Status Jokowi dan Prabowo yang sama-sama bukan petahana presiden memungkinkan pemilih bisa melihat keduanya secara lebih jernih. Pilihan terhadap keduanya lalu disertai dengan sejumlah syarat. Syarat mana bertolak dari kondisi latar belakang negara, kondisi kekinian negara, serta kondisi yang ingin dicapai dimasa mendatang.
Syarat Pertama: latar belakang Indonesia
Sejarah adalah diri sebuah bangsa. Sejarah Indonesia merupakan kisah yang merentang jauh ke belakang ke masa dimana gelombang percampuran antar ras terjadi. Indonesia, sejatinya adalah negeri dimana generasi awal manusia (homo sapiens) berumah. Di atas hamparan pulau yang membentang dari Sumatera hingga Papua ini, nenek moyang manusia hidup, saling mendominasi, saling bercampur, juga saling berkompetisi.
Sayang bahwa 350 tahun penjajahan telah memutuskan orang Indonesia modern dengan sejarah asli mereka. Penderitaan tiga setengah abad telah menghapus hampir semua memori bangsa ini akan kisah kejayaan nenek moyang mereka yang begitu berani mengarungi samudra ganas dengan perahu-perahu kecil. Kesakitan, kelaparan, dan kebodohan akibat penjajahan membuat kebanggaan diri orang Indonesia hampir-hampir lenyap.
Kisah tentang para pelaut nusantara yang mencapai daratan Afrika jauh sebelum orang Eropa menyebrangi tanjung harapan kini dianggap dongeng pengantar tidur. Catatan sukses raja-raja Jawa dan Sumatera yang memiliki wilayah kekuasaan hingga negeri yang jauh di pedalaman asia tenggara tidak mampu diceritakan para guru sejarah. Juga masa dimana nenek moyang kita menemukan tulisan tidak lagi menarik untuk dipelajari.
Penjajahan menciptakan mentalitas Indonesia, sebagaimana disebutkan Soekarno - yang selalu saya ulang untuk menyadarkan- "kuli di antara bangsa bangsa" dan "bangsa yang terdiri dari para koeli". Mentalitas kuli adalah mentalitas tidak percaya diri. Mentalitas manja dan perengek. Mentalitas setia kalau dikasih makan. Mentalitas tidak memiliki rencana besar. Juga mentalitas terkagum-kagum pada kekayaan dan kejayaan orang lain sambil melupa prestasi sendiri.
Generasi Indonesia kini lebih senang berdansa chacha daripada menari jaipong. Lebih bangga makan di McDonal daripada duduk di lesehan. Juga lebih suka menonton konser Lady Gaga daripada menghadiri pentas wayang.
Pendek kata, kita adalah generasi yang melupa sejarah. Generasi yang lebih bangga mengidentifikasi dirinya sebagai orang lain daripada diri sendiri.
Dalam kondisi ketidaktahuan siapa diri kita, presiden yang kita butuhkan sekarang adalah dia yang bisa membawa orang Indonesia kembali pada jati diri Indonesia. Dia yang menghadirkan kepada Indonesia rasa percaya diri bahwa kita tidak perlu menjadi seperti bangsa ini atau bangsa itu. Kita adalah Indonesia. Negeri yang pernah mencapai puncak peradaban jauh sebelum Eropa memiliki gedung pencakar langit.
Syarat kedua: Perang terhadap korupsi dan kemiskinan
Korupsi dan kemiskinan adalah kondisi kekinian Indonesia. Meminjam istilah Romo Beni, korupsi telah menjadi identitas budaya Indonesia. Korupsi terjadi dari level tertinggi pemerintahan hingga level pedagang bakso. Jika pelaku korupsi di tingkat pejabat pemerintah menggelapkan uang negara untuk berfoya-foya dengan istri simpanan, maka tukang bakso menggunakan formalin agar dagangannya bertahan berhari-hari. Prinsip kerja korupsi keduanya sama. Mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Studi transparancy international pada tahun 2013 menempatkan Indonesia pada rangking 114 dari 177 negara di dunia. Itu artinya, perang terhadap korupsi adalah agenda Indonesia masa kini. Indonesia membutuhkan Presiden yang tidak memiliki sejarah sebagai seorang koruptor juga tidak melindungi para koruptor dan mengambil keuntungan dari korupsi. Presiden Indonesia selayaknya adalah pribadi yang bersih, jujur dan sederhana. Karena hanya dengan bersih (tidak melakukan praktek korupsi), jujur (terbuka dan transparan dalam tata kelola keuangan), serta sederhana (tidak bergaya hidup mewah), maka presiden akan dihormati oleh orang-orang yang bekerja di lingkungan kekuasaannya.
Agenda kekinian selain korupsi adalah kemiskinan. Biro pusat statistik mencatat ada 28,55 juta orang miskin pada periode September 2013 atau 11,47 persen dari populasi Indonesia. Inflasi yang cukup tinggi disebabkan oleh kenaikan BBM hingga harga komoditas bahan makanan dan makanan telah mendorong kenaikan jumlah orang miskin.
Dalam banyak hal, kemiskinan di Indonesia adalah kemiskinan struktural. Kemiskinan yang tercipta akibat diciptakannya struktur masyarakat kelas oleh kekuasaan negara. Orang-orang miskin di Indonesia bukanlah mereka yang tidak memiliki sumber daya. Orang miskin di Indonesia tercipta akibat kebijakan-kebijakan negara melulu bias kelompok kaya.
Ada jutaan orang di Indonesia yang membanting tulang dan berpeluh sejak matahari terbit di timur dan tenggelam di barat. Tetapi kerja keras mereka hanya berharga seribu hingga tiga ribu perak. Jumlah yang tidak cukup untuk membeli sekilo beras atau sekilo tempe. Struktur upah dan sistem penghargaan pada pekerjaan di negeri kita adalah inti dari kemiskinan. Jadi orang miskin bukan semata karena mereka malas. Orang miskin di Indonesia justru diciptakan. Mereka tercipta oleh kebijakan yang tidak memihak pekerjaan dan usaha mereka.
Kebutuhan presiden Indonesia kini adalah dia yang memihak kepada orang miskin dan kelompok marginal. Dia adalah pribadi yang membuat keputusan politik yang menguntungkan si miskin. Dia adalah orang yang paham tentang kondisi buruk masyarakat, hadir di tengah-tengah masyarakat, dan tidak hanya berpose diantara orang miskin tetapi hidup dalam gelimang harta.
Syarat ketiga : bersahabat dengan dunia
Masalah negara dan keluarga pada satu titik memiliki kesamaan. Jika dalam kehidupan keluarga orang membutuhkan tetangga, maka dalam bernegara Indonesia juga membutuhkan tetangga dan teman. Pertemanan antara Indonesia dan negara-negara di dunia menjadi penting dalam tata kehidupan dunia baru yang bersahabat dan damai.
Dalam konteks itu, Indonesia perlu memainkan peranan penting dalam penciptaan perdamaian dunia, juga mengambil bagian membangun hubungan persahabatan dengan negara lain dalam kawasan serta negara-negara di dunia secara umum.
Presiden Indonesia haruslah figur yang dikenal di lingkungan pergaulan dunia. Dia adalah pribadi yang disambut dengan pelukan hangat oleh tiap kepala negara dimana ia berkunjung. Dia haruslah pribadi yang tidak memiliki masalah dengan isu-isu kemanusiaan serta gejala perilaku tidak bersahabat. Karena jika isu-isu itu ada dalam diri presiden, posisi Indonesia dalam pertemanan dan persahabatan negara-negara di dunia menjadi lemah.
Dalam hubungan internasional, citra seorang presiden menentukan citra keseluruhan negara. Citra yang buruk akan berdampak buruk pada upaya investasi dan perluasan hubungan perdagangan, kemanusiaan, dan kebudayaan.
Dunia lima hingga sepuluh tahun ke depan adalah dunia yang meruntuhkan sekat-sekat negara demi perdagangan internasional. Akan ada pergerakan uang, barang dan manusia antar negara yang terjadi secara cepat dan masif. Karena itu, pembangunan ekonomi lokal serta kebijakan keuangan yang memungkinkan tumbuhnya kekuatan lokal menjadi agenda presiden 2014. Tidak akan ada negara yang berperan dalam perdagangan internasional tanpa membangun kekuatan ekonomi lokal.
Presiden yang dibutuhkan adalah dia yang diterima dalam pergaulan dunia seraya membangun kekuatan ekonomi Indonesia. Pembangunan ekonomi Indonesia tidak sama dengan ide seorang psikopat yang berniat mengambil alih semua perusahan asing di Indonesia. Pembangunan ekonomi Indonesia adalah memberikan kesempatan usaha, memberikan kemudahan kredit, dan membuka pasar yang luas bagi produksi dalam negeri.
Simpulan akhir dan harapan kesembuhan total
Akhir kata, presiden Indonesia 2014 adalah dia yang memenuhi tiga syarat. Pertama, mampu mengembalikan identitas Indonesia. Kedua, mampu memberantas korupsi dan kemiskinan. Ketiga, mampu menjalin hubungan baik dengan negara lain.
Satu lagi harapan saya pribadi yang saya susupkan disini, presiden Indonesia hendaknya ia yang dapat menyembuhkan total penyakit bawaan generasi lalu. Penyakit itu bernama dendam. Dendam yang berasal dari sejarah revolusi yang membara dalam tiupan kebencian. Dendam yang bermula dari peristiwa PKI 1965 dan membekas hingga kini.
Saya berharap, presiden Indonesia 2014 adalah dia yang dapat mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik di tahun 1965, lalu mendamaikan mereka secara arif dan bijaksana. Indonesia baru adalah Indonesia yang damai. Indonesia yang tidak lagi menyimpan dendam, tetapi saling memaafkan, untuk selanjutnya saling mendukung demi negeri tercinta ini.
Selamat memilih presiden.