Oleh:
Liny Tambajong. (Kepala Bidang Perencanaan Wilayah Bappeda Provinsi Sulawesi Utara) Apa yg tidak ada di Bumi Nyiur Melambai?, secara komparatif
(comparative advantage) kita unggul karena memiliki sumber daya alam melimpah. Di daratan, kita punya komoditas unggulan Kelapa, cengkeh,
pala, hortikultura. Di laut kita punya perikanan tangkap, perikanan budidaya dan rumput laut. Kekuatan kita di darat dan laut adalah suatu potensi unggulan yang belum tergarap secara maksimal (belum kompetitif) dengan kata lain masih di jual dalam bentuk
primer product seperti kopra, biji dan fulli pala, ikan beku dan rumput laut kering. Pengolahan lebih lanjut sebagai
intermediate dan
final product masih dilakukan di daerah lain bahkan di Negara lain. Sehingga nilai tambah terbesar dari komoditas unggulan kita, bukan dinikmati oleh masyarakat Sulawesi Utara. Dengan kata lain petani di daerah sentra-sentra agribisnis hanya menikmati nilai tambah dari subsistem
on farm agribisnis yang umumnya relatif kecil. Nilai tambah yang paling besar, yakni pada subsistem agribisnis hulu dan hilir, dinikmati oleh para pedagang atau pengusaha luar daerah. Inilah yang menyebabkan mengapa pendapatan petani tetap rendah dan ekonomi daerah sentra-sentra agribisnis kurang berkembang. Agar pembangunan ekonomi daerah dapat benar-benar dinikmati oleh rakyat, maka sektor-sektor ekonomi yang dikembangkan di setiap daerah haruslah sektor ekonomi yang dapat mendayagunakan sumber daya lokal
(foot lose industry) yang terdapat atau dikuasai oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Akibat
food chain yang panjang menyebabkan produk olahan komoditas unggulan kita setelah masuk kembali dalam bentuk olahan menjadi lebih mahal dan disisi lain terjadi pemborosan energy. Pemborosan energi bagi ekspor produk kelapa dan turunannya yang setengah jadi dan kembali lagi masuk Indonesia sebagai produk siap pakai dengan harga yang mahal merupakan suatu contoh kasus pemborosan energi penggunaan bahan bakar fosil pada sistem transportasi pangan yang sangat panjang
(food miles). Semakin panjang
food miles berakibat semakin berjaraknya konsumen dari kegiatan budidaya pertanian dan pengolahan pangan. Isu
eco-efisiensi dan efisiensi energi menjadi tantangan dalam mengelola dan menggunakan sumberdaya alam sebagai bahan baku industri di masa datang. Untuk dapat bersaing secara global, setiap daerah perlu merumuskan visi dan misinya sebagai pola sasar perkembangan wilayah yang ada di dalamnya. Perumusan visi dan misi spesifik, unik, tepat dan akurat akan mendorong suatu wilayah meraih keunggulan daya saing yang berkelanjutan
(suistanable competitive advantage), berorientasi pada komoditas setempat, pemilihan strategi pertimbangan ekonomi dilengkapi dengan pertimbangan ekologi dan sosialbudaya yang dimilki oleh masyarakat setempat. Secara
comparative advantage, maka pengembangan wilayah Sulawesi Utara harus diprioritaskan pada pengembangan faktor-faktor dominan unggul dibanding wilayah lain yang dapat mendorong pertumbuhan wilayah dan menggerakan ekonomi masyarakat setempat. Dengan konsep pengembangan kawasan berdasarkan komoditas unggulan, maka sejak 2003 sampai saat ini
Sulawesi Utara sudah memiliki 7 Kawasan Agropolitan dan 3 Kawasan Minapolitan.
- Agropolitan Modoinding dengan komoditas unggulan hortikultura;
- Agropolitan Pakakaan (peternakan);
- Agropolitan Tomohon (florikultura);
- Agropolitan Dagho (perikanan tangkap);
- Agropolitan Klabat (perikanan air tawar);
- Agropolitan Ngaasan (perkebunan kelapa);
- Agropolitan Dumoga (padi);
- Minapolitan Tatapaan; Minapolitan Managabata dan Minapolitan Tabukan Selatan dengan komoditas unggulan perikanan tangkap dan budidaya.
KEMBALI KE ARTIKEL