Beberapa hari lalu, saya diajak bertemu dengan pemilik salah satu media online di Sulawesi Utara. Diskusi sudah berlagsung dua kali. Dalam diskusi yang
encer itu, saya diajak untuk bergabung bersama mereka. Saya akan diberi ruang sendiri pada website mereka. Seperti media online lainnya, kontent
news masih mendominasi halaman mereka. Baik reportase wartawan mereka sendiri, maupun hasil
kolaborasi dengan media online lainnya. (baca:
republish). Namun satu hal yang membuat saya tertarik dalam diskusi kedua itu, ketika salah satu Redakturnya menyampaikan keinginan untuk merubah porsi kontent mereka. Dari 70 persen news menjadi 70 persen kontent komuniti.
Jurnalisme Warga Selama beberapa tahun ini saya memang intens bergerak sebagai seorang
citizen reporter. Melakukan kegiatan jurnalistik, tetapi tidak sebagai seorang wartawan resmi dari media. Saya punya Kartu Pers, dari sebuah majalah cetak nasional. Tetapi saya lebih senang menggunakan Citizen Reporter Card yang dikeluarkan oleh PPWI
(Persatuan Pewarta Warga Indonesia), sebuah organisasi yang memayungi aktivitas pewarta warga di Indonesia. Beberapa kali juga, saya ditawarkan oleh media mainstream di Sulawesi Utara menjadi kontributor bahkan redaktur mereka. Saya menampiknya, dan tetap senang menjadi seorang pewarta warga. Shayne Bowman dan Chris Willis mendefinisikan
citizen journalism sebagai
‘…the act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing, and disseminating news and information”. Dan itulah yang saya lakukan selama ini, tanpa harus jadi seorang wartawan resmi. Hasil dari
perburuan saya itu, selain saya publish di blog pribadi saya, juga saya kirimkan ke beberapa media. Salah satu ruang yang memberikan kebebasan warga menulis adalah
Kompasiana. Saya mempunyai akun di microsite milik kompas.com itu. Beberapa kali tulisan saya menjadi headline. Menjadi seorang
citizen reporter memang unik. Kita tidak terikat dengan deadline berita. Liputan dapat dilakukan kapan saja, bahkan hal kecil yang terjadi di lingkungan rumah pun bisa menjadi sebuah berita menarik. Tidak ada pembatasan dari arah kebijakan redaksional. Tulisan kita pun tidak harus melalui
meja redaktur. Kita adalah reporternya, sekaligus sebagai redakturnya. Diperlukan sebuah integritas dan komitmen untuk dihargai sebagai seorang pewarta warga. Tidak
bias dalam melaporkan sebuah peristiwa merupakan modal utama. Bagaimana kita mendapat pengakuan dari pembaca, bahwa apa yang kita tulis merupakan berita yang benar, jelas memerlukan proses. Konsistensi adalah kuncinya. Pemilik media online yang mengajak saya bertemu itu, mengenal saya dari reportase independen yang saya lakukan. Maka, ketika diskusi mengerucut ke substansi tawaran bergabung, saya mengajukan konsep
citizen journalism ini.
Hybrid Journalism Saya ingin bergabung, tetapi tetap sebagai seorang
citizen reporter. Saya ingin menulis dari sisi saya sebagai seorang warga yang peduli dengan isu-isu di ruang publik. Mempostingnya tanpa harus melalui proses seleksi
redaksinonal. Apa yang saya laporkan, harus tampil sebagaimana adanya. Soal kebenaran, portofolio saya menjadi sebuah jaminan. “Jika saya diberi ruang, saya ingin, warga yang lain juga mempunyai akses yang sama dalam memberitakan
reportase mereka,” saya mengajukan sebuah syarat lagi. Sebab, dimata saya, siapa saja bisa menjadi pelaku
citizen journalism. Diskusi itu berjalan menarik. Hingga pada topik, sejauh mana redaktur mereka berhak menayangkan tulisan warga itu sebagai berita utama. Saya langsung teringat dengan apa yang dilakukan Pepih Nugraha di Kompas.com.
Hybrid Journalism, namanya. Steve Outing dalam tulisan 11 Layer of Citizen Journalism menjelaskan pada layer ke-10 tentang
integrating citizen and pro journalism under one roof. Dalam hal ini Steve berpendapat bahwa apabila dunia jurnalisme profesional disinergikan dengan jurnalisme warga dalam satu produk, maka akan menjadi sebuah konsep jurnalisme yang menarik. Pepih Nugraha mewujudkan hal itu pada tulisan warga di kompasiana.com yang ditampilkan kembali sebagai berita utama di halaman kompas.com. Tulisan itu bukan sekedar copy paste, tetapi sebuah berita baru, judul baru,
lead baru, dengan badan berita yang benar-benar baru. Penulis dijadikan sebagai sumber berita. Hasil reportase saya di kompasiana dengan judul
Kondisi Danau Limboto Semakin Memprihatinkan, dihybrid oleh Pepih Nugraha dan tampil di halaman utama Kompas.com dengan judul,
Danau Limboto Akan Menjadi Kenangan. Reportase foto-foto mengenai danau yang berada di Provinsi Gorontalo itu, juga di hybrid oleh sebuah harian di Sulawesi Utara, dengan judul,
Danau Limboto Menunggu Ajal. Bahkan salah satu reportase dengan judul,
Pelajaran Ekstrakurikuler Mereka Menanam Padi di kompasiana, terpublish di
Harian Kompas edisi Cetak. Konsep mengkolaborasikan tulisan warga yang bergerak dalam ranah
citizen journalism dengan kekuatan media mainstream itulah yang saya tawarkan pada diskusi tersebut. Mereka menyambut baik. Dengan demikian, dari sisi aktivitas pewarta warga, mereka semakin mendapat tempat di media mainstream. Pemberian ruang ini dapat memotivasi semangat warga untuk terus melakukan kegiatan
citizen journalism. Hybrid journalism juga membantu media maintsream mengangkat isu-isu publik yang tidak terjangkau oleh wartawan mereka. Begitu banyak isu sosial yang terjadi, yang bagi media mainstream tidak menarik sebagai berita utama, tetapi mempunyai kekuatan cerita. Hybrid Journalism adalah jalan keluarnya. Dan dengan demikian, pewarta warga mendapat penghargaan atas kerjanya. Diskusi tersebut masih akan berlanjut, dengan membahas secara teknis pelaksanaannya. Semoga bisa membuahkan hal yang dapat lebih menggairahkan aktivitas pewarta warga.
KEMBALI KE ARTIKEL