalan satu-satunya. Guru akan puas mendapat permohonan maaf dari orang tua peserta didik. Memangnya peserta didik telah bersalah pada guru? Tidak sama sekali. Yang diharapkan dari pemanggilan orang tua adalah memberikan keterangan bahwa anaknya telah melakukan pelanggaran tata tertib sekolah.
Tindak lanjut yang dilakukan orang tua apa? Lagi-lagi hanya sampai pada memberikan nasihat pada anaknya. Kalau anak tersebut tetap membandel, apakah akan dipukul? Awas! Kalau memukul berarti orang tua telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Dan pasti akan berurusan dengan yang berwajib. Lalu harus bagaimana?
Seperti memakan buah simalakama, dimakan ibu mati tak dimakan ayah mati. Hampir tak ada penyelesaian sama sekali.
Sekedar Perenungan untuk Kita Semua
Ibarat peribahasa, tak ada asap kalau tak ada api. Apa sih yang menyebabkan anak (peserta didik) berperilaku menyimpang. Dalam artian mereka lebih bangga dan merasa hebat ketika berhasil menarik perhatian orangtua dan guru.
Salah satu perilaku yang sangat mudah dilakukan adalah perbuatan menyimpang. Seperti apa yang telah orang katakan, jika ingin terkenal mudah. Naik saja ke Monas lalu kau jatuhkan diri dari sana. Pasti kau akan terkenal se Indonesia, bahkan se dunia.
Melakukan hal buruk untuk menarik perhatian dilakukan semata-mata hanya akan mendapat perhatian. Sementara untuk menarik perhatian terhadap hal positif sangat sulit mereka lakukan. Pun, jarang guru dan orang tua memberikan pujian pada saat anak (peserta didik) yang berkelakuan baik.
Jarang ada guru yang memuji peserta didik karena pendiam, rajin belajar, datang tepat waktu, pulang tepat waktu, dan sebagainya. Orangtua juga jarang memberikan apresiasi pada anak yang datang dan berangkat sekolah seperti biasa, jarang memberikan pujian terhadap anaknya yang mendapatkan nilai 60 di ulangan hariannya.
Maunya orangtua anaknya selalu berprestasi baru dipuji. Maunya orangtua anaknya juara kelas dahulu baru mendapat pujian dan perhatian. Pada saat mereka melakukan hal positif dianggap biasa. Akhirnya agar menarik perhatian lebih, mau tidak mau mereka melakukan perbuatan uang ekstrim dan membahayakan. Seperti Skullbreaker Challenge salah satunya.
Oleh karena itu, orangtua dan guru marilah kita mulai bercermin lagi, apa yang salah pada diri kita sehingga anak (peserta didik) hingga sedemikian liarnya. Mungkin karena perhatian yang kita berikan belum maksimal. Jadi marilah kita memulai dengan memberikan pujian dan perhatian terhadap sekecil apa pun kebaikan yang telah dilakukan anak (peserta didik) kita.
Semoga pujian ringan dan perhatian penuh dari orangtua dan guru mampu mengurangi perilaku menyimpang anak (peserta didik) kita, baik ketika di sekolah maupun ketika di rumah. Semoga.***