Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Surga Tidak Diatur dengan Sistem Demokrasi

7 April 2014   11:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:58 4 0
Tinggal dua hari lagi. Masyarakat Indonesia akan berbondong-bondong menuju tempat pemungutan suara dalam rayaan  pesta demokrasi. Tiap orang yang menerima undangan (ada yang belum ya? waduh...) akan duduk di TPS, menunggu namanya dipanggil, berjalan ke arah meja dimana kartu suara tersedia, mengambil kartu suara, menuju bilik suara, menentukan pilihan, memasukan kartu suara ke dalam kotak, kembali keluar meja panitia, mencelupkan tangannya ke dalam botol tinta....dan sah (maaf, ini panduan untuk pemilih pemula...hehehehe...)

Begitulah aktivitas dari pesta senilai 40 trilyun rupiah. Lumayan mahal untuk festival lima tahunan. Padahal desa hanya butuh 50 trilyun rupiah setahun untuk mengentaskan masalah-masalah sosial di 72.944 desa. Ah sudahlah.

Kembali ke soal pemilu, hati saya menjadi haru biru. Di satu sisi, suara pemilih tidak pernah dipandang sebagai deviden dari perusahan raksasa bernama negara. Mestinya suara itu dipandang sebagai modal awal yang memungkinkan pemerintahan beroperasi. Setelah pemerintahan terbentuk, maka pemerintah wajib membayar kembali suara itu. Membayar dengan apa? Membayar dengan pemberian pelayanan yang baik, merata, dan tidak diskriminatif.

Di sisi lain, jika masyarakat bersikap pesimis dan tidak mau memberikan suaranya, mereka lalu di cap tidak bertanggung jawab, bukan warga negara yang baik, segala macam-lah. Padahal memilih untuk tidak memilih juga merupakan sebuah pilihan.  Pada tahun 2009, ada 29,6 persen wajib pilih yang tidak menggunakan haknya. Para peneliti meyakini angka itu akan bergerak mencapai hampir 40 persen tahun ini. Sebuah angka psikologis yang rawan.

Sebenarnya, cara menekan fenomena yang terakhir ini mudah. Perlakukan warga negara sebagaimana adanya. Berikan pada mereka pelayanan terbaik pasca pemilu. Apa itu pelayanan terbaik? Regulasi yang baik dan tidak diskriminatif. Pelayanan jasa publik seperti angkutan, listrik, dan air yang terjangkau dan nyaman. Layanan perizinan yang cepat dan benar. Juga perlindungan atas hak-hak dasar warga seperti hak untuk bekerja, hak berbicara, hak beragama, dan seterusnya.

Jika partai politik masih terus nyaman dengan gerakan pencurian suara rakyat (hanya butuh saat pemilu), maka makna vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) akan mengeras ke arah menarik suara daripada memberi suara.

Benarkah suara rakyat suara Tuhan?

Ungkapan suara rakyat adalah suara Tuhan bermakna di dunia modern ini. Di dunia klasik, ungkapan vox populi vox dei tidak memiliki makna seluas apa yang dibayangkan. Negara-negara demokrasi di abad 21 memberikan hak suara kepada semua warga negara dewasa. Di Indonesia, semua warga negara yang telah menikah atau telah berusia 17 tahun memiliki hak untuk memilih.

Tetapi dimasa awal demokrasi, tidak ada hak seluas itu. Orang-orang Athena, tempat dimana demokrasi lahir, tidak memberi hak pilih kepada semua warga polis. Kaum perempuan tidak memiliki hak pilih karena mereka dianggap hanya sedikit lebih tinggi dari hewan. Para pedagang tidak memiliki hak pilih karena dianggap bukan warga polis. Demikian juga para budak dan kaum pekerja. Golongan terakhir dianggap tidak memiliki hak sebagai warga polis.

Amerika serikat sebagai rumah demokrasi modern sendiri baru berhasil menghapus diskriminasi politik warga negara melalui Undang-Undang Hak Sipil 1964 dan disusul dengan Undang-Undang Hak Pilih 1965. Ada sejumlah pembatasan bagi warga Amerika keturunan Afrika dan warga asing dalam pemilihan umum di negeri Paman Sam.

Bagi orang Indonesia, kata suara rakyat suara Tuhan lebih bermakna dalam kasus pemberian hak pilih bagi semua orang. Tetapi jika kata itu bermakna kedaulatan, kekuasaan, dan kemampuan rakyat untuk menentukan apa yang terbaik menurut rakyat kebanyakan, ungkapan itu masih jauh dari yang diharapkan.

Pilihan rakyat dalam pemilu masih dipengaruhi oleh (1) sikap identifikasi diri (merasa berhubungan dengan tertentu seperti simbol agama, simbol daerah, simbol organisasi); (2) sikap melankolis (pilih calon yang ditindas), dan (3) sikap hedonisme (asal ada uang saya pilih. Tidak jelas mau pilih siapa. Yang penting dapat uangnya dulu).

Ada warga masyarakat yang memberikan suara mereka dengan pertimbangan (1) rasional (tidak penting siapa yang penting untuk apa), dan (2) etis (menimbang baik buruknya sebuah keputusan). Meski kelompok yang disebut terakhir jumlahnya belum terlalu banyak, tetapi kelompok inilah yang memberi makna pada ungkapan suara rakyat adalah suara Tuhan.

Tidak ada Demokrasi di Surga

Sidney Hook, filsuf Amerika yang disebut-sebut sebagai filsuf yang lebih dekat dengan Indonesia, menulis :"Jika manusia adalah malaikat, maka kita tidak membutuhkan demokrasi".

Sayangnya, memang manusia bukan malaikat. Manusia adalah mahluk jiwa yang bertubuh. Memiliki panduan untuk berjalan ke arah kebaikan. Sekaligus memiliki hasrat yang mengakar pada nenek moyang vegetatif kita. Ketika kekuasaan dapat berubah menjadi alat menindas,  seperti ungkapan Lord Acton "power tends to corrupt, but absolut power corrupt absolutly", maka kekuasaan itu harus dibatasi.

Pembatasan atas kekuasaan yang terbaik adalah melalui demokrasi, atau pemerintahan rakyat. Dalam demokrasi, rakyat terlibat dalam semua pengambilan keputusan bersama. Sejak sebuah keputussan diisukan rakyat sudah mengetahuinya. Ketika keputusan dibahas, rakyat terlibat membahasnya. Demikian juga saat keputusan ditetapkan, rakyat mengetahuinya. Selanjutnya, rakyat akan terlibat aktif mengawasi keputusan itu. demikianlah demokrasi. Government by the people.

Makna tertinggi demokrasi ada pada paragraf di atas. Prof. Ryaas Rasyid mengatakan, inti dari demokrasi terletak pada government by the people. Karena semua pemerintahan berasal dari masyarakat (government from the people) termasuk pemerintahan komunis. Demikian juga semua pemerintahan bekerja untuk masyarakat (government for the people) termasuk junta militer. Tetapi hanya ada sedikit pemerintahan yang bekerja oleh karena rakyat (government by the people).

Pada sistem yang disebut terakhir, harus ditandaskan bahwa, surga tidak diatur dengan sistem demokrasi. Karena tidak dapat dibayangkan bagaimana surga diperintah oleh segenap manusia yang memiliki begini banyak kepentingan dan ketidakterbatasan kebutuhan.

Beri Makna pada Suara

Tes...tes...tes....satu...dua..tiga...tiga...dua...satu....berfungsi. Mikrofon-nya berfungsi.

Ayo kita mulai. Mari kita ambil suara dulu. Sooooooooolllllll............Soooooooolllllll....

Re..Mi...Fa...Soooooooooollll........palu naik......mulai....

Saya kira kita bukan sedang menguji mikrofon atau tidak sedang siap menyanyikan lagu saat menuju ke TPS pada 9 April 2014. Kita akan memberikan suara untuk menentukan masa depan bangsa dan negara kita. Mungkin benar bahwa tidak satupun gambar pada kartu suara itu adalah gambar teman dan saudara kita. Mungkin benar bahwa orang-orang yang ada di gambar itu adalah "alien" atau orang asing.

Apapun itu, kita harus percaya, bahwa ada seseorang, dari sekian banyak orang disana yang dapat mewakili kepentingan kita. Andaikan pun tidak. Setelah memilih, pastikan kita terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan publik. Pemilu hanyalah salah satu cara dari demokrasi yaitu untuk menentukan wakil rakyat dari apa yang disebut sebagai government from the people. Setelah pemilu selesai, demokrasi belum selesai.

Masih ada tugas terpenting kita yaitu menentukan makna dari government by the people. Kita layak terlibat dalam isu-isu penting negara, kita terlibat dalam pengambilan keputusan, kita tahu tentang keputusan, dan kita ikut mengawasi kepurusan.

Selamat memilih.

Selamat berpesta demokrasi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun