Kalau anda memandang Pulau Siau dari arah laut, maka tersajilah hamparan Tanaman Pala yang hampir menutupi seratus persen lahan yang ada di Pengunungan Pulau Siau. Lain halnya dengan di Pulau Tagulandang, khususnya di Desa Bawuleo Kecamatan Tagulandang Utara. Sejauh mata memandang, hamparan tanaman Salak milik rakyat menjadi sajian yang menarik. Buah Salak merupakan salah satu andalan komoditas Pulau Tagulandang, salah satu dari 3 pulau besar di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Begitu kapal merapat di Pelabuhan Tagulandang, dengan sigap para penjual Buah Salak berlomba menawarkan jualannya. Buah yang ditawarkan tergolong masih segar, karena penjual membeli langsung dari petani, bahkan tidak jarang petani sendiri yang menjajakannya secara lansung. Dari 1.752 Ha luas Kecamatan Tagulandang Utara, lebih kurang 400 Ha diantaranya merupakan areal tanaman Salak. Sehingga tidak heran, sampai di halaman rumah penduduk pun ditanami Pohon Salak. Ketersediaan pasokan Buah Salak di Tagulandang cukup melimpah. Dari perbincangan dengan Camat Tagulandang Utara, diperoleh data bahwa produksi Buah Salak hanya untuk Kecamatan Tagulandang Utara saja tercatat 6.000 ton pertahun. Padahal hampir seluruh kecamatan di Pulau Tagulandang merupakan penghasil Buah Salak.
Penjual Salak Buah salak di Pulau Tagulandang terdiri dari dua varietas utama, yakni Salak Tagulandang dan Salak Mentega. Kedua varietas unggulan ini cukup berkualitas, terlihat dari buahnya yang besar-besar dan rasanya yang gurih dan manis. Namun sayang, produksi yang melimpah ini belum ditunjang dengan proses pengolahan yang maksimal. Terhitung, petani hanya memasarkannya sebagai buah segar. Sehingga tidak jarang banyak hasil panen yang terbuang percuma karena busuk. Petani hanya menjualnya kepada Pedagang Pengumpul yang secara rutin datang langsung ke lahan. Tidak ada pabrik atau sentra produksi untuk olahan lain selain buah segar. Kalaupun ada itu hanya berupa kegiatan rumah tangga dan kegiatan PKK (Organisasi Kaum Ibu). Olahan tersebut antara lain sebagai Dodol Salak, yang pemasarannya belum tergarap dengan baik, bahkan terkesan hanya dilakukan setengah hati. Kondisi ini membuat Petani Salak yang semestinya bisa menikmati hasil dari produksi yang melimpah, harus menerima kenyataan yang pahit. Buah Salak dihargai sangat rendah. Terlalu sering, petani tidak dapat menutupi ongkos pemeliharaan. Tetapi, kondisi ini belangsung terus, karena sama halnya dengan Pala di Pulau Siau, lahan Tanaman Salak di Pulau Tagulandang, juga merupakan warisan turun temurun. Mau tidak mau, petani harus tetap memeliharanya.
KEMBALI KE ARTIKEL