Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Ransum

2 April 2010   12:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:02 41 0
sesal itu selalu terkapar di reruntuhan bangunan prediksi. ketika tangan dan hati tak lagi saling berbagi. dan kenyataan berdiri menjadi kekuatan imaji. menopang nyawa yang tertatih di lingkaran halusinasi. lalu persimpangan religi menjadi ransum lezat untuk diri yang mengaku berbudi.

jengah itu nyanyian sumbar tentang jiwa. yang bergairah di pucuk hasrat dan terpendam dalam lubuk dahaga. sesuatu persepsi menuntaskan kejelitaan pada ufuk malam yang tak berrongga. meski gentar tak bisa diduga. meski hitam tak mampu memberi jeda.

dimanakah kita? lorong waktu yang menyublim dalam selongsong rahim dunia. lahir dan membesar lalu menaburkan kebersahajaan warna. meski alam memaksakan nafsu di setiap cakrawala. kita hanya mampu tertawa. menertawakan airmata.

ah. sungguh elok dunia hanya matamata. tempat kita dijamu dengan nikmat tawar dan pesona surga. lalu kita ditelikung tanpa abaaba. dan kemudian ketakberdayaan mengunci mulut kita.

ketika tangan dan kaki berkata. robbana..

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun