Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kabur dari Kehidupan Perkotaan

2 Juni 2010   09:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:48 208 0
Akhir minggu lalu mungkin cukup menyenangkan bagi sebagian orang. Bagaimana tidak, lha wong akhir minggu lalu termasuk long weekend. Kebetulan hari Jumat lalu bertepatan dengan Hari Raya Waisak dan ditetapkan  sebagai hari libur nasional. Maka, tidak heran kalau momen tersebut dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk berlibur atau kegiatan  menyenangkan yang lain.

Saya pun punya kegiatan tersendiri. Ya, sesuai judul, saya kabur dari kehidupan perkotaan. Saya pergi ke Bojonegoro, mengunjungi saudara saya yang habis melahirkan. Sebenarnya, melahirkannya minggu sebelumnya sih, tapi baru sempat mengunjunginya kemarin ini. Ya sudah, daripada tidak sama sekali kan?



Kunjungan ini merupakan kunjungan pertama saya sejak banjir luapan Bengawan Solo beberapa waktu lalu. Kebetulan sungai tersebut  terletak tepat di belakang rumah saudara saya. Bukan berapa ratus meter lagi, tapi lima langkah saja. Waktu banjir kemarin, rumah  saudara saya pun tak pelak jadi korban, sampai akhirnya mereka sekeluarga mengungsi ke rumah kerabatnya di Babat, Lamongan.

Karena banjir itu pulalah, beberapa hal berubah. Jalan yang saya lalui sebelumnya berupa jalanan aspal panjang ditengah area  persawahan. Di kanan kirinya terdapat hamparan sawah dengan padi yang lebat dan hijau. Namun, waktu kemarin saya lewat di situ,  yang terlihat bukan lagi hamparan padi yang hijau, melainkan areal tanah luas yang berlumpur, sebagian bahkan hampir terlihat  seperti rawa.

Yang lain yang juga berubah adalah tempat penyeberangan atau disebut penduduk lokal sebagai tambangan. Rumah saudara saya  memang termasuk wilayah Bojonegoro. Tapi, lebih dekat bila diakses lewat Widang, Tuban, dengan menyeberangi Bengawan Solo.

Otomatis, perahu jadi alat transportasi penghubung utama, tentunya untuk kendaraan roda dua (waktu itu saya naik motor). Nah,  tambangan yang biasa saya lewati ternyata rusak karena banjir. Walhasil, saya harus mencari tambangan lain. Setelah bertanya pada penduduk sekitar, saya diarahkan untuk menuju tambangan yang tidak jauh dari situ. Tapi dia tidak bilang kalau ternyata jalannya jelek. Motor saya sempat terjebak di jalan berlumpur. Untung saja tidak terlalu lama, tapi ya itu, repot.

Pengalaman kemarin merupakan pengalaman kedua saya naik perahu sambil membawa motor sendiri. Dan kali ini, saya sedikit lebih mahir. Hehehe… Memang, bagi orang kota, hal-hal seperti ini pasti dianggap unik. Mungkin seperti menaikkan kendaraan ke kapal Ferry, hanya saja, yang ini jauh lebih kecil dan menantang. Salah gas atau rem sedikit saja bisa-bisa Anda berenang di sungai bersama motor Anda.

Desa tempat saudara saya tinggal termasuk masih tradisional. Meskipun teknologi sudah dikenal baik, tapi tetap saja sebagian besar  rumah di sana adalah tipikal rumah pedesaan yang tradisional, dinding anyaman bambu (gedhek) atau papan dan lantai tanah, plester semen, atau ubin sederhana. Letak rumahnya pun tidak rapat-rapat seperti di kota. Bagi saya, justru disitulah letak eksotikanya. Mana bisa saya temukan hal semacam itu di Surabaya.

Penduduknya sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Banyak juga yang membuka warung kelontong kecil-kecilan. Selain itu, ada juga yang mencari ikan di bengawan atau nggawan dalam dialek lokal. Ada juga yang merantau ke kota-kota besar untuk mengadu nasib. Oiya, untuk urusan profesi ini, saya melihat bahwa profesi yang paling dihormati di sana adalah guru. Banyak orang desa tersebut menganggap guru sebagai pekerjaan yang mulia dan terhormat.

Sebenarnya, tidak banyak kegiatan khusus yang saya lakukan selama berada di sana. Dimanapun tempatnya, saya masih saja sempat bersantai-santai klesetan sambil menonton televisi. Hanya saja, ada beberapa hal kecil yang saya lakukan, yang tidak biasa saya lakukan di kota. Saya sempat mencicipi menata kerupuk mentah yang masih basah di atas widhik (jemuran kerupuk). Jadi setelah adonan kerupuk jadi, bentuknya masih panjang-panjang, seperti lontong. Nah, inilah kemudian yang dipotongi tipis-tipis. Potongan-potongannya kemudian ditata di atas widhik, lalu dijemur sampai kering. Setelah kering, baru dia bisa digoreng menjadi kerupuk. Saya terakhir kali membantu menata kerupuk ini saat masih kecil dulu, jadi sekarang berasa nostalgia. Hehehe… Salah satu saudara saya (saudara saya di Bojonegoro ada banyak, keluarga besar dari ibu saya) memang ada yang menjadi pembuat kerupuk rumahan. Hasil produksinya didistribusikan ke daerah sekitar.

Selain menata kerupuk, saya juga sempat bermain timba-menimba di sumur. Waktu saya kecil, sempat ada sumur di belakang rumah saya. Tapi tentunya saya tidak diperbolehkan bermain-main di sekitar situ, apalagi sampai menimba. Sekarang, sumur itu sudah ditutup karena sudah dipasangi pompa air sehingga tidak perlu repot-repot menimba lagi.

Dari semua kegiatan itu, yang menjadi favorit saya adalah saat sore hari, saya pergi ke halaman belakang rumah saudara saya, lalu bersantai di atas dipan bambu. Membaca novel sambil menikmati pemandangan Bengawan Solo yang mengalir tenang, ditemani suara mesin perahu dikejauhan dan sesekali gemerisik daun bambu yang dielus angin. Aih… nikmatnya.

Saya berada di sana hanya selama tiga hari. Apapun itu, saya rasa cukup untuk sedikit melepaskan diri dari kesibukan dan hiruk pikuk kehidupan perkotaan. (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun