Alamak! ternyata cukai rokok itu (rokok yang saya konsumsi maksudnya, saya tidak tahu untuk merk dan jenis rokok lainnya) 50% dari harganya. Dengan asumsi beli di toko biasa, sebungkus Maraiboros dihargai Rp. 11.000,- dengan cukai sebesar Rp. 275,-/batang. Dengan 20 batang di setiap bungkusnya, ini berarti total cukai untuk sebungkus Maraiboros menjadi sebesar Rp. 5.500,- (20 btg x Rp. 275,-). Oh, Tuhan! Ternyata selain mempertaruhkan sisi kesehatan diri, saya juga menggadaikan kredibilitas saya sebagai orang miskin.
Sewaktu memutuskan untuk memulai ritual mulia merokok, saya selalu membesarkan hati saya (baca: ngeles) bahwa dengan merokok, saya ikut memperpanjang nafas para karyawan pabrik rokok. Itulah kenapa kemudian saya menyebutnya mulia. *maksain.com
Hingga kemudian sesuatu yang lebih membuat saya terpukul ketimbang mengetahui nominal cukai rokok itu menghiasi media akhir-akhir ini. Bagaimana rakyat yang harus mengiris nadi sendiri untuk hidup di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Rakyat kecil yang dibebani kewajiban membayar upeti (campur golok kalau sampai menunggak. *asli kalo ini hipebolik), sementara rakyat besar dengan leluasa menangguhkan (atau kiranya perlu dibaca: meniadakan?) membayar pajak. Bagaimana hasil keringat rakyat itu dengan jumawanya digelapkan untuk memperkaya diri.
Saya tidak tahu apakah saya harus pesimis dengan kondisi negeri ini. Dari hari ke hari, perbaikan yang diharapkan tak kunjung datang. Ya. Sepertinya saya memang pesimis, terlepas dari kewajiban setiap warga negara untuk turut serta dalam proses pemerintahan. Seperti apapun peran itu. Tapi entah kenapa ketidakwarasan itu sangat masif. Seperti virus dengan daya jelajah tinggi dan tak pandang bulu. Dari kelas Kingkong sampai kelas Kangkung, semua terjangkit. Sepertinya kita memang harus mengusulkan agar korupsi menjadi salah satu alasan kenapa hukuman mati menjadi layak untuk dijatuhkan.
Memang selalu menjadi tugas kita untuk memperbaiki semuanya. Kita yang harus menyiapkan generasi yang mumpuni. Generasi yang sehat jasmani dan rohani. Bukan generasi yang hanya tahu celurit, arak, dan onani. Miris memang melihat perkembangan generasi muda kita saat ini. Di saat kita membutuhkan calon-calon pemimpin bangsa yang tangguh, yang justru tersaji di hadapan kita adalah sosok muda yang takluk di botol minuman keras. Di saat kita butuh kandidat-kandidat diplomat yang brilian, kita disuguhi film-film karya sutradara kacangan yang hanya berbekal kamera henpon dan muka badak. Di saat kita butuh sosok panutan yang santun, kita dihadapkan pada kenyataan tato dan bekas luka sabetan senjata tajam menjadi sesuatu yang membanggakan, hingga tepuk tangan pun dipertandingkan.
Ah, tugas kita memang. Selalu menjadi tugas kita.
**tulisan ini sengaja dibuat tidak fokus, mengiringi otak saya yang sedang bebal untuk diajak fokus.. :)